Penulis: Abdul Wahab Ahmad
Di beberapa kalangan pelajar fikih perbandingan mazhab, ada anggapan bahwa bisa saja shalat enteng dan serba kilat tanpa thuma’ninah, tanpa sujud dan ruku’ dengan sempurna dengan alasan bertaklid pada mazhab Hanafiyah. Hal ini bahkan dipraktekkan oleh beberapa orang, utamanya di bulan Ramadhan saat tarawih. Saya rasa anggapan ini perlu diluruskan agar tak menjadi preseden buruk bagi mazhab besar yang dipunggawai Imam al-Mujtahid Abu Hanifah tersebut.
Pertama harus diakui bahwa mazhab Hanafiyah memang mempunyai pendapat yang terbilang aneh soal shalat sebab standar keabsahan shalat versi mereka tergolong ringan sekali. Bagaimana tidak, misalnya saja menurut mereka berdiri dari ruku’, thuma’ninah, i’tidal dan tasyahhud tidak harus dilakukan untuk dianggap sah shalatnya.Demikian juga ruku’ dan sujud cukup asal terjadi meski sekejap mata. Duduk di antara dua sujud pun cukup asal mengangkat kepala mendekati duduk, tak perlu hingga duduk dengan lurus, dan lain-lain yang menjadikan standar keabsahan shalat sangat ringan.
Pendapat ini menimbulkan kritik hebat dari banyak ulama. Misalnya saja Syaikh al-Mubarakfuri dalam Tuhtatul Ahwadzi-nya setelah menjelaskan perihal bagaimana Rasulullah meringankan shalatnya, ia berkomentar:
تحفة الأحوذي (2/ 33)
قُلْتُ لَكِنَّ أَكْثَرَ الْحَنَفِيَّةِ يُخَالِفُونَ فِعْلَ صَاحِبِ الشَّرِيعَةِ هَذَا فَيُخَفِّفُونَ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ غَايَةَ التَّخْفِيفِ حَتَّى يَكُونَ سُجُودُهُمْ كَنَقْرِ الدِّيكِ وَأَمَّا تَعْدِيلُ الْأَرْكَانِ فَلَا يُخَفِّفُونَ فِيهِ بَلْ يَتْرُكُونَهُ رَأْسًا فَهَدَاهُمُ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى فِعْلِ صَاحِبِ الشَّرِيعَةِ الَّذِي قَالَ صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Aku berkata, tetapi kebanyakan Hanafiyah menyelisihi tindakan pemilik syariat ini sehingga mereka meringankan ruku’ dan sujud hingga puncak keringanan sampai sujud mereka seperti ayam yang mematuk tanah. Ada pun meluruskan tubuh dalam rukun-rukun (thuma’ninah), maka mereka tidak meringankannya tetapi meninggalkannya sama sekali. Semoga Allah memberi mereka hidayah pada perbuatan pemilik Syariat yang berkata “Shalatlah seperti kalian melihat aku shalat”.
Kritik Syaikh al-Mubarakfuri itu sangat keras, dan itu bisa dimaklumi. Bandingkan saja antara shalat yang sujudnya seperti patukan ayam itu dengan petunjuk Rasulullah ﷺ di hadis Muttafaq Alaihi berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ وَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ يُصَلِّي كَمَا صَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلَاثًا
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke masjid, lalu ada juga seorang laki-laki masuk Masjid dan langsung shalat kemudian memberi salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menjawab dan berkata kepadanya, “Kembalilah dan ulangi shalatmu karena kamu belum shalat!” Maka orang itu mengulangi shalatnya seperti yang dilakukannya pertama tadi kemudian datang menghadap kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan memberi salam. Namun Beliau kembali berkata: “Kembalilah dan ulangi shalatmu karena kamu belum shalat!” Beliau memerintahkan orang ini sampai tiga kali”.
فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي فَقَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
Akhirnya laki-laki tersebut berkata, “Demi Dzat yang mengutus Tuan dengan hak, aku tidak bisa melakukan yang lebih baik dari itu. Maka ajarilah aku!”. Beliau lantas berkata: “Jika kamu berdiri untuk shalat maka mulailah dengan takbir, lalu bacalah apa yang mudah buatmu dari Al Qur’an kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan thuma’ninah (tenang), lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, lalu sujudlah sampai hingga benar-benar thuma’ninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk hingga benar-benar duduk dengan thuma’ninah. Maka lakukanlah dengan cara seperti itu dalam seluruh shalatmu.” (HR. Bukhari Muslim).
Hadisnya sangat jelas menegaskan bahwa asal bergerak dengan niat shalat saja tidak cukup. Setiap gerakannya harus sesuai tata cara seperti yang diajarkan Nabi tersebut. Bila tidak, maka shalatnya harus diulangi. Tak peduli berapa kali pun shalatnya, selama masih salah maka harus diulangi. Itulah hukum yang bisa diambil dari hadis tersebut. Berdasarkan itu pulalah para imam mewajibkan thuma’ninah (berdiam dengan tenang) di masing-masing rukun dan mereka juga menetapkan syarat minimal untuk gerakan seperti ruku’, sujud, i’tidal, dan duduk.
Dari sini tampak seolah Mazhab Hanafiyah betul-betul menabrak hadis dengan memperbolehkan shalat seperti ayam mematuk tanah dan lain-lain di atas itu. Tapi tunggu dulu, benarkah mereka menabrak hadis itu dan sengaja menyelisihi Rasulullah? Tidak.
Perlu diketahui bahwa Fuqaha’ Hanafiyah mempunyai istilah teknis yang berbeda perihal apa-apa yang harus dilakukan dalam shalat. Pertama adalah “fara’idl” dan kedua adalah “wajibat”. Secara bahasa makna kedua kata itu sama-sama harus, tapi mereka punya definisi yang berbeda dalam bab ini. Fara’idl bagi mereka adalah kewajiban yang bila tidak dilakukan maka berakibat shalatnya batal. Adapun wajibat adalah kewajiban yang bila ditinggalkan tidaklah berakibat shalatnya batal, hanya saja hukumnya berdosa bila disengaja.
Menurut Imam Abu Yusuf al-Hanafi, ruku’ dan sujud dengan sempurna hingga semua pergelangan tubuh berada diam di tempatnya masing-masing (thuma’ninah) adalah termasuk fara’idl sehingga bila tidak dilakukan artinya batal. Namun menurut mayoritas Hanafiyah itu termasuk wajibat sehingga tak sampai batal. Syaikh Abdurrahman al-Jaza’iri menjelaskan hal ini dalam al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah sebagai berikut:
الفقه على المذاهب الأربعة (1/ 212)
قالوا: إن الرفع من الركوع والطمأنينة والاعتدال من واجبات الصلاة؛ لا من فرائضها. بحيث لو تركها المصلي لا تبطل صلاته، ولكنه يأثم إثماً صغيراً، كما تقدم بيانه غير مرة
“Hanafiyah berkata: Sesungguhnya berdiri dari ruku’, thuma’ninah dan i’tidal termasuk wajibat shalat, bukan fara’idlnya dalam arti apabila seseorang meninggalkankan, maka shalatnya tidak batal tetapi ia berdosa dengan dosa kecil, seperti telah dijelaskan berkali-kali.”
Yang harus dicatat tebal-tebal di sini adalah keringanan ekstrem versi Hanafiyah itu bukan dalam arti boleh dilakukan apalagi direkomendasikan. Tidak sempurna melakukan ruku’, sujud, i’tidal dan duduk di antara dua sujud dengan thuma’ninah bukanlah pendapat mazhab mereka. Mereka memang menganggap shalat sah meskipun tidak melakukan itu semua dengan baik tetapi mereka juga menganggap itu berdosa bila dilakukan dengan sengaja!. Bila tak sengaja melakukannya, maka mereka mewajibkan sujud sahwi untuk menggantinya. Inilah yang luput dari perhatian beberapa orang.
Gambaran sah tapi berdosa ini dalam mazhab lain seperti orang yang shalat memakai baju hasil curian atau berwudlu dengan cara menyerobot air jatah orang lain. Mungkinkah hal dosa semacam ini direkomendasikan ulama dan dijadikan pendapat mazhab sehingga siapa pun boleh melakukannya dengan sengaja? Tidak mungkin. Adapun pernyataan Al-Mubarakfuri atau lainnya yang menyatakan bahwa orang Hanafiyah shalatnya seperti itu, saya cukup yakin bahwa itu hanyalah oknum saja atau mengikuti salah satu tokoh Hanafiyah yang menganggap thuma’ninah (dalam istilah Hanafiyah adalah ta’dilul arkan) itu hanya sunnah. Pendapat yang tertolak seperti ini tak perlu diperhitungkan.
Kesimpulannya, bila mau shalat mengikuti Mazhab Hanafiyah dengan benar, maka kecepatan shalatnya akan seperti shalat biasa di mazhab lainnya, tidak seperti patukan ayam atau asal bergerak tanpa sempurna gerakannya. Wallahu a’lam.
Penulis: Abdul Wahab Ahmad
Sumber: https://guswahab.com/fiqih/meluruskan-pemahaman-tentang-shalat-ala-hanafiyah/