Rezeki seringkali dipahami sebatas harta, makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Pemahaman ini sangat membahayakan keimanan seseorang terhadap Allah yang maha pemberi rezeki. Pernah ada satu contoh nyata kehidupan seorang wanita yang ditinggal suaminya dengan satu anak. Di tengah kesibukan mengajar di salah satu sekolah dasar, ia mencoba untuk memperbaiki nasib dengan berbisnis, mulai menjadi investor, studio musik, dan fitnes. Harapannya pupus di tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Aset investasi dibawa kabur, peralatan studio dicuri, dan alat-alat fitnes rusak. Kondisi yang demikian ini menjadi awal frustasi, menganggap tiada lagi keadilan Tuhan, segala kewajiban mulai ditinggalkannya, termasuk shalat lima waktu. Na’udzu billah.
Syekh Nawawi al-Jawi dalam Qatru al-Ghais fi Syarh Masail Abi Laits mengartikan rezeki segala sesuatu yang dapat bermanfaat bagi binatang baik berupa makanan, minuman, pakaian dan sebagainya.
أَلرِّزْقُ لَايُخْتَصُّ بِالْمَأْكُوْلِ وَالْمَشْرُوْبِ بَلْ كُلُّ مَا إِنْتَفَعَ بِهِ الْحَيَوَانُ مِنْ مَأْكُوْلٍ وَمَشْرُوْبٍ وَمَلْبُوْسٍ وَغَيْرِهَا وَمِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ التَّوْفَيْقُ لِلطَّاعَاتِ
“Rezeki tidak terbatas pada makanan dan minuman, akan tetapi segala sesuatu yang bermanfaat bagi hayawan (makhluk bernyawa) termasuk makanan, minuman, pakaian, dan sebagainya. Rezeki yang paling utama adalah at-taufiq (pertolongan Allah) kepada ketaatan.”
Secara umum Syekh Nawawi membagi rezeki menjadi dua bagian yaitu rezeki lahir dan rezeki batin.
والرزق قسمان ظاهر وهو الأقوات والأطعمة وذلك للأبدان وباطن وهي المعارف والمكاشفات وذلك للقلوب والاسرار
“Rezeki terdiri dari dua macam, pertama, rezeki lahir yaitu berupa kekuatan dan makanan untuk badan. Kedua, rezeki batin, yaitu makrifat dan mukasyafat (tersingkapnya tabir) hati dan rahasia-rahasia” (Syekh Nawawi, Qatru Al-Ghais fi Syarh Masail Abi Laits, Indonesia: Darul Ihya, hal. 4).
Berdasarkan penjelasan Syekh Nawawi tersebut dapat dipahami bahwa rezeki adalah segala bentuk kenikmatan yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya, baik berupa lahir maupun batin. Di antara kenikmatan lahir adalah kesehatan, fungsi panca indera dan anggota badan lainnya; makanan, minuman, pakain, tempat tinggal, dan segala hal yang dapat bermanfaat untuk manusia secara fisiologis. Lebih besar lagi rezeki yang diberikan Allah berupa kenikmatan batin, yaitu berupa petunjuk, keimanan, dan makrifat kepada Allah.
Manusia membutuhkan rezeki lahir dalam menjalankan ketaatan kepada Allah. Kesehatan dan kekuatan lahir sangat berpengaruh terhadap kesempurnaan ibadah. Shalat yang dijalankan dengan berdiri lebih utama dibandingkan dengan duduk. Shalat dengan cara duduk lebih utama dibandingkan terlentang, dan seterusnya. Demikian pula ibadah puasa dan haji, kedua ibadah ini diwajibkan bagi orang-orang Islam yang mampu secara lahir.
Segala bentuk ketaatan kepada Allah digerakkan oleh rezeki batin berupa petunjuk, pertolongan, dan keimanan kepada Allah. Banyak manusia yang diberikan banyak harta, kesehatan dan kekuatan fisik, namun tidak menjalankan ketaatan kepada Allah. Hal ini dikarenakan tidak mendapatkan kenikmatan batin berupa petunjuk dan keimanan. Namun ada juga segolongan manusia walaupun hidup serba kekurangan, sering sakit-sakitan, penghasilan hanya pas-pasan, akan tetapi tetap berupaya istiqamah menjalankan ibadah kepada Allah.
Sebagian Sebab Diluaskan Rezeki
Syekh Nawawi menambahkan tiga hal menjadi sebab luasnya rezeki yaitu memperbanyak shalat, shalawat, dan istighfar.
من أسباب سعة الرزق كثرة الصلاة والصلاة والسلام على النبي صلى الله عليه وسلم والإستغفار
“Sebagian dari sebab keluasan rezeki adalah memperbanyak shalat, shalawat, dan istighfar.”
Pernyataan ini didasarkan firman Allah
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى (١٣٢) ـ
“Dan perintahkanlah keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, kamilah yang memberi rezeki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa”(QS Thaha [20]: 132.).
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (١٠) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (١١) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (١٢) ـ
”Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya, Dia adalah Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sugai”. (QS. Nuh[71]: 10-12).
Keluasan rezeki dapat berupa kenikmatan lahir yang bersifat duniawi seperti harta, kesehataan, anak-anak shaleh, dan kecukupan hidup, maupun kenikmatan batin seperti keimanan, makrifat kepada Allah, ketenangan, dan sebagainya.
Manusia harus meyakini bahwa manusia diciptakan tidak untuk dibiarkan begitu saja. Bukan hanya manusia, bahkan makhluk yang berada di dalam perut atau kulit manusia pun Allah cukupi kebutuhannya. Bayi yang baru lahir sudah disediakan rezeki berupa ASI (air susu ibu) sebagai sumber nutrisinya.
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ (٦) ـ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS Hud [11]: 6).
Semoga kita semua senantiasa diluaskan rezekinya, baik rezeki lahir maupun batin. Sehingga menjadi hamba yang bersyukur dan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Jaenuri, Dosen Fakultas Agama Islam UNU Surakarta
Sumber: NU Online