Saya mempunyai nenek yang sudah tua renta dan sudah pikun, beliau punya harta sisa dari al marhum kakek saya. Ketimbang nanti harta nenek digunakan pada hal yang tak berguna oleh cucunya maka kami sepakat untuk menghajikan nenek saya yang belum menunaikan rukun islam yang kelima. Yang menjadi pertanyaan, bolehkah menghajikan orang yang masih hidup tapi sudah udzur ? Siapakah yang berhak menggantikan haji nenek, anak keturunan atau orang lain? Mohon penjelasannya ustadz atas jawabannya kami haturkan terima kasih.
Gita (Perak, Jombang)
Jawaban:
Mbak Gita yang dimuliakan Allah SWT, ketika Rasulullah saw melaksanakan haji wada’, datanglah seorang wanita dari kabilah Khots’am bertanya kepada Rasulullah SAW : “Ya Rasulallah, sesungguhnya ayahku sudah punya kewajiban ( bekal ) untuk melaksanakan haji namun beliau sudah tua renta dan tidak bisa duduk tegak di atas punggung untanya ? Rasulullah menjawab, “ Maka berhajilah kamu atas nama dia !“ (H.R. al-Jama’ah)
Dari Ibnu Abbas beliau berkata, Sesungguhnya seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi kemudian berkata, “ Sesungguhnya ibuku bernadzar untuk haji tetapi belum sempat melaksanakan haji beliau wafat, apakah boleh aku berhaji atas namanya ?” Rasulullah menjawab, “ Ya, berhajilah kamu atas nama dia ! Apa pendapatmu jika ibumu punya hutang apakah engkau wajib membayarnya ? bayarlah hutang kepada Allah karena hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi.” (H.R. Bukhori)
Berdasarkan hadits tersebut dan beberapa riwayat lain maka mayoritas fuqoha’( Hanafi, Syafi’i dan Hanbali ) menyimpulkan bahwa menghajikan orang lain yang sudah mati atau sakit yang tak mungkin sembuh juga orang tua yang sudah udzur tetapi punya kemampuan harta itu BOLEH dan sampai pahala haji tersebut kepadanya.
Kecuali pendapat madzhab Maliki mengatakan : “ Sesungguhnya menggantikan haji dari orang yang hidup (walaupun udzur) itu tidak boleh dan tidak sah secara mutlaq kecuali dari orang sudah mati yang berwasiat agar dihajikan, maka sah tapi makruh dan dilaksanakan dari dana sepertiga harta waritsnya.” (DR. Wahbah al-Zuhaili. al-fiqh al-Islami wa Adillatuh : 3/40)
Seharusnya yang menghajikan orang yang meninggal atau hidup tetapi sudah udzur itu adalah anak keturunannya atau ahli warisnya yang sudah melaksanakan haji rukun untuk dirinya sendiri. Tetapi boleh juga dihajikan oleh orang lain yang memenuhi syarat atas izin keluarga mayat yang biasa disebut haji badal. Dan boleh orang yang melaksanakan haji badal itu mendapat dana ongkos kebutuhan selama melaksanakan haji sesuai kesepakatan dan kebutuhan finansial dan transport haji.
Mbak Gita yang saya hormati, adalah bentuk bakti anak kepada orang tua termasuk kepada nenek jika seorang cucu memikirkan ibadah orang tuanya. Dan sebuah ide yang baik jika Mbak Gita dan keluarga yang lain sepakat untuk menghajikan neneknya yang sudah udzur. Segeralah laksanakan haji untuk neneknya itu kalau bisa dilaksanakan oleh anak keturunanannya sendiri atau ahli waritsnya yang sudah pernah melakukan haji fardlu jika tidak ada maka boleh mencari orang lain yang memenuhi syarat dan amanah untuk menghajikannya. Semoga dikabulkan oleh Allah SWT. Amiiin