Pati, NU Online
Pendiri Pesantren Al-Azhar Almaghfurlah KH Bachri Basyiron (1928-2007) diperingati haulnya yang ketujuh, Selasa (24/12) Mbah Bachri, demikian kiai alim yang bersahaja ini disapa, mulai merintis pesantren di Desa Luwang.
Pesantren Mbah Bachri yang pernah menjabat Rais Syuriyah Majelis Wakil Cabang NU di Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah didirikan dengan peletakan batu pertama pada pertengahan tahun 1955 atas titah sang guru, Mbah Ma’shum Lasem.
Suatu ketika, setelah boyongan dari Pesantren Al-Hidayah Lasem-Rembang, Jawa Tengah, Mbah Bachri didatangi sang guru. Ya, Mbah Ma’shum rawuh di kediamannya seraya mengatakan, bahwa di sini harus didirikan pesantren. Padahal, jika dilihat wilayahnya yang terpencil lantaran susah akses jalan ke kota, di desa ini mustahil berdiri sebuah pesantren.
Pengasuh Pesantren Al-Azhar KH Ahmad Musaddad (48), putra keempat Mbah Bachri, kepada NU Online menceritakan bahwa ayahnya menghabiskan masa senjanya menghafalkan Al-Quran.
Hal ini dilakukan lantaran banyak santri yang setoran Quran bi al-Nadhar hingga banyak ayat yang nyaris dihafal sebelum mereka setoran kepada menantu bungsunya, KH A Wafiruddin asal Tuban Jawa Timur.
“Ayah kami menghafal Quran sejak 1991 pada usia 63 tahun. Hingga wafatnya pada 2007, beliau menjadi hafidz tertua di sini. Meski belum sepenuhnya khatam, kira-kira baru sampai juz 23 beliau keburu wafat. Salutnya, di usia senja seperti beliau kok tetap semangat nderes itu lho,” tuturnya.
Pesantren ini, lanjut Kiai Musaddad, kini dikelola secara terbuka dan kolektif menyusul lahirnya sekolah formal yang diberi nama Madrasah Sirojul Anam setingkat Ibtidaiyah, Diniyyah, Tsanawiyah, dan Aliyah.
Kedua lembaga tersebut berada di bawah naungan Yayasan Pendidikan Islam Al-Bachrie. Selain itu, juga dibuka Pesantren Tahfidzul Quran Putri (PTQA) An-Nuur yang dikelola putri bungsu Mbah Bachri, Nyai Hj Isti’anah Wafiruddin al-hafidzah.
Pesantren tahfidz ini lahir atas restu Mbah Bachri yang pengelolaannya dipercayakan kepada putri bungsunya, Isti’anah al-Hafidzah, yang bersuamikan KH A Wafiruddin al-Hafidz asal Tuban Jawa Timur. Meski Kiai Wafir akhirnya menyusul Mbah Bachri tiga tahun silam, pesantren tahfidz ini tetap diminati para santri putri yang berasal dari berbagai daerah.
“Kini, sepeninggal adik ipar saya, madrasah pesantren ini praktis saya jalankan sendiri. Namun, ketika mengenang sosok ayah saya yang sangat bersahaja itu saya jadi termotivasi dan yakin mampu mengemban tugas berat ini,” ujar Kiai Musaddad.
Mbah Bachri, lanjutnya, merupakan sosok santri yang tidak puas belajar ilmu agama. Setelah mondok di Tayu beberapa waktu lamanya, beliau melanjutkan mengaji di Kajen-Pati. Lalu, melanjutkan lagi mondok di Lasem Rembang di bawah bimbingan Mbah KH Ma’shum.
“Setelah puas menimba ilmu di Lasem, ayah kami meneruskan belajarnya di Kaliwungu Kendal. Sebelum akhirnya berguru kepada Kiai Abbas Buntet Cirebon,” ujarnya.
Makanya, lanjut Kiai Musaddad, Mbah Bachri dikenal memiliki ilmu kanuragan yang handal. Suatu ketika, beliau mau balik ke pondok Lasem bersama sahabat karibnya, KH Abdullah Zawawi Kembang-Dukuhseti-Pati. Karena ketinggalan kereta api, lalu Mbah Bachri mengajak temannya tersebut untuk berlari saja menuju pondok.
“Tentu saja Kiai Zawawi nggak mampu berlari sejauh itu (Tayu-Lasem -+60 Km-red). Tapi, Kiai Zawawi yang akhirnya naik dokar tetap kalah sampai ke pondok,” ujarnya.
Pada zaman Belanda, sambung Kiai Musaddad, Mbah Bachri disuruh menunggui rumah Mbah Ma’shum. Pasalnya, Mbah Ma’shum bersembunyi lantaran diburu oleh penjajah. Tentu saja, Bachri muda sam’an wa tha’atan mendengar titah sang guru. Lantas, keajaiban terjadilah, kedua opsir Belanda itu kemudian mengarahkan moncong bedilnya ke arah rumah Mbah Ma’shum di mana santri bernama Bachri ini bersembunyi.
“Ayah dengan santainya lalu keluar menuju halaman. Yang aneh, para serdadu itu tidak mampu melukai beliau. Saya nggak tau, ayah habis baca wirid apa,” kata Kiai Musaddad bangga.
Ketika ditanya siapa dari kelima anak Mbah Bachri yang mewarisi ilmu kanuragan tersebut, kiai muda ini menjawab, “Saya sebetulnya waktu itu yang disuruh ayah mengamalkan wirid. Tapi, saya dulu malas baca yang begitu itu. Kini baru nyadar,” ujarnya sembari senyum simpul.
Sosok Mbah Bachri memang fenomenal. Selain alim dan sakti, kelima anaknya pun dapat diandalkan. Putra pertamanya, KH Badrussalam, kini menggawangi salah satu pesantren di Kajen, Minsyaul Fadli. Putri keduanya, yang bersuamikan KH Mu’tashom, mengelola lembaga pendidikan An-Nasyriyah di Lasem Rembang.
Sementara ketiga anaknya yang lain, yakni Zumrotul Husna, Ahmad Musaddad, dan Isti’anah bahu-membahu melanjutkan perjuangan ayahnya merawat madrasah pesantren berbasis Tahfidz yang akan mencetak para hafidz-hafidzah yang berwawasan jauh ke depan. (Ali Musthofa Asrori/Abdullah Alawi)