Penulis: Tim Admin
Oleh: Abdurrohman Kafabihi*
___________
Tulisan ini adalah catatan singkat Agus Iman, panggilan akrab Abdurrohman Kafabihi, tatkala beristifadah ke ndalem Maulana Habib Lutfi bin Yahya, Pekalongan, Jawa Tengah, di bulan Ramadan tahun 1444 H.
___________
Setiap santri sejati pasti ingin mendapatkan berkah dan penenang hati guna menjalani kehidupannya. Selain bisa dilakukan dengan menjalankan shalat lima waktu, shalat berjamaah, berdzikir, dan hal lainnya, kita juga dapat memupuk ketentraman jiwa dengan refleksi pemahaman yang benar dalam memaknai Islam. Mungkin itu salah satu alasan mengapa setiap Ramadan kami menyempatkan diri ke ndalem Maulana Habib Lutfi bin Yahya.
Di sana, biasanya sebelum Abah rawuh untuk menyampaikan ilmu, ada forum diskusi—bertukar informasi ilmiah dari satu musyawirin (peserta musyawarah) ke musyawirin lainnya. Abah adalah panggilan hurmat dan takzim dari para santri Maulana Habib Lutfi bin Yahya kepada beliau. Tak jarang justru saya pribadi lebih banyak istifadah (mengambil faidah) daripada ifadah-nya (memberi faidah). Selanjutnya, Abah datang dan menyampaikan samudra ilmu beliau.
Namun, karena tahun ini Abah Maulana sedang khidmah untuk umat, maka dalam waktu kurang lebih sembilan hari di sana, saya dicukupkan ber-istifadah kepada poro murid Abah senior yang juga menjadi peserta diskusi ilmiah.
Kata guru saya, kita ngaji di Habib Lutfi itu juga ngaji haliyah—perilaku hidup. Kita harus mengerti bahwa Abah juga dibutuhkan orang yg di luar sana. Sementara peserta ngaji di sini sudah lama berguru ke Abah, sedikit banyak sudah lumayan bisa. Akhirnya seyogyanya tetap legowo serta meyakini majelisnya tetap keluberan berkah Abah.
Menurut sumber yang terpercaya, doa yang dipanjatkan Abah Luthfi salah satunya adalah
ربنا اغفر لنا ولوالدينا و لمن دخل بيتي مؤمنا
Wahai Tuhan kami, ampunilah kami, ampunilah kedua orang tua kami, dan ampunilah orang-orang mukmin yang masuk ke rumah kami.
Jadi, meskipun kami dari rumah ingin sowan, atau bahkan mengaji ke Abah dan ternyata gak bisa kepanggih (bertemu, -jw), tidak perlu khawatir. Kami percaya sudah mendapatkan doanya Abah.
Baca Juga: Menghormati Ulama dengan Membungkuk, Bolehkah?
Di sana, seperti yang saya sampaikan, banyak wawasan-wawasan yang sangat penting untuk dicatat. Sebagian tercatat dalam tulisan, sebagian lagi tercatat dalam ingatan.
Salah satu yang saya ingat, di pertengahan mengaji di Ramadan hari ke-25, Agus Said Ridlwan menyampaikan panjang lebar tentang pentingnya takzhim kepada guru. Yang intinya: banyak dari kita terhalang mendapat luberan berkah dari poro auliya’/habaib/kiai karena kurangnya tata krama kita pada beliau.
ليس الحرمان بأن لم ترزق بمصاحبة الأولياء # ولكن الحرمان كل الحرمان أن ترزق بمجاورتهم ولم ترزق الأدب معهم.
Tidaklah disebut sebagai hijab/penghalang (akan sampainya keberkahan untuk kita) jika kita tak bisa mendapat kesempatan bersanding dengan para kekasih Allah. Namun hal yang menjadi penghalangnya adalah ketika kita bisa bersama poro beliau namun tidak disertai dengan adab.
Beliau melanjutkannya dengan menyampaikan ibarat
– إنما قل انتفاع أهل الزمان بالصالحين من حيث قلة التعظيم لهم وضعفُ حُسن الظن فيهم، فحُرِمُوا بسبب ذلك بركاتهم، ولم يُشاهدواكراماتهم حتى توهموا أن الزمان خال عن الله – كثيرون ظاهرون ومخفيون ولا يعرفُهم إلا من نور الله قلبه بأنوار التعظيم وحُسنِ الظن فيهم،وقد قيل: المدد في المشهد . اهـ « المنهج السوي : ١٧١ »
Orang-orang zaman sekarang sedikit sekali yang bisa mendapatkan manfaat dan orang-orang saleh. Karena sedikitnya rasa takzhim mereka kepada orang-orang saleh itu. Juga lemahnya prasangka baik kepada mereka. Maka sebab itulah mereka terhalang dari berkah orang-orang saleh.
Hanya orang-orang yang oleh Allah hatinya diberi cahaya pengagungan dan husnuzhan lah yang mampu mengerti kemuliaan orang-orang saleh. (Al-Manhaj as-Sawi: 171).
أقل الناس نفعا بالشيخ زوجته وولده ونقيبه )، لكثرة مشاهدتهم له ووقوفهم مع ظاهرِ بَشَريتهم دون الوصول إلى معرفة قلبه، وما فيه من الأسرار والمشاهد النفيسةاهـ
Sangat sedikit manusia yang bisa mendapatkan manfaat dari ulama—juga istri, anak dan keturunannya, karena seringnya mereka berkumpul dan bersanding secara fisik, namun tidak sampai di hati mereka.
Salah satu senior peserta ngaji—bapak Zaimul Abror, pada malam Ramadan ke-23 menyampaikan
“Dawuh Abah Lutfi: Orang yang menghafalkan Al-Quran (atau mungkin bisa juga niat istiqamah mendaras Al-Qur’an) itu sejatinya adalah khidmah kepada Al-Qur’an.”
“Kalau kamu ingin berakhlak mulia, maka dekatlah dengan orang yang mulia—tak terkecuali pada yang telah meninggal, dengan cara berziarah.”
Dalam kesempatan lain, saya tanya bertanya kepada Habib Lukman bin Yahya, “Bib, ketika ada banyak orang yang membenci Abah, tanggapan beliau bagaimana?” Di dalam hati, saya bergumam, barangkali jawaban beliau bisa untuk saya terapkan untuk saya juga.
Salah satu jawaban Habib Lukman bin Yahya adalah, “Abah gak merdulikan mereka. Beliau pernah dawuh ‘Waktu saya akan habis kalau dibuat mengurus mereka mereka.’”
Dari jawaban beliau, tentu ini membuat saya sangat termotivasi akan sikap bijak tersebut. Karena seorang pembenci akan tetap membenci meskipun telah kita jelaskan seribu kata untuk mereka.
Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi pernah berkata,
إذا لم تجد لك حاقدا فاعلم انك إنسان فاشل
Jika tidak ada yang membencimu sama sekali, ketahuilah bahwa kamu adalah manusia yang gagal.
Juga Imam Syafi’i di saat menghadapi haters yang memfitnah beliau, beliau menyenandungkan syair
قال الإمام الشافعي : قد قيل أن الله ذو ولد… و قيل أن خير الخلق قد كھنا ! ما سلم الله من بريته ولا نبي الهدى…. فكيف أنا ؟
Telah dikatakan bahwa Allah memiliki anak. Dikatakan pula Rosululloh adalah tukang sihir! Allah tidak lepas dari fitnahnya manusia. Begitu pula Rasulullah. Lantas bagaimana dengan aku?
Dengan ini, secara tidak langsung, untaian ilmu yang disampaikan selama sembilan hari belakangan diharapkan dapat memberikan ketenangan hati bagi poro pendengarnya, meskipun Abah Lutfi berhalangan hadir.
Alhamdulillah, saya berkesempatan sowan beliau sewaktu baru datang di Pekalongan dan sewaktu hendak pulang. Beliau menitipkan salam untuk kedua orang tua saya.
Semoga diri yang masih banyak kelirunya ini diakui sebagai murid beliau. Amin amin ya rabbal alamin.
Terimakasih yaa Pekalongan wa ahlahaa. Akan saya simpan segala kenangan indah yang tak terlupakan untuk kehidupan yang akan datang.
*Penulis: Agus Abdurrahman Kafabihi. Putra KH. Abdullah Kafabihi Mahrus. Ketua Lajnah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri 2020-2022.
Penulis: Tim Admin
Sumber: https://aswajamuda.com/takzim-dan-husnuzhan-kepada-ulama-adalah-kunci-keberkahan-hidup/