Ibadah haji tidak dapat dilepaskan dari kegiatan wukuf, yaitu berdiam (hadir) di padang Arafah mulai dari tergelincirnya matahari tanggal 9 Dzulhijjah sampai terbitnya fajar shadiq hari Nahar, bahkan wukuf menjadi bagian sentral ibadah haji yang diwajibkan sekali dalam seumur hidup itu. Wukuf di Arafah termasuk rukun haji berdasarkan riwayat Abdurrahman al-Daili:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْحَجُّ عَرَفَاتٌ فَمَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ قَبْلَ أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ
“Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda; Haji itu adalah wukuf di Arafah, maka barang siapa yang telah melakukan wukuf di Arafah sebelum terbit fajar, maka ia sungguh telah menjalankan haji” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan lainnya, hadits sahih).
Dalam redaksi “al-Hajju Arafat” Syekh Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfauri memberi penjelasan:
قَوْلُهُ (الْحَجُّ عَرَفَاتٌ) أَيْ مِلَاكُ الْحَجِّ وَمُعْظَمُ أَرْكَانِهِ وُقُوفُ عَرَفَاتٍ لِأَنَّهُ يَفُوتُ بِفَوَاتِهِ
“Haji itu adalah Arafat, maksudnya bagian sentral haji atau rukun-rukun haji yang paling agung adalah wukuf di padang Arafah, karena haji menjadi hilang (batal) dengan hilangnya wukuf (Syekh Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfauri, Tuhfah al-Ahwadzi, juz 8, hal. 253).
Sebelum wukuf, disunnahkan mandi terlebih dahulu, sebab Ibnu Umar saat hendak berangkat menuju Arafat mandi terlebih dahulu. Alasan lain wukuf merupakan ibadah yang bersentuhan dengan perkumpulan banyak orang, sehingga disyariatkan mandi terlebih dahulu seperti ibadah Jumat dan shalat hari raya yang dihadiri oleh banyak orang. Disunnahkan pula memperbanyak doa saat wukuf, yang paling utama adalah membaca doa Nabi riwayat Thalhah bin Abdillah
لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ
Lâ ilâha illa-Llâhu waḫdahu lâ syarîka lahu
“Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya”.
Disunnahkan pula mengangkat tangan, hal ini berdasarkan hadits riwayat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa Nabi bersabda:
تُرْفُعُ الْأَيْدِيْ عِنْدَ الْمَوْقِفَيْنِ يَعْنِيْ عَرَفَةَ وَالْمَشْعَرِ الْحَرَامِ
“Hendaknya beberapa tangan diangkat saat berada di dua tempat berdiam diri. (Yang dikehendaki Nabi adalah Arafah dan al-Masy’ar al-Haram).”
Durasi minimal waktu wukuf tidak dibatasi dalam jangka tertentu, bahkan meski dilakukan dalam waktu sekejap tetap sah dan mencukupi. Namun sunnahnya adalah dimulai sejak tergelincirnya matahari di hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) sampai terbenamnya matahari, hal ini berdasarkan hadits dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi wukuf di Arafah kemudian baru beranjak saat matahari terbenam. (Syekh Abu Ishaq al-Syairazi, al-Muhadzdzab, juz.1, hal.411).
Ada dua kewajiban esensial dalam ritual wukuf di Arafah.
Pertama, dilakukan di waktunya, yaitu rentang waktu mulai tergelincirnya matahari hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) sampai terbitnya fajar shadiq di hari Nahar (tanggal 10 Dzulhijjah).Yang menjadi prinsip adalah kehadiran jamaah haji/umrah meski sebentar di padang Arafah dalam rentang waktu tersebut, tidak harus wukuf di sepanjang waktu tersebut. Dengan demikian, orang yang tidak sempat wukuf dalam waktu yang telah ditentukan, maka wukuf dan hajinya tidak sah.
Kedua, dilakukan oleh orang yang dianggap ibadahnya (ahlan lil ‘ibadah).
Wukuf sah dilakukan oleh anak kecil, orang yang tidur dan selainnya, karena mereka adalah golongan orang yang dianggap ibadahnya, berbeda dengan orang mabuk, orang gila atau orang yang pingsan/ tidak sadarkan diri (mughma ‘alaih), maka wukufnya tidak sah. (Syekh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Idlah, Beirut: Dar al-Hadits, hal. 313).
Lantas bagaimana dengan Jamaah haji perempuan yang tengah mengalami haid, apakah sah dan boleh melaksanakan wukuf? Ditegaskan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Idlah bahwa salah satu adab wukuf adalah dilakukan dalam keadaan suci. Dengan demikian, wukuf yang dilakukan jamaah haji yang tengah menstruasi adalah sah, meski ia kehilangan keutamaan wukuf dalam keadaan suci. Al-Nawawi berkata:
اَلسَّابِعَةُ الْأَفْضَلُ أَنْ يَكُوْنَ مُسْتَقْبِلًا لِلْقِبْلَةِ مُتَطَهِّرًا سَاتِرًا عَوْرَتَهُ فَلَوْ وَقَفَ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ عَلَيْهِ نَجَاسَةٌ أَوْ مَكْشُوْفَ الْعَوْرَةِ صَحَّ وُقُوْفُهُ وَفَاتَتْهُ الْفَضِيْلَةُ.
“Kesunnahan dan adab wukuf yang ketujuh. Yang lebih utama adalah menghadap kiblat, suci dari hadats dan menutupi aurat. Sehingga bila seseorang wukuf dalam keadaan berhadats, junub, haid, terkena najis atau terbuka auratnya, maka sah wukufnya dan ia kehilangan keutamaan” (Syekh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Idlah, Beirut-Dar al-Hadits, hal.313).
Berdasarkan referensi tersebut dapat dipahami bahwa kondisi menstruasi tidak mencegah kebsahan wukuf, sebab hanya berkaitan dengan keutamaan, bukan kewajiban.
Bila memungkinkan, jamaah haji yang tengah haid tentu lebih baik menunggu sucinya selama durasi waktu wukuf masih tersedia untuk memperolah keutamaan wukuf dalam keadaan suci. Namun bila tidak memungkinkan, semisal dengan menunggu suci berakibat ketinggalan rombongan sehingga dapat mengancam keselamatannya, maka hendaknya ia tetap mengikuti alur pemberangkatan rombongan meski berwukuf dalam keadaan haid, sebab menjaga keselamatan diri merupakan kewajiban, sementara wukuf dalam keadaan suci adalah kesunnahan/keutamaan. Kaidah fiqih menegaskan, “al-Wâjibu lâ yutraku illâ li wâjibin” (kewajiban tidak dapat ditinggalkan kecuali karena kewajiban lainnya), sebagian ulama meredaksikan dengan bunyi kaidah “al-wâjibu lâ yutraku li sunnatin” (kewajiban tidak boleh ditinggalkan karena kesunnahan).
Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, kami senantiasa terbuka untuk menerima kritik dan saran. Semoga bermanfaat.
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Wakil Ketua LBM PWNU Jawa Barat dan Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Sumber: https://islam.nu.or.id/haji-umrah-dan-kurban/jamaah-haji-haid-apakah-boleh-wukuf-EhzMI