Kesuksesan merupakan dambaan setiap orang, namun seolah menjadi sangat sulit untuk dimaknai karena sangat relatif. Sebagian kalangan santri misalnya, mereka mengartikan kesuksesan ketika sudah lulus dari pesantren, lulus madrasah; mulai dari jenjang ibtidaiyah, tsanawiyah hingga aliyah dan mendapatkan sertifikat sebagai tanda kelulusan. Dengannya, ia sudah bebas dari tanggung jawab sekolah dan memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja tanpa terikat waktu yang biasanya digunakan untuk belajar.
Ada juga orang yang mengartikan bahwa kesuksesan adalah ketika memiliki harta yang sangat banyak, popularitas dan jabatan tinggi, saat memiliki mobil dan rumah mewah, semua orang mengenalnya, itulah akhir dari perjuangannya, kemudian mendeklarasikan dirinya sebagai orang yang sukses.
Ada juga orang yang memandang bahwa kesuksesan tidak muncul dari harta, jabatan, lulus pesantren dan lainnya, akan tetapi melihat pada tempat di mana ia berada. Misalnya, orang desa akan sulit sukses dan orang kota bisa dengan mudah untuk meraihnya.
Beragam cara pandang tersebut bisa dikatakan benar, namun tidak sepenuhnya benar, dan tidak bisa diterapkan kepada semua manusia. Sebab, sebagian orang memiliki kemampuan terbatas saat harus hidup berada di tengah-tengah orang yang mengartikan sukses seperti itu. Mereka akan merasa tersesak, dan merasa kesepian di tengah keramaian. Di situlah perjuangan hidupnya akan berakhir.
Lantas, bagaimana kita memaknainya? Mari kita bahas dalam kajian Al-Qur’an dan hadits
Kesuksesan menurut Kajian Al-Qur’an
Ada beberapa tanda-tanda kesuksesan menurut Al-Qur’an, sebagaimana yang tergambar dalam firman Allah:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2) وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ (3) وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ (4) وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5). المؤمنون
Artinya, “(1) Sungguh beruntung orang-orang yang beriman; (2, yaitu) orang yang khusuk dalam shalatnya; (3) orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna; (4) orang yang menunaikan zakat; (5) dan orang yang memelihara kemaluannya.” (QS al-Mu’minun: 1-5).
وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (8) وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ (9). المؤمنون
Artinya, “(8) Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya; (9) serta orang yang memelihara shalatnya.” (QS Al-Mu’minun: 8-9).
Secara global, ayat di atas menjelaskan beberapa karakter orang-orang yang beruntung/sukses (muflih). Setidaknya ada tujuh karakter yang menjadi tolok ukurnya, yaitu: (1) beriman; (2) khusyuk; (3) menjauh dari hal yang tidak berguna; (4) menunaikan zakat; (5) menjaga kemaluan; (6) memelihara amanat dan janji; dan (7) menjaga shalatnya.
Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam tafsirnya memberikan penjelasan yang lebih luas perihal karakter di atas. Pertama, mukmin adalah orang yang membenarkan Allah dan apa yang diturunkan kepada rasul-Nya, baik berupa tauhid, kenabian, hari kebangkitan, dan hari pembalasan. Kedua, orang-orang yang khusyuk (khasyi’un) adalah orang yang merasa rendah dan hina di hadapan Allah, serta takut kepada-Nya.
Ketiga, menjauhi hal yang tidak berguna (mu’ridlûn), yaitu orang-orang yang meninggalkan setiap hal yang tidak memiliki nilai kebaikan sedikit pun, ia fokus mengerajakan kebaikan.
Keempat, orang yang mengeluarkan zakat, baik berupa zakat wajib maupun sunnah, yang tujuan keduanya sama-sama untuk membersihkan harta. Dalam ayat di atas, Allah menyebutkan zakat setelah khusyuk dengan tujuan agar ketaatan seseorang bisa sempurna, dengan menjalakan ketaatan badaniyah (badan), berupa ibadah dengan khusyuk, dan ketaatan maliyah (harta), berupa zakat.
Kelima, menjaga kemaluan (hâfizûn li furûjihim), yaitu orang-orang yang menjaga kemaluannya dari setiap sesuatu yang haram, baik berupa zina maupun bersenang-senang dengan yang lain (masturbasi-onani). Keenam, menjaga amanat dan janji, baik kepada Allah, seperti tuntutan-tuntutan syariat, maupun kepada manusia, seperti titipan harta, perjanjian dan lainnya.
Ketujuh, orang yang menjaga shalat, yaitu orang-orang yang melakukan shalat sesuai waktunya, dan selalu istiqamah shalat di waktu-waktu tersebut. (Wahbah az-Zuhaili, Tafsîrul Munîr fîl Aqîdati wasy Syarî’ati wal Manhâji, [Damaskus-Beirut, Darul Fikr: 1418 H], juz X, halaman 18).
Dari beberapa penjelasan di atas dapat kita pahami, bahwa dalam Al-Qur’an, arti kesuksesan, keberhasilan, dan keberuntungan tidak berkenaan dengan materi. Islam tidak membedakan antara orang yang kaya dan berharta dengan orang miskin yang tidak memiliki harta. Islam juga tidak memndang orang dari bumi mana berasal. Sebab, yang dijadikan tolok ukur kesuksesan dalam Islam adalah perihal amal ibadah yang manusia lakukan.
Kesuksesan dalam Kajian Hadits
Sebagaimana pemaparan di atas, ada pula orang yang menganggap bahwa kesuksesan hanyalah untuk orang-orang yang hidup di perkotaan, sementara yang ada di desa, mereka sama sekali tidak memiliki harapan untuk sukses. Pemikiran yang kolot dan peradaban yang terbelakang, memiliki banyak kemungkinan bagi orang-orang desa untuk tidak sukses. Tentu tidak demikian, dalam hadits, Rasulullah saw bersabda:
اَلْأَرْضُ الْمُقَدَّسَةُ لَا تُقَدِّسُ أَحَدًا وَإِنَّمَا يُقَدِّسُ الْمَرْءَ عَمَلُهُ
Artinya, “Bumi yang disucikan, tidak bisa mensucikan seseorang, dan yang bisa mensucikan seseorang hanya amal (saleh)nya.” (HR Abu Darda’. Dalam catatan Imam as-Sakhawi, hadits ini termasuk hadits mauquf. Namun dalam kitab Tasi’ul Majalisah ia menemukan hadits ini memili sanad yang jelas melalui riwayat Yahya bin Said dari Abdullah). (As-Sakhawi, al-Maqâsidul Hasanah fî Bayânil Ahâdîtsil Musytahirah, [Darul Kutub al-‘Arabi], juz I, halaman 103).
Sementara Syekh Abdurrauf al-Munawi (wafat 1031 H) dalam kitab Faidlul Qadîr menjelaskan, hadits ini berkaitan dengan kesunnahan menguburkan mayit berdampingan dengan orang-orang saleh dengan harapan mendapatkan berkah darinya. Hal ini tentu bukan disebabkan tanahnya, tapi amal kebaikan dari orang-orang saleh yang ada di dalamnya. (Al-Munawi, Faidlul Qadîr, juz I, halaman 297).
Hadits ini sangat menarik jika dikorelasikan dengan perspektif kesuksesan. Meski secara umum sebagaimana penjelasan Imam al-Munawi di atas, akan tetapi secara tersirat mengandung makna kesuksesan di dalamnya. Bahwa di bumi mana pun seseorang tumbuh, tanpa upaya dan usaha untuk meraih kesuksesan, bumi itu sama sekali tidak memiliki andil dan peran sedikit pun. Yang memiliki andil besar dalam kesuksesan adalah upaya atau aksi nyata untuk mewujudkannya.
Karenanya, asumsi-asumsi yang menyatakan bahwa kesuksesan selalu berpihak pada tempat di mana manusia hidup, perlu segera dihilangkan. Keyakinan-keyakinan semacam itu perlu dibuang jauh. Sebab, sukses tidak tergantung pada tempat. Di manapun kita bisa sukses asalkan secara sungguh sungguh melakukan aksi nyata untuk meraihnya. Wallâhu a’lam bis shawâb.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop Bangkalan.
Sumber: NU Online