Oleh: Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur
Kebanyakan orang hanya tahu bahwa yang disebut syirik hanya ketika melakukan penyembahan atau memberikan sesajen pada arca, berhala, matahari, gunung, pohon keramat dan sebagainya. Padahal kesyirikan juga dapat terjadi dalam hal lain yang bahkan mungkin dianggap wajar oleh orang awam. Berbeda dengan berbagai jenis dosa lainnya, perbuatan syirik adalah salah satu perbuatan dosa besar yang bila dibawa mati maka tak akan mendapat ampunan. Allah berfirman:
إِنَّ ٱللهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِٱللهِ فَقَدِ ٱفْتَرَىٰٓ إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. an-Nisa’: 48)
Karena itulah sangat penting bagi seorang mukmin untuk tahu apa hakikat kesyirikan itu sehingga bisa sepenuhnya menjauhi semua jenisnya. Imam as-Sanusi (895 H), seorang teolog pembaharu dalam mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah dalam kitabnya menukil keterangan Syekh Ibnu Dihaq (611 H), seorang teolog ternama di abad ketujuh hijriah. Ibnu Dihaq mendefinisikan syirik sebagai:
إضافة الفعل لغير الله سبحانه وتعالى
“Menyandarkan perbuatan [secara mandiri] pada selain Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi”. (as-Sanusi, Syarh ‘Aqîdati Ahli at-Tauhîd al-Kubrâ, 91)
Maksudnya adalah menganggap ada perbuatan yang secara mandiri dilakukan oleh selain Allah dan berefek tanpa ada campur tangan Allah sedikit pun sehingga secara penuh perbuatan itu disandarkan kepadanya. Ibnu Dihaq kemudian memperinci bentuk-bentuk syirik tersebut mencakup tiga kategori sebagaimana berikut:
Pertama, menyandarkan perbuatan pada bintang-bintang dan bahwasanya bintang-bintang itu berpengaruh pada alam yang di bawahnya; tumbuhan, hewan atau segala materi. Pada masa ini, keyakinan semacam ini ada dalam ilmu zodiak dan astrologi.
Kedua, menyandarkan perbuatan pada benda-benda dan bahwasanya perbuatan itu berikut efeknya adalah sebuah kewajiban yang pasti terjadi dan tak ada kaitannya dengan kehendak Allah. Misalnya, meyakini bahwa api bisa membakar secara mandiri, makanan bisa mengeyangkan secara mandiri, pisau bisa melukai secara mandiri dan seterusnya yang berkaitan dengan sunnatullah (hukum alam). Mandiri di sini maksudnya tanpa terkait kehendak Allah.
Di bagian ini banyak orang awam yang melakukan kesalahan fatal. Bila misalnya diyakini bahwa api dapat membakar sesuatu dengan sendirinya tanpa sedikit pun kuasa dan kehendak Allah dalam proses itu, maka dia dianggap kafir. Namun bila diyakini bahwa api dapat membakar dengan kekuatan membakar yang diberikan oleh Allah pada api itu, maka ini keyakinan yang tidak kufur tetapi bid’ah. Yang tepat adalah meyakini bahwa perbuatan benda beserta efeknya seluruhnya terjadi atas kehendak dan kekuasaan Allah. Kapan pun Allah berkehendak, Ia bisa membuat prosesnya terjadi di luar kebiasaan seperti dalam kisah Nabi Ibrahim yang tak terbakar api dan kisah mukjizat para Nabi lain yang menyelisihi hukum alam. Karena itulah, hukum alam dalam tradisi Islam disebut sebagai sunnatullah yang berarti sekadar kebiasaan Allah menerapkan aturan itu. Bila Allah berkehendak lain, maka sunnatullah itu tak akan terjadi.
Ketiga, menyandarkan perbuatan pada kehendak bebas manusia yang diberikan kekuasaan oleh Allah. Dalam pandangan ini, manusia seperti robot yang beroperasi dengan tenaga baterai dan bergerak sendiri dengan kecerdasan buatan tanpa ada kontrol lagi dari pembuatnya. Ini adalah akidah Muktazilah di masa lalu dan tanpa sengaja banyak diikuti orang awam di masa kini. Pandangan ini meniscayakan Allah tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan bila seorang manusia dengan kehendak bebasnya belum menentukan pilihan. Juga meniscayakan bahwa manusia sepenuhnya dapat memberi manfaat dan kerusakan secara mandiri tanpa bergantung pada kehendak Allah. Padahal, dalam keyakinan Ahlusunnah wal Jama’ah tak ada perbuatan yang bisa terjadi kecuali dengan izin Allah, termasuk perbuatan manusia dengan kehendak bebasnya. Bila Allah berkehendak terjadi kejadian A, maka manusia tak mungkin mengubahnya menjadi B meskipun berupaya sangat keras.
Itulah tiga jenis kesyirikan yang bisa saja terjadi tanpa disadari oleh masyarakat. Untuk lepas dari syirik ini, maka harus diyakini bahwa tak ada satu pun manfaat, kerusakan dan efek apa pun yang terjadi di dunia ini tanpa disertai kehendak dan perbuatan Allah untuk mewujudkannya. Bila berobat ke dokter, maka harus diingat bahwa bukan dokter atau obat yang memberi kesembuhan tetapi Allah. Bila berusaha lalu hasilnya berhasil atau gagal, maka harus diingat bahwa di sana juga ada kehendak Allah untuk membuatnya berhasil atau gagal. Demikian seterusnya untuk seluruh hal lain sehingga semua hal selalu terikat dengan Allah.
Demikian penjelasan yang disaarikan dari pernyataan Ibnu Dihaq dan penjelasan as-Sanusi dalam Syarh ‘Aqîdati Ahli at-Tauhîd al-Kubrâ dengan beberapa penyesuaian dan penjelasan tambahan. Wallahu a’lam.
***
Ikutilah KISWAH (Kajian Islam Ahlussunah Wal Jamaah)
Bersama : Dr. Abdul Wahab, M.H.I
( Tim Peneliti Aswaja Centre PWNU Jawa Timur Bidang Akidah ) Dengan Tema Parameter Syirik Dalam Islam
Hari/Tanggal : Sabtu, 19 Maret 2022
Pukul : 15.30 WIB – Selesai
Meeting ID: 824 2767 0069
Passcode: 331498
NB : Dimohon untuk Masuk Zoom 10 Menit sebelum Acara
Live Youtube: Aswaja NU Center Jawa Timur