Shalat Ghaib adalah menshalatkan mayit yang tidak berada di hadapan orang yang menshalatkan, baik mayit tersebut berada di desa bertetangga maupun di negeri lain. Dalam hadits Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah melaksanakan shalat ghaib.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعً
“Rasulullah SAW mendapat kabar kematian raja Najasyi pada hari dimana raja itu wafat. Beliaupun keluar menuju tempat shalat, membariskan para Sahabat dan shalat dengan 4 takbir” (Shahih al Bukhari, nomor 168)
Hadits ini menegasan bahwa shalat ghaib adalah salah satu sunnah Rasulullah SAW. Tidak ada alasan untuk mengharamkannya. Bahkan seharusnya kita mengikutinya.
Menurut madzhab Syafi’i dan para ulama madzhab Hambali shalat ghaib hukumnya boleh. Rasulullah SAW melaksanakan shalat ghaib atas Najasyi Raja Negeri Habasyah ketika beliau mendengar kabar meninggalnya raja tersebut. Beliau juga menshalatkan Zaid bin Haritsah dan Ja’far bin Abi Thalib ketika mendapat berita bahwa keduanya meninggal dalam Perang Mu’tah. Mu’tah adalah nama tempat dimana terjadi petempuran sengit dan tidak berimbang antara pasukan Isam dan tentara Romawi. (Al Fiqh al Wadlih min al Kitab wa As Sunnah, juz 1 hal. 417)
Meskipun shalat ghaib adalah sah tetapi terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk dapat melakasanakannya, misalnya sulit mengahadiri jenazah secara langsung. Jadi apabila memang sulit hadir meskipun masih dalam satu kota –misalnya kota besar- maka shalat ghaib sah dilaksanakan. Namun apabila tidak sulit –meskipun mayit di luar batas kota namun masih relative dekat– maka tidak sah. Karena di luar batas kota seperti itu sama artinya dengan di dalam kota. Yang dimaksud dengan dekat adalah jarak dimana teriakan minta tolong masih terdengar. (Nihayah az Zain fi Irsyad al Mubtadi’in, hal. 160)