Penulis: Abdul Wahab Ahmad
Salah satu yang sering disalahpahami secara massal oleh Salafi-Wahabi adalah anggapan bahwa Asy’ariyah mewajibkan mentakwil kata Istawa dalam al-Qur’an dengan makna Istawla. Akhirnya mereka mengoleksi berbagai kelemahan takwilan ini sebagai celah kritik. Ada yang bilang kalau diartikan istawla berarti Allah harus bertengkar dulu dengan Arasy. Ada juga yang bilang kalau istawla ini hanya berdasarkan syair orang Kristen bernama Akhthal. Ada yang bilang kalau makna istawla ini tidak cocok dengan beberapa siyaq (konteks ayat). Ada juga yang menanyakan kalau maksudnya adalah menguasai berarti apa gunanya disebut arasy saja? Bukankah Allah menguasai semuanya? Ada juga yang menggugat dengan aneh, apa bisa dikatakan Allah istawla atas tempat sampah? dan sebagainya. Semua hal ini muncul akibat kesalahpahaman. Ada juga yang memgklaim bahwa makna istawla ini tak dikenal dalam bahasa Arab. Tentu saja klaim ini tak bisa dipertahankan secara akademik sebab faktanya berbalik 180 derajat.
Sebenarnya bagaimana sih faktanya supaya enak kalau berdialog dengan Salafi-Wahabi? Saya buat poin-poin sederhana sebagaimana berikut supaya mudah.
1. Asy’ariyah tak semua mentakwil. Banyak dari mereka memilih jalan tafwidh dan mengkritik keras takwil. Saya (Abdul Wahab Ahmad) termasuk yang tak suka mentakwil kecuali konteksnya kepepet betul.
2. Di antara Asy’ariyah yang mentakwil, tidak ada satu pun yang mewajibkan arti istawla dalam semua konteks istawa. Coba baca Syarh Bukhari karya Ibnu Hajar atau Syarah Muslim karya an-Nawawi atau Asma’ Was Shifat karya Imam Baihaqi dan kitab ulama Asy’ariyah lainnya. Arti istawa ada banyak sekali, ada al-Qashdu, al-Qahru, ‘Ala’ wartafa’a, dan seterusnya. Istawla hanya salah satu arti yang disodorkan dari berbagai macam arti yang ada. Ini harus dipahami dengan baik supaya tak ada kesan harus mempertanggungjawabkan makna istawla sebab tak ada yang mewajibkan makna itu. Itu hanya salah satu opsi makna. Dalam konteks berbeda, misalnya dalam konteks ayat ثم استوى إلى السماء, sedikit sekali yang menafsirkan sebagai istawla. Yang banyak adalah qashada.
3. Adakah generasi salaf yang memaknai istawa sebagai istawla? Bila generasi salaf yang dimaksud adalah tiga qurun pertama, maka jawabannya adalah: Ada. Abu Abdirrahman Ibnul Mubarak (w.237) Masyhur dengan nama Ibn al-Yazidi, seorang mufassir dan ahli bahasa Arab, yang hidup di qurun ketiga, dalam kitabnya yang berjudul Gharib al-Qur’an wa Tafsiruhu mengatakan:
{الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى } [سورة طه:5] استوى: استولى” اهـ
Ar-Rahman Istawa atas Arays, maksudnya adalah istawla (menguasai secara mutlak).
4. Apa maksud istawla itu? Yang mentakwil istawa sebagai istawla itu maksudnya adalah استولى بالقهر والتدبير, yaitu kekuasaan mutlak Allah tanpa proses penaklukan terlebih dahulu dan berupa pengurusan-Nya terhadap makhluk. Lihat penjabaran istawla yang dilakukan Imam at-Thabrani (w. 360) dalam at-Tafsir al-Kabir berikut:
والاستواء: الاستيلاء، ولم يـزل الله سبحانه مستوليا على الأشياء كلها، إلا أن تخصيص العرش لتعظيم شأنه.اهـ
Istiwa’ adalah Istila’ (menguasai) dan Allah tak henti-hentinya menguasai segala sesuatu, hanya saja Arasy disebut secara khusus karena mengagungkannya.
Lihat juga penjabaran makna istawa yang dilakukan oleh Imam besar Asy’ariyah, Imam Ibnu Furak (w.406) dalam kitabnya yang berjudul Musykil al-Hadis, berikut:
لأن استواءه على العرش سبحانه ليس على معنى التمكن والاستقرار، بل هو على معنى العلو بالقهر والتدبير وارتفاع الدرجة بالصفة، على الوجه الذي يقتضي مباينة الخلق. اهـ
Karena Istiwa’nya Allah atas Arasy tidaklah dengan makna bertempat atau tinggal menetap, tetapi atas makna uluw (Maha Tinggi) dengan menundukkan, mengurus, dan bersifat tinggi derajatnya dalam konteks yang berbeda sepenuhnya dengan makhluk.
Dari penjelasan kedua Imam ini kita tahu bahwa menguasai secara mutlak dan mengatur/mengurus layak disematkan kepada Allah sebab faktanya Allah memang menguasai segala hal. Kalau ada yang mempertanyakan apakah Allah menguasai tempat sampah? Maka keimanan orang ini bermasalah sebab secara tak langsung dia mengatakan bahwa ada hal di dunia ini yang tak dikuasai Allah dan luput dari qahru dan tadbir-Nya. Padahal semua mukmin tahu bahwa Allah adalah al-Qahhar dan al-Mudabbir.
5. Apakah dasar makna استولى بالقهر ini? Jawabannya adalah semua ayat yang menyebutkan bahwa Allah punya shifat Qahr. Dalam asma’ul Husna juga dikenal nama al-Qahhar. Ini semua adalah dasar yang tak layak dipertanyakan lagi oleh semua muslim. Saya rasa ini tak perlu dikutip sebab sudah maklum.
6. Karena istawla dan al-Qahru ini maksudnya sama saja, maka sebagian ulama langsung saja mengartikan istawa sebagai al-Qahru. Misalnya Imam Abu Manshur an-Nisaburi (w. 421), seperti halnya dinukil oleh Imam al-Baihaqi dalam al-Asma’ wash-Shifat, mengatakan:
إن كثيرا من متأخري أصحابنا ذهبوا إلى أن الاستواء هو القهر والغلبة. اهـ
Sesungguhnya banyak dari kawan-kawan kami dari kalangan ulama muta’akhirin berpendapat bahwa sesungguhnya istiwa’ adalah al-Qahru (menundukkan) dan al-Ghalabah (mendominasi).
7. Bukankah istawla itu maksudnya menaklukkan setelah bertengkar terlebih dulu? Kalaupun ada yang memahami bahwa istawla bermakna demikian, maka itu bukan makna yang dimaksud Asy’ariyah sehingga jangan memfitnah Asy’ariyah dengan sesuatu yang tidak pernah mereka katakan. Jangan pernah!
8. Kenapa menyebut Arasy saja kalau maknanya demikian? Sebab Arasy adalah makhluk terbesar, kerajaan teragung sehingga menyebutnya secara khusus sebagai tanda bahwa yang paling besar saja dikuasai dengan mutlak apalagi yang kecil-kecil. Demikian penjelasan para ulama, di antaranya adalah Imam al-Hafidz Al-Baihaqi (w458) dalam al-Asma’ wash-Shifat. Beliau mengatakan:
وَإِنَّمَا خَصَّ الْعَرْشَ بِالذِّكْرِ لِأَنَّهُ أَعْظَمُ الْمَمْلُوكَاتِ، فَنَبَّهَ بِالْأَعْلَى عَلَى الْأَدْنَى.
Arasy disebutkan secara khusus tidak lain hanya karena ia merupakan makhluk paling besar, maka dengan menyebutnya sudah mencakup yang lebih kecil.
9. Apakah ada dasarnya dari al-Qur’an dan hadis kalau makna istawa adalah istawla? Ini pertanyaan super bodoh. Kalau di al-Qur’an/hadis sudah ada pernyataan gamblang tentang makna istawa, maka tak kan ada ulama ikhtilaf. Tak ada juga yang akan repot-repot mencari di kamus arab atau di syair-syair arab. Semua penafsiran istawa, apapun itu, baik yang memahaminya secara hissi sebagai istaqarra fi makan (berdiam di tempat), qu’ud/julus (duduk bersemayam), ataupun yang memahami secara metafora seperti menguasai secara mutlak (al-Qahru/istila’), at-tadbir (mengurus), semuanya bukan berasal dari ayat atau hadis tetapi melalui pendekatan bahasa. Dari berbagai makna yang didapat dari bahasa itulah para ulama berdebat mana makna yang layak disematkan pada Allah dan makna yang tidak layak.
Penulis: Abdul Wahab Ahmad
Sumber: https://guswahab.com/aqidah/benarkah-istawa-adalah-istawla/