Surabaya khususnya kawasan utara bergolak. Sejumlah warga di wilayah Sidotopo mempersoalkan keberadaan Sekolah Tinggi Agama Islam Ali bin Abi Thalib. Kampus di bawah Yayasan Al-Iskan ini telah menyulut amarah warga lantaran mengeluarkan selebaran yang menghina amaliyah salafus shalih.
Selebaran berupa buletin Al-Iman edisi 205 tahun ke-5 no 9 untuk bulan Rabiul Awal 1436 H tersebut sebagai “balasan” atas kegiatan masyarakat setempat yang mengundang KH Marzuki Mustamar dalam acara maulid Nabi Muhammad SAW pertengahan bulan Maret, serta istigatsah yang dilangsungkan akhir April lalu.
Dalam selebaran itu dikatakan bahwa apa yang dilakukan masyarakat dengan menyelenggarakan maulid Nabi Muhammad sebagai kegiatan bid’ah dan tindakan syirik yang tentu saja akan membawa pelakunya masuk neraka.
Terang saja apa yang pandangan pimpinan kampus yang diteruskan dalam selebaran tersebut menyulut amarah warga. Sebenarnya emosi masyarakat sudah tidak bisa dikendalikan, namun tokoh masyarakat setempat masih mencoba meredam, termasuk melakukan komunikasi dengan pihak keamanan. Konsultasi kepada PWNU Jawa Timur juga dilakukan agar ditemukan solusi terbaik.
Puluhan tokoh agama Sidotopo Surabaya yang intensif melakukan konsultasi. H Sulthon dari Forum Warga Sidotopo, Hafidh Sanafi (Ketua MWC NU Semampir), Ustadz Ismail, H Abdurrahman, KH Magrobi serta KH Rasyidi bersama tokoh setempat melakukan konsultasi kepada KH Miftachul Akhyar, Rais PWNU Jawa Timur beberapa waktu berselang.
“Kami meminta PWNU Jawa Timur bisa melakukan langkah-langkah kongkrit agar keberadaan kampus yang meresahkan warga ini,” kata H Sulthon kepada media ini, Selasa (5/5).
Secara lebih rinci, pria berperawakan tinggi tegap ini menceritakan bahwa awal gejolak di kawasan Sidotopo dimulai dengan beredarnya Bulettin Al-Iman edisi 205 tahun ke 5 nomor 9 bulan terbit Rabiul Awal 1436 H.
“Secara umum, bulletin tersebut dengan sengaja dan sadar telah memberikan predikat kepada umat Islam yang melakuklan maulid nabi dan acara l;ainnya seperti Isra’ Mi’raj, hari Asura, Nuzulul Qu’an sebagai kegiatan bid’ah,” katanya. Demikian juga kelompok ini memberikan vonis, apa yang dilakukan warga sebagai perbuatan musyrik dan akan masuk neraka, lanjutnya.
Sebagai reaksi spontan atas beredarnya bulletin tersebut, ratusan masyarakat melakukan unjuk rasa ke kampus setempat. “Prinsipnya masyarakat meminta pertanggungjawaban kampus terkait karena apa yang telah disebarkan menimbulkan keresahan bagi masyarakat,” ungkapnya.
Beberapa tokoh masyarakat mencoba menenangkan suasana. “Bahkan ada yang sudah menguhubungi pihak keamanan agar diselengarakan musyawarah dengan pihak kampus tersebut,” kata KH Abdurrahman. Dan akhirnya terjadilah dialog yang mempertemukan kedua belah pihak yang difasilitasi pihak di Kodim setempat.
“Dalam pertemuan tersebut ternyata pihak kampus masih tetap bersikukuh dengan pendapatnya,” kenang Ustadz Ismail yang saat itu juga memberikan keterangan. Bahkan dengan sangat jelas mereka menyatakan bahwa antara masyarakat Sidotopo dengan kampus tersebut beda paham.
Tidak berhenti sampai di situ yang dilakukan kampus tersebut. Bahkan selama tiga hari yakni 7, 8 dan 9 Mei mendatang mereka akan menyelenggarakan daurah dengan mengundang tokoh nasional. “Para ikhwan atau jamaah mereka dari berbagai daerah juga diundang,” katanya.
Bagi tokoh masyarakat, apa yang dilakukan oleh pihak kampus sebagai tindakan arogan dan terkesan ingin unjuk kekuatan. “Diajak dialog saja mereka mengatakan beda paham, dan kemudian ditambah dengan menyelenggarakan kegiatan daurah,” kata Ustadz Amir.
Bagi tokoh masyarakat Sidotopo ini, apa yang telah dilakukan kampus tersebut sebagai tindakan arogan yang juga terkesan menantang. “Padahal mayoritas masyarakat, termasuk umat Islam di wilayah kami sangat menghargai ukhuwah, dan hidup penuh kedamaian,” terangnya.
Justru dengan kehadiran komunitas muslim yang terkesan tertutup ini, Islam toleran dan menghargai perbedaan menjadi tercoreng. “Bahkan bila tidak ada tindakaan riil, bukan tidak mungkin pada saatnya akan ada konflik horizontal di akar rumput,” katanya.
KH Miftachul Akhyar sangat prihatin dengan kondisi ini. “Saat NU ingin menyebarkan Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan penyebarannya tidak merata, ternyata hal itu masih diganggu ulah masyarakat muslim sendiri,” ungkapnya.
Rais Syuriah PWNU Jawa Timur ini mengingatkan pemerintah untuk bisa responsif melihat permasalah ini. “Karena kalau terjadi kekacauan di kawasan tertentu, maka yang akan rugi adalah pemerintah sendiri lantaran dianggap gagal memberikan rama aman bagi masyarakatnya,” tandas Pengasuh Pondok Pesantren Miftahussunnah Kedungtarukan Surabaya ini.
Kiai Miftah, sapaan akrabnya bahkan mengistilahkan para pengganggu amaliyah warga ini dengan istilah “begal akidah”. Padahal sebagai organisasi sosial keagamaan, Nahdlatul Ulama ingin agar ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah dapat lestari di Indonesia. Namun dalam kenyataannya, ada sejumlah kelompok masyarakat muslim yang justru mempersoalkan bahkan mengkafirkan amaliyah warisan para ulama terdahulu tersebut.
Sebagai solusi,maka Kiai Miftah sepakat dengan tuntutan warga agar keberadaan kampus ini bisa dipindah atau ditutup. “Ya, tuntutannya hanya dua, relokasi atau kampus tersebut ditutup karena keberadaannya mengganggu ketertiban umum,” terangnya.