Apa yang akan kita persiapkan saat akan bertemu dengan orang yang kita cintai? Saat melamar gadis ke rumah calon mertua, misalnya. Atau apa persiapan kita saat akan menghadap atasan, orang yang biasa menggaji kita secara rutin? Atau pula, apa yang kita lakukan saat mau menghadap seorang presiden?
Tentu, jawaban dari beragam pertanyaan di atas, sebelum menemui mereka, kita perlu mempersiapkan diri dengan badan yang bersih juga rapi dalam berpakaian. Ini merupakan elemen yang sangat penting. Toh, ini baru level bertemu dengan sesama manusia.
Bagaimana persiapan kita saat mau melayani Tuhan kita, di saat kita menghadap Dzat yang sangat kita hormati, pencipta ruh dan tubuh kita yang dari tiada menuju ada, “menggaji” kita dengan aneka macam nikmat setiap detik. Setidaknya, kita tidak bisa mengabaikan unsur bersih, suci sebagaimana analogi di atas.
Kesucian itu meliputi dua aspek, lahir dan batin. Apabila kesucian lahir saja sedemikian wajibnya, tentu kesucian batin lebih dibutuhkansaat seseorang mau melakukan beribadah.
Islam menempatkan kebersihan pada garda terdepan. Hampir semua literasi kitab fiqih, pasti dimulai dengan bab thaharah yang berarti suci. Tak hanya bersih, suci menduduki posisi di atasnya. Berarti ia sangat bersih. Kesucian menjadi perhatian paling utama karena merupakan pangkal dari ibadah shalat.
Terdapat banyak sekali ayat Al-Qur’an yang memerntahkan bersuci, di antaranya adalah firmah Allah SWT:
(يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ …. (الاية
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ketika kalian akan melaksanakan shalat, basuhlan wajah kalian. …. (QS: Al Maidah: 6)
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
Artinya: Kepada pakaianmu, sucikanlah. (QS: Al Muddatsir: 4)
Di dalam hadits, Rasulullah SAW juga bersabda:
مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُوْرُ
Artinya: Kuncinya shalat adalah suci.
Bersuci, selain diperintahkan dalam Al-Qur’an atau hadits, juga mengandung beberapa hikmah dan rahasia yang bisa dipetik sebagaimana yang disarikan dari salah seorang ulama Al-Azhar, Kairo, Ali Ahmad Al-Jurjawi dalam kitabnya Hikmatut Tasyri’, h: 59-63 [Darul Fikr].
Pertama, saat waktu shalat, malaikat tak tertarik melihat ada hamba berpakaian kotor, baunya apek.
Kedua, jika orang sedang berbaris, berjajar dengan manusia lain dalam shaf shalat, sedang pakaiannya kotor, pasti akan mengganggu jamaah lain. Oleh karena itu, Islam menyunahkan mandi bagi siapa saja yang ingin shalat jum’at dan ied. Di sana orang berkumpul, berdesak-desakan menjadi satu. Baju kotor, bau apek merupakan musibah yang menyakitkan bagi orang di sekitarnya. Menyakitkan orang lain dihindari dalam Islam hingga hal yang sedemikian detail.
Ketiga, manusia itu mempunyai dua sisi kepribadian. Pribadi hayawan dan malaikat. Artinya setiap manusia mempunyai pribadi yang disamakan dengan koneksi hewan dan koneksi malaikat. Jika orang sedang berhubungan suami istri, kepribadian hayawani sedang mengalahkan kepribadian malaikat.Istilahnya ia sedang menyakiti kepribadian malaikat. Untuk memulihkan itu, seseorang perlu bersih-bersih dengan mandi jinabat.
Keempat, wudlu dan mandi itu menumbuhkan semangat baru, mengusir kemalasan. Orang yang menjalankan ibadah bisa tampil dalam keadaan segar, fresh dan semangat. Begitu pula bagi orang yang haidl dan nifas.
Kelima, badan-badan yang biasa dibersihkan, adalah badan yang biasa dibuat untuk menjalankan maksiat. Muka dengan instrumen mata yang biasa melihat maksiat, memakan harta haram, mencium aroma yang tidak seharusnya ia hirup, tangan mengambil harta yang tidak dengan cara tepat, menyakiti orang lain, kaki berjalan menuju lokasi yang tidak diridlai Allah, telinga mendengarkan hal yang dilarang Allah Ta’ala.
Dengan dibersihkan melalui wudlu, semua badan menjadi bersih dan bersiap semangat menuju ibadah kepada Allah Ta’ala. Namun mesti harus dibarengi dengan membersihkan diri dari kotoran dalam yang meliputi hasud, iri, dengki, sombong, pamer, dan lain sebagainya. (Ahmad Mundzir)
Sumber: NU Online