Para kiai selalu menjadi tumpuan masyarakat untuk menyelesaikan berbagai persoalannya, yang kadangkala unik dan perlu penyelesaian yang bijak tanpa meninggalkan kaidah agama. KH Wahab Chasbullah pernah mengizinkan kurban sapi untuk berdelapan orang, padahal ketentuannya adalah kurban sapi maksimal untuk bertujuh.
Kisah berikut bahkan melibatkan dua tokoh besar NU, berhadapan dengan masyarakat desa yang awam. Seorang warga desa berkeinginan untuk berkurban sapi. Persoalannya orang tersebut menginginkan agar kurban tersebut dapat diniatkan untuk delapan orang, bukan tujuh.
Pertama-tama, warga tersebut mengunjungi kediaman KH Bisri Syansuri di daerah Denanyar Jombang. Singkat cerita, ia mengutarakan maksudnya untuk berkurban sapi yang diniatkan untuk delapan orang. Tentu saja, Kiai Bisri yang sangat ketat menjaga kaidah fikih menolak permintaan itu.
“Kalau kurban berdelapan, ya harus satu sapi ditambah satu kambing.”
Orang kampung tentu punya logika berpikir sendiri, ia protes, karena dengan prinsip mangan ora mangan kumpul, ia berharap nanti di akhirat, sapi tersebut bisa menjadi kendaraan bagi seluruh anggota keluarganya.
“Bisa ngak kiai, kita korban satu sapi yang gemuk biar muat delapan orang, kan anak saya masih kecil-kecil. Masak ngak ada sapi yang muat delapan orang. Soalnya kalau satu sapi dan satu kambing, nanti kalau di oro-oro maghsyar ketlingsut, susah nanti carinya. Kita ingin masuk surga bareng-bareng.”
Kiai Bisri dengan tegas menyatakan ngak bisa kurban sapi untuk berdelapan karena memang kaidah fikihnya begitu.
Singkat cerita, orang desa tersebut keukeuh dengan keinginannya dan tidak mau menerima saran dari Mbah Bisri Syansuri. Karena tidak ada penyelesaian, ia lalu pulang.
Karena sudah mantap dengan niatnya, ia kemudian mendatangi kediaman KH Wahab Chasbullah di daerah Tambak Beras Jombang. Di rumah Kiai Wahab, ia menceritakan maksudnya.
“Saya ingin kurban satu sapi yang gemuk untuk delapan orang.”
Kiai Wahab pertama terteguh dengan permintaan tersebut, setelah berpikir sejenak, kemudian ia menjawab, “Ya ngak apa-apa, bisa buat berdelapan, sembelih kurbannya di sini saja.”
Tapi ia masih ragu, “Kata Kiai Bisri ngak bisa kurban sapi untuk berdelapan.”
“Itu fikihnya Kiai Bisri, fikih di sini bisa,” jawab Mbah Wahab.
Kemudian Kiai Wahab bertanya, “Sekarang gini, anakmu umur berapa yang paling kecil.”
“Baru usia tiga bulan Kiai,” jawab warga desa itu.
“Gini, anakmu kan kecil, nah, tambah kambing satu untuk tangga supaya bisa buat ancik-ancik. Kalau ngak kamu tambahi kambing satu, ngak bisa naik, nanti malah ditinggal sapi. Ngak mlebu suwargo bareng.”
Bujukan Kiai Wahab tersebut masuk di logika warga kampung tersebut, “Ya sudah nanti saya tambahin kambing satu yang gemuk, biar kuat buat ancik-ancik.
Akhirnya, ketemulah solusi yang diinginkan oleh warga desa tersebut, secara fikih tetap sah dan memuaskan keinginan warga desa tersebut. (Mukafi Niam)
Sumber: NU Online