– Bagaimana hukumnya melakukan salat Witir secara berjamaah setelah Isya’? Hamba Allah, Sby.
– Bolehkah salat Dluha berjamaah dalam hukum fikih? Ir. Budin, Sby
Jawaban:
Pada dasarnya salat sunah ada dua, yaitu (1) yang sunah berjemaah, seperti hari raya, tarawih dan sebagainya, ada pula (2) yang tidak sunah berjamaah, seperti dluha, witir, tasbih dan lainnya. Namun diperbolehkan melakukan secara berjemaah, berdasarkan hadis-hadis sahih.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa ia menginap di rumah Maimunah (istri Nabi) bersama Nabi Muhammad. Di tengah malam beliau bangun, berwudlu dan salat, Ibnu Abbas juga turut melakukan hal itu, kemudian salat di sebelah belakang Rasulullah sebanyak 13 rakaat (HR al-Bukhari 4/163)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
وَفِيْهِ مَشْرُوْعِيَّةُ الْجَمَاعَةِ فِي النَّافِلَةِ وَالِاِئْتِمَامُ بِمَنْ لَمْ يَنْوِ الْإِمَامَةَ وَبَيَانُ مَوْقِفِ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُوْمِ (فتح الباري لابن حجر ج 3 / ص 421)
“Hadis ini adalah dalil disyariatkannya salat berjamaah dalam salat sunah” (Fath al-Bari 3/421)
Sedangkan dalam riwayat sahih Muslim, secara tegas Imam Muslim menulis Bab “Diperbolehkannya salat berjamaah dalam salat sunah”. Kemudian beliau banyak menampilkan hadis, diantaranya:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ دَخَلَ النَّبِىُّ عَلَيْنَا وَمَا هُوَ إِلاَّ أَنَا وَأُمِّى وَأُمُّ حَرَامٍ خَالَتِى فَقَالَ «قُوْمُوْا فَلأُصَلِّىَ بِكُمْ». فِى غَيْرِ وَقْتِ صَلاَةٍ فَصَلَّى بِنَا. فَقَالَ رَجُلٌ لِثَابِتٍ أَيْنَ جَعَلَ أَنَسًا مِنْهُ قَالَ جَعَلَهُ عَلَى يَمِيْنِهِ. ثُمَّ دَعَا لَنَا أَهْلَ الْبَيْتِ بِكُلِّ خَيْرٍ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ فَقَالَتْ أُمِّى يَا رَسُولَ اللهِ خُوَيْدِمُكَ ادْعُ اللهَ لَهُ. قَالَ فَدَعَا لِى بِكُلِّ خَيْرٍ وَكَانَ فِى آخِرِ مَا دَعَا لِى بِهِ أَنْ قَالَ «اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَبَارِكْ لَهُ فِيهِ» (رواه مسلم رقم 1533)
“Anas bin Malik berkata “Rasulullah datang kepada kami, yaitu saya, ibu saya dan Ummi Haram bibi saya. Rasulullah bersabda: Bangunlah, saya akan salat dengan kalian. (Anas berkata) Sementara saat itu bukan waktunya salat (wajib).” (HR Muslim No 1533)
Namun harus diupayakan masyarakat memahami bahwa salat sunah ini disyariatkan secara sediri-sendiri. Jika kemudian ada anggapan bahwa salat sunah witir, dluha, tasbih dan sebagainya harus dilakukan berjamaah, maka hukumnya diharamkan (Bughyat al-Mustarsyidin 137)
(مسألة : ب ك) : تُبَاحُ الْجَمَاعَةُ فِي نَحْوِ الْوِتْرِ وَالتَّسْبِيْحِ فَلاَ كَرَاهَةَ فِي ذَلِكَ وَلاَ ثَوَابَ، نَعَمْ إِنْ قَصَدَ تَعْلِيْمَ الْمُصَلِّيْنَ وَتَحْرِيْضَهُمْ كَانَ لَهُ ثَوَابٌ وَأَيُّ ثَوَابٍ بِالنِّيَّةِ الْحَسَنَةِ، فَكَمَا يُبَاحُ الْجَهْرُ فِي مَوْضِعِ اْلإِسْرَارِ الَّذِي هُوَ مَكْرُوْهٌ لِلتَّعْلِيْمِ فَأَوْلَى مَا أَصْلُهُ اْلإِبَاحَةُ وَكَمَا يُثَابُ فِي الْمُبَاحَاتِ إِذَا قُصِدَ بِهَا الْقُرْبَةُ كَالتَّقَوِّي بِاْلأَكْلِ عَلَى الطَّاعَةِ، هَذَا إِذَا لَمْ يَقْتَرِنْ بِذَلِكَ مَحْذُوْرٌ كَنَحْوِ إِيْذَاءٍ أَوِ اعْتِقَادِ الْعَامَّةِ مَشْرُوْعِيَّةَ الْجَمَاعَةِ وَإِلاَّ فَلاَ ثَوَابَ بَلْ يَحْرُمُ وَيُمْنَعُ مِنْهَا (بغية المسترشدين 1 / 137)
“Diperbolehkan salat berjamaah dalam salat witir dan Tasbih, tidak makruh dan tidak dapat pahala, kecuali jika bertujuan mengajarkan orang yang salat dan memberi dorongan kepada mereka untuk melakukannya, maka mendapatkan pahala karena niat yang baik. Hal ini sebagaimana mengeraskan bacaan salat saat waktu salat yang lirih (Dzuhur-Ashar) yang hukumnya makruh karena mengajarkan, maka lebih utama lagi yang asalnya adalah mubah (boleh), dan sebagaimana melakukan hal-hal yang mubah mendapatkan pahala jika diniati ibadah seperti makan dengan tujuan untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Hukum ini selama tidak berdampak kepada yang lain, misalnya menyakiti orang lain maupun adanya keyakinan orang awam bahwa salat tersebut disyariatkan secara berjamaah. Kalau sampai mengarah seperti itu maka tidak dapat pahala, bahkan diharamkan dan harus dicegah” (Bughyah 1/137)
Originally posted on 27 September 2014 @ 05:25