Shalat fajar sebenarnya merujuk pada waktu pelaksanaan shalat yang dilakukan kala fajar telah terbit, sehingga shalat tahajud, shalat tarawih, shalat witir, dan shalat-shalat lain yang dilakukan mulai selepas isya’ hingga sebelum masuk waktu subuh tidak termasuk dalam kategori penamaan shalat fajar, melainkan shalat malam.
Hanya ada dua shalat yang terkhusus dilakukan kala fajar telah terbit, yakni shalat sunnah qabliyah subuh dan shalat subuh. Lantas sebenarnya makna dari shalat fajar apakah merujuk pada shalat subuh atau qabliyah subuh? Atau justru mencakup kedua-duanya?
Dalam beberapa hadits dijelaskan berbagai keutamaan melaksanakan shalat fajar. Hadits yang cukup masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidah ‘Aisyah berikut:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua rakaat shalat fajar lebih utama dari dunia dan seisinya” (HR. Muslim).
Imam Abu Hasan al-Mubarakfuri mengartikan dua rakaat shalat fajar pada hadits di atas pada makna shalat sunnah fajar, sehingga yang dimaksud adalah shalat qabliyah subuh. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam karya beliau, Mir’ah al-Mafatih Syarah Misykat al-Mashabih:
قوله (ركعتا الفجر) أي سنة الفجر هي المشهورة بهذا الاسم
“Makus dari perkataan ‘dua rakaat shalat fajar’ (dalam hadits) adalah shalat sunnah (qabliyah) fajar. Penyebutannya memang masyhur dengan nama ini” (Abu al-Hasan al-Mubarakfuri, Mir’ah al-Mafatih Syarah Misykat al-Mashabih, juz 4, hal. 137).
Pemaknaan shalat fajar sebagai shalat qabliyyah subuh juga dikuatkan dengan berbagai kata “rak‘atai-l-fajr” (dua rakaat shalat fajar) yang terdapat dalam beberapa hadits, misalnya dalam dua hadits berikut ini:
عن حفصة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي ركعتي الفجر قبل الصبح في بيتي يخففهما جدا
“Diriwayatkan dari Sayyidah Hafshah, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat dua rakaat fajar sebelum melaksanakan shalat subuh di rumahku dengan sangat cepat” (HR. Ahmad).
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ
“Diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah radliyallahu ‘anha, beliau berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam belum pernah dalam melakukan shalat sunnah lebih diperhatikan dari dua rakaat fajar” (HR. Bukhari)
Sedangkan dalam beberapa redaksi hadits yang lain, makna shalat fajar tidak merujuk pada shalat sunnah, tapi justru merujuk pada shalat subuh yang merupakan shalat fardhu, misalnya seperti dalam hadits berikut:
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا صَلَّى الْفَجْرَ جَلَسَ فِى مُصَلاَّهُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَسَنًا
“Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Samurah bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika telah melaksanakan shalat fajar, beliau duduk di tempat shalatnya sampai matahari terbit dengan terang” (HR. Muslim).
Makna hadits di atas dapat dipastikan merujuk pada shalat subuh, dengan berdasarkan indikasi (qarinah) lafadz setelahnya yang tidak menjelaskan bahwa Nabi Muhammad melaksanakan shalat yang lain kecuali shalat subuh.
Dalam beberapa hadits yang lain juga dijelaskan pemaknaan shalat fajar sebagai shalat subuh, dengan melihat pada hadits yang semakna namun dari riwayat yang berbeda, misalnya seperti yang dijelaskan oleh Imam al-Munawi berikut ini:
ـ (من صلى الفجر) أي صلاة الفجر بإخلاص وفي رواية صلاة الصبح (فهو في ذمة الله) ـ
“Barangsiapa melaksanakan shalat fajar dengan ikhlas—dalam sebagian riwayat diungkapkan dengan kata shalat subuh—maka dia berada dalam jaminan Allah” (Al-Munawi, Faid al-Qadir, juz 6, hal. 213).
Sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Sahabat Abdullah bin ‘Umar, secara tegas memaknai redaksi ‘shalat al-fajar” dengan makna shalat subuh, berikut hadits tersebut:
لا صَلاةَ بَعْدَ الْفَجْرِ، إِلا الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاةِ الْفَجْرِ
“Tidak ada shalat setelah (terbit) fajar kecuali dua raka’at sebelum shalat fajar” (HR. Thabrani)
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ketika shalat fajar diredaksikan dengan kata “rak’atai-l-fajr” (dua rakaat fajar) maka makna yang dimaksud adalah shalat sunnah qabliyah subuh. Sedangkan ketika shalat fajar diredaksikan dengan kata “shalla-l-fajr” atau dengan kata “shalat al-fajr” maka makna yang dimaksud adalah shalat subuh.
Demikian bila kita memaknainya berdasarkan pada analisis berbagai hadits Nabi. Sedangkan jika meninjaunya dari segi ‘urf lughat (keumuman bahasa) yang berlaku dalam masyarakat Arab, mereka umumnya memaknai shalat fajar sebagai shalat subuh. Hal ini dapat kita amati ketika memperhatikan berbagai redaksi dalam berbagai kitab turats saat menjelaskan tentang shalat subuh yang biasanya menggunakan redaksi kata “shalat al-fajr”, sama persis dengan pelafalan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani di atas. Sedangkan ketika membahasakan shalat qabliyah subuh, maka umumnya orang Arab dalam berbagai redaksi menggunakan kata “rak’atai-l-fajr”. Wallahu a’lam.
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah Kaliwining Rambipuji Jember
Sumber: NU Online