Berdasarkan hadis-hadis sahih ziarah kubur adalah sunah. Jika ziarah kubur sunah, maka melakukan perjalanan untuk ziarah kubur juga sudah pasti sunah (Syaikh Ali as Sumhudi dalam Khulashat al Wafa I/46). Bahkan Rasulullah Saw setelah di Madinah secara rutin setiap tahun ziarah ke makam syuhada yang gugur saat perang Uhud di Makkah:
كَانَ النَّبِيُّ g يَأْتِي قُبُوْرَ الشُّهَدَاءِ عِنْدَ رَأْسِ الْحَوْلِ فَيَقُوْلُ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ قَالَ وَكَانَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ يَفْعَلُوْنَ ذَلِكَ (مصنف عبد الرزاق 6716 ودلائل النبوة للبيهقى 3 / 306)
“Diriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim al-Taimi, ia berkata: Rasulullah Saw mendatangi kuburan Syuhada tiap awal tahun dan beliau bersabda: Salam damai bagi kalian dengan kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu (al-Ra’d 24). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga melakukan hal yang sama” (HR Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf No 6716 dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwah III/306)
Tidak dipungkiri memang ada ulama yang mengharamkannya dengan berdalil pada hadis sahih:
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Tidak diperbolehkan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, yaitu masjid al-Haram, masjid Rasulullah (Madinah) dan masjid al Aqsha” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Hadis ini tidak dapat dijadikan dalil larangan ziarah ke makam Rasulullah Saw. Hal ini berdasarkan takhsis (yang membatasi) dari dua hadis, yang menunjukkah bahwa larangan berpergian dalam hadis diatas adalah ke masjid selain yang 3 tadi, bukan ke makam para Nabi atau ulama. Pertama riwayat Ahmad (III/471) dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah Saw bersabda:
لاَ يَنْبَغِي لِلْمَطِيِّ أَنْ تُشَدَّ رِحَالُهُ إِلَى مَسْجِدٍ يُبْتَغَى فِيْهِ الصَّلاَةُ غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِوَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى وَمَسْجِدِي هَذَا (رواه أحمد وشهر فيه كلام وحديثه حسن)
“Seharusnya bagi pengendara tidak melakukan perjalanan ke suatu masjiduntuk melaksanakan salat disana, selain masjid al-Haram, masjid al-Aqsha dan masjidku”. Al-Hafidz Al-Haitsami berkata: “Di dalam sanadnya terdapat Syahr bin Hausyab, hadisnya hasan” (Majma’ az-Zawaid IV/7). Al-Hafidz Ibnu Hajar juga menilainya hasan dalam Fathul Bari III/65
Kedua, hadis riwayat al-Bazzar dari Aisyah, Rasulullah Saw bersabda:
أَناَ خَاتَمُ اْلأَنْبِيَاءِ وَمَسْجِدِي خَاتَمُ مَسَاجِدِ اْلأَنْبِيَاءِ أَحَقُّ الْمَسَاجِدِ أَنْ يُزَارَ وَتُشَدَّ إِلَيْهِ الرَّوَاحِلُ الْمَسْجِدُ وَمَسْجِدِي صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ (رواه البزار)
“Aku adalah penutup para Nabi, dan masjidku adalah penutup masjid-masjid para Nabi. Dan yang paling berhak didatangi adalah masjid al-Haram dan masjidku….” (Baca Majma’ az-ZawaidIV/7 karya al-Hafidz al-Haitsami)
Ahli hadis Al Hafidz Ibnu Hajar membantah penggunaan hadis diatas sebagai dalil larangan melakukan ziarah ke makam orang-orang shaleh. Pertama, jika hadis ini digunakan sebagai larangan melakukan perjalanan ziarah kubur, maka mestinya melakukan perjalanan silaturrahim, perjalanan mencari ilmu, berdagang dan sebagainya juga dilarang (Fathul Bari IV/190). Kedua, hadis ini bertentangan dengan hadis sahih lain riwayat al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar yang menjelaskan bahwa “Rasulullah berkunjung ke masjid Quba’ setiap hari Sabtu, baik berkendaraan atau berjalan kaki”. Oleh karenanya melakukan perjalanan ke selain tiga masjid tersebut tidak dilarang (Fathul Bari IV/190)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
فَيَبْطُلُ بِذَلِكَ قَوْل مَنْ مَنَعَ شَدَّ اَلرِّحَال إِلَى زِيَارَةِ اَلْقَبْرِ اَلشَّرِيفِ وَغَيْره مِنْ قُبُورِ الصَّالِحِينَ وَاَلله أَعْلَمُ (فتح الباري لابن حجر – ج 4 / ص 197)
“Maka batallah pendapat ulama yang mengatakan dilarangnya ziarah ke makam Rasulullah dan dan makam orang-orang shaleh” (Fathul Bari IV/197)
Imam Nawawi juga berkata:
وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي شَدِّ الرِّحَالِ وَإِعْمَالِ الْمَطِيّ إِلَى غَيْرِ الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ كَالذَّهَابِ إِلَى قُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ وَإِلَى الْمَوَاضِعِ الْفَاضِلَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَقَالَ الشَّيْخُ أَبُوْ مُحَمَّدٍ الْجُوَيْنِيّ مِنْ أَصْحَابِنَا هُوَ حَرَامٌ وَهُوَ الَّذِي أَشَارَ الْقَاضِي عِيَاضٌ إِلَى اِخْتِيَارِهِ وَالصَّحِيْحُ عِنْدَ أَصْحَابِنَا وَهُوَ الَّذِي اِخْتَارَهُ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْمُحَقِّقُوْنَ أَنَّهُ لاَ يَحْرُمُ وَلاَ يُكْرَهُ (شرح النووي على مسلم – ج 5 / ص 62)
“Ulama berbeda pendapat dalam melakukan perjalanan ke selain 3 masjid diatas, seperti perjalanan ke makam-makam orang shaleh, tempat-tempat utama dan sebagainya. Dari kalangan Syafiiyah, Syaikh al-Juwaini mengatakan haram. Pendapat ini pula yang diisyaratkan oleh Qadli Iyadl. Namun pendapat yang sahih menurut ulama Syafiiyah, yang juga dipilih oleh Imam al-Haramain dan ulama lainnya adalah tidak haram dan tidak makruh”(Syarah Muslim 5/62)
Originally posted on 30 January 2017 @ 10:53