Dia juga bermakna bercabang (asy-Sya’bu) atau berpencar (At-Tafriq), karena banyaknya kebaikan pada bulan itu. Kebiasaan pada zaman dahulu, ketika bulan Sya’ban mereka berpencar mencari sumber-sumber air.
Definisi Sya’ban
Imam Ibnu Manzhur Rahimahullah menjelaskan dalam Lisanul ‘Arab:
إِنما سُمِّيَ شَعبانُ شَعبانَ لأَنه شَعَبَ أَي ظَهَرَ بين شَهْرَيْ رمضانَ ورَجَبٍ والجمع شَعْباناتٌ وشَعابِينُ
Dinamakan Sya’ban, karena saat itu dia menampakkan (menonjol) di antara dua bulan, Ramadhan dan Rajab. Jamaknya adalah Sya’banat dan Sya’abin. (Lisanul ‘Arab, 1/501)
Dia juga bermakna bercabang (asy-Sya’bu) atau berpencar (At-Tafriq), karena banyaknya kebaikan pada bulan itu. Kebiasaan pada zaman dahulu, ketika bulan Sya’ban mereka berpencar mencari sumber-sumber air.
Dianjurkan Banyak Berpuasa
Bulan Sya’ban adalah bulan mulia yang disunnahkan bagi kaum muslimin untuk banyak berpuasa. Hal ini ditegaskan dalam hadits shahih berikut:
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sehingga kami mengatakan dia tidak pernah berbuka, dan dia berbuka sampai kami mengatakan dia tidak pernah puasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasanya selama satu bulan kecuali Ramadhan, dan saya tidak pernah melihat dia berpuasa melebihi banyaknya puasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1868)
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha juga, katanya:
لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah berpuasa dalam satu bulan melebihi puasa pada bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1869)
Inilah bukan yang paling banyak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sunah. Tetapi, beliau tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali puasa Ramadhan.
Apa sebab dianjurkan puasa Sya’ban?
Pada bulan Sya’ban amal manusia di angkat kepada Allah Taala. Maka, alangkah baik jika ketika amal kita diangkat, saat itu kita sedang berpuasa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شعبان بين رجب ورمضان يغفل الناس عنه ترفع فيه أعمال العباد فأحب أن لا يرفع عملي إلا وأنا صائم
“Bulan Sya’ban, ada di antara bulan Rajab dan Ramadhan, banyak manusia yang melalaikannya. Saat itu amal manusia diangkat, maka aku suka jika amalku diangkat ketika aku sedang puasa.” (HR. An-Nasai, 1/322 dalam kitab Al-Amali. Status hadits: Hasan (baik). Lihat As-Silsilah Ash-Shahihah No. 1898. Lihat juga Tamamul Minnah Hal. 412. Dar Ar Rayyah)
Adakah Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban?
Ya, sebagaimana diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi, bahwa Beliau bersabda:
يطلع الله تبارك و تعالى إلى خلقه ليلة النصف من شعبان ، فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن
“Allah Taala menampakkan diri-Nya kepada hamba-Nya pada malam nishfu Sya’ban, maka Dia mengampuni bagi seluruh hamba-Nya, kecuali orang yang musyrik atau pendengki.” (Hadits ini Diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi, satu sama lain saling menguatkan, yakni oleh Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al-Khusyani, Abdullah bin Amr, ‘Auf bin Malik, dan ‘Aisyah. Lihat Syaikh Al-Albani, As-Silsilah Ash Shahihah, 3/135, No. 1144. Darul Ma’arif. Juga kitab beliau Shahih Al-Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/785. Al-Maktab Al-Islami. Namun, dalam kitab Tahqiq Misykah Al-Mashabih, justru Syaikh Al-Albani mendhaifkan hadits ini, Lihat No. 1306, tetapi yang lebih kuat adalah shahih karena banyaknya jalur periwayatan yang saling menguatkan)
Hadits ini menunjukkan keutamaan malam nishfu Sya’ban (malam ke 15 di bulan Sya’ban), yakni saat itu Allah ‘Azza wa Jalla mengampuni semua makhluk kecuali yang menyekutukan-Nya dan para pendengki. Maka wajar banyak kaum muslimin mengadakan ritual khusus pada malam tersebut baik shalat atau membaca Al-Quran, dan ini pernah dilakukan oleh sebagian tabi’in dan generasi setelahnya, seperti Makhul, Ishaq bin Rahawaih, dan lain-lain, di mana mereka mengatakan ini bukanlah bid’ah. Tetapi, dalam hadits ini –juga hadits lainnya- sama sekali tidak disebut adanya ibadah khusus tersebut pada malam itu, baik shalat, membaca Al-Quran, atau lainnya. Oleh, karena itu, wajar pula sebagian kaum muslimin menganggap itu adalah hal yang bid’ah (mengada-ngada dalam agama), seperti yang dikakatakan Ima Atha’ bin Abi Rabbah, para ulama Madinah, dan lainnya.
Maka, menghidupkan malam nishfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid dan surau untuk melakukan ibadah tertentu adalah perkara yang diperselisihkan para ulama sejak masa tabi’in. Namun yang pasti Rasulullah dan para sahabat tidak pernah melakukannya. Hendaknya setiap muslim berlapang dada dan toleran terhadap perbedaan ini, dan mengikuti sunah adalah lebih baik bagi siapa pun. Agar keluar dari perselisihan pendapat dan perpecahan.