Pemerintah sebagaimana disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah terus berupaya memenuhi kebutuhan obat untuk penderita Covid-19.
Salah satu upaya yang dilakukan yakni menindak tegas secara hukum para produsen atau distributor obat yang menjual dengan harga tinggi, sengaja menimbun, dan menimbulkan keselamatan terganggu.
Bahkan Luhut telah meminta Bareskrim Mabes Polri, Kejaksaan Agung, dan Kejaksaan Tinggi untuk dapat menindak tegas kepada pelaku yang menaikkan harga obat untuk penderita Covid-19 di luar aturan yang berlaku.
“Lakukan pemeriksaan-pemeriksaan terhadap kasus-kasus importir atau produsen dan distributor, sehingga terjadi kelangkaan di apotek,” kata Luhut dalam keterangan tertulis beberapa waktu berselang.
Ancaman Penimbun Barang
Penimbunan barang di Indonesia dewasa ini menjadi tradisi yang dijaga kelangsungannya, entah oleh siapa. Ini memang selalu terjadi, baik ketika menjelang Natal, bulan Ramadlan, atau lebaran, dan juga setiap akan dinaikkannya harga bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah. Dan yang mutaakhir adalah tingginya sejumlah obat untuk Covid-19.
Tradisi penimbunan tersebut memberikan konsekuensi logis terhadap harga komoditas yang ada. Sebagaimana hukum pasar, ketika suatu komoditas yang beredar di pasar lebih sedikit tidak sesuai dengan permintaan, maka harganya pasti lebih tinggi, dibanding ketika komoditas tersebut beredar sesuai dengan permintaan pasar/konsumen atau malah lebih.
Para ulama sepakat bahwa ‘menimbun’ (ihtikâr) hukumnya adalah dilarang (haram). Hal tersebut sebagaimana disampaikan penganut mazhab Hanafiyah misalnya Ibnu ‘Abidin dalam karyanya Raddul Muhtâr atau az-Zailia’iy dalam karyanya Tabyînul Haqâiq. Demikian juga dengan ulama Malikiyah seperti dalam kitab al-Muntaqa ‘alal Muwattha atau Al-Gharnathiy dalam karyanya Al-Qawânîn al-Fiqhiyah.
Para ulama Syafiiyah misalnya Al-Khathib al-Syirbiniy dalam karyanya Mughnil Muhtâj atau As-Syiraziy dalam karyanya Al-Muhaddzab dan syarahnya yaitu kitab al-Majmû’ an-Nawawiy juga Zainuddin al-Malibbariy dalam Fathul Mu’în dan syarahnya yaitu kitab I’ânatut Thâlibîn karya Muhammad Syatha ad-Dimyathiy juga demikian. Bahkan ulama Hanabilah misalnya Ibnu Qudamah dalam karyanya Al-Mughni.
Adapun dalil yang dijadikan landasan oleh para ulama tersebut adalah beberapa hadits Nabi Muhammad Shallallahu Aalaihi Wasallam, di antaranya yang diriwayatkan melalui Umar RA. Bahwa Nabi bersabda:
الجالب مرزوق والمحتكر ملعون
Artinya: Orang yang mendatangkan (makanan) akan dilimpahkan rezekinya, sementara penimbun akan dilaknat.
Juga hadits yang diriwayatkan melalui Mu’ammar al-‘Adwiy:
لا يحتكر الا خاطئ
Artinya: Tidak akan menimbun barang, kecuali orang yang berbuat salah.
Hadits yang diriwayatkan melalui Ibn Umar sebagai berikut:
من احتكر طعاماً أربعين ليلة، فقد برئ من الله ، وبرئ الله منه
Artinya: Siapa menimbun makanan selama 40 malam, maka ia tidak menghiraukan Allah, dan Allah tidak menghiraukannya.
Demikian juga hadits yang diriwayatkan melalui Abu Hurairah:
مَنْ احْتَكَرَ حُكْرَةً يُرِيدُ أَنْ يُغْلِيَ بِهَا عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Artinya: Siapa menimbun barang dengan tujuan agar bisa lebih mahal jika dijual kepada umat Islam, maka dia telah berbuat salah.
Hadits Riwayat Ibnu Majah, dan sanadnya hasan menurut Al Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah:
من احتكر على المسلمين طعامهم ضربه الله بالجذام والإفلاس” رواه ابن ماجة وإسناده حسن
Artinya: Siapa yang suka menimbun makanan orang-orang Islam, maka Allah akan mengutuknya dengan penyakit kusta dan kebangkrutan. (HR Ibnu Majah, sanad hadit ini hasan).
Alasan hukum haramnya menimbun barang yang digunakan oleh para ulama adalah adanya kesengsaraan (al-madlarrah), di mana dalam menimbun ada praktik-praktik yang menyengsarakan (al-madlarrah) orang lain. Hal tersebut tidak sejalan dengan tujuan syariat Islam yaitu menciptakan kemaslahatan (tahqîq al-mashâlih) dengan langkah mendatangkan kemanfaatan (jalbul manfa’ah) dan membuang kesengsaraan (daf’ul madlarrah).
Apalagi kalau diperhatikan perbuatan menimbun merupakan hanya berupaya mencari keuntungan bagi dirinya sendiri diatas penderitaan orang lain.
Para ulama juga banyak pendapat, bahwa yang haram ditimbun bukan hanya barang/komoditi makanan pokok sehari-hari suatu penduduk saja, melainkan komoditi yang kalau hal tersebut sulit didapatkan maka hal itu bisa menyebabkan kesengsaraan bagi orang banyak. Malah ulama Malikiyah berpendapat bahwa haramnya menimbun tidak hanya pada bahan pokok saja melainkan semua barang.
Dan dalam kitab Fathul Mu’in yang dinukil dari al-Ghazali diistilahkan dengan ‘mâ yu’în ‘alaih’ yaitu setiap komoditi/barang yang dibutuhkan.
Hanya saja sampai saat ini di Indonesia tidak ada peraturan hukum yang secara jelas mengatur tentang penimbunan. Sehingga penimbun BBM nyaris tidak ada yang dikenakan sanksi sebagaimana mestinya. Seperti beberapa penimbun BBM yang dijerat dengan Pasal 53 huruf d jo Pasal 23 ayat (2) huruf c UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas, misalnya kasus yang terjadi di Indramayu, Jawa Barat. Atau misalnya yang terjadi di Poso Sulawesi Tengah yang kasusnya sampai ke Mahkamah Agung akan tetapi putusan akhirnya pelaku terlepas dari segala tuntutan hukum dan barang bukti 134 drum minyak tanah dikembalikan kepada pelaku.
sumber:
https://jatim.nu.or.id/read/hukum-menimbun-obat-dan-barang-selama-pandemi