Ditulis pada Jumat, 11 Oktober 2002
Oleh : KH. Abdurrahman Wahid
BEBERAPA tahun yang lampau, seorang ulama dari Pakistan datang pada penulis di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta. Pada saat itu, Benazir Butho masih menjabat Perdana Menteri Pakistan. Permintaan orang alim itu adalah agar penulis memerintahkan semua warga NU untuk membacakan surah Al-Fatihah bagi keselamatan bangsa Pakistan.
Mengapa? Karena mereka dipimpin Benazir Butho yang berjenis kelamin perempuan. Bukankah Rasulullah SAW telah bersabda “celakalah sebuah kaum jika dipimpin oleh seorang perempuan”. Penulis menjawab bahwa hadits tersebut disabdakan pada abad VIII Masehi di jazirah/Peninsula Arabia. Bukankah ini berarti diperlukan sebuah penafsiran baru yang berlaku untuk masa kini?
Pada waktu dan tempat itu, konsep kepemimpinan (za’amah) bersifat perorangan -di mana seorang kepala suku harus melakukan hal-hal berikut: memimpin peperangan melawan suku lain, membagi air melalui irigasi di daerah padang pasir yang demikian panas, memimpin karavan perdagangan dari kawasan satu ke kawasan lain dan mendamaikan segala macam persoalan antar para keluarga yang berbeda-beda kepentingan dalam sebuah suku, yang berarti juga dia harus berfungsi membuat dan sekaligus melaksanakan hukum.
Sekarang keadaannya sudah lain, dengan menjadi pemimpin, baik ia Presiden maupun Perdana Menteri sebuah negara, konsep kepemimpinan kini telah dilembagakan/di-institusionalisasi-kan. Dalam konteks ini, Perdana Menteri Butho tidak boleh mengambil sikap sendiri, melainkan melalui sidang kabinet yang mayoritas para menterinya adalah kaum lelaki. Kabinet juga tidak boleh menyimpang dari Undang-Undang (UU) yang dibuat oleh parlemen yang beranggotakan laki-laki sebagai mayoritas. Untuk mengawal mereka, diangkatlah para Hakim Agung yang membentuk Mahkamah Agung (MA), yang keseluruhan anggotanya juga laki-laki. Karenanya, kepemimpinan di tangan perempuan tidak lagi menjadi masalah, karena konsep kepemimpinan itu sendiri telah dilembagakan/di-institusionalisasi-kan. “Anda memang benar, demikian kata orang alim Pakistan itu, tetapi tolong bacakan surah Al-Fatihah untuk keselamatan bangsa Pakistan”.
*****
Kisah di atas, dapat dijadikan contoh betapa Arabisasi telah berkembang menjadi Islamisasi -dengan segala konsekuensinya. Hal ini pula yang membuat banyak aspek dari kehidupan kaum muslimin yang dinyatakan dalam simbolisme Arab. Atau dalam bahasa tersebut, simbolisasi itu bahkan sudah begitu merasuk ke dalam kehidupan bangsa-bangsa muslim, sehingga secara tidak terasa Arabisasi disamakan dengan Islamisasi. Sebagai contoh, nama-nama beberapa fakultas di lingkungan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) juga di-Arabkan; kata syari’ah untuk hukum Islam, adab untuk sastra Arab, ushuludin untuk studi gerakan-gerakan Islam dan tarbiyah untuk pendidikan agama. Bahkan fakultas keputrian dinamakan kulliyyatul bannat. Seolah -olah tidak terasa ke-Islaman-nya kalau tidak menggunakan kata-kata bahasa Arab tersebut.
Kalau di IAIN saja, yang sekarang juga disebut UIN (Universitas Islam Negeri) sudah demikian keadaannya, apa pula nama-nama berbagai pondok pesantren. Kebiasaan masa lampau untuk menunjuk kepada pondok pesantren dengan menggunakan nama sebuah kawasan/tempat, seperti Pondok Pesantren (PP) Lirboyo Kediri, Tebu Ireng Jombang dan Krapyak di Yogyakarta, seolah-olah kurang Islami, kalau tidak menggunakan nama-nama berbahasa Arab. Maka, dipaksakanlah nama PP Al-Munawwir di Yogya -misalnya, sebagai pengganti PP Krapyak.
Demikian juga, sebutan nama untuk hari dalam seminggu. Kalau dahulu orang awam menggunakan kata “minggu” untuk hari ke tujuh dalam al-manak, sekarang orang tidak puas kalau tidak menggunakan kata Ahad. Padahal kata minggu, sebenarnya berasal dari bahasa Portugis, “jour do-minggo”, yang berarti hari Tuhan. Mengapa demikian? Karena pada hari itu orang-orang Portugis -kulit putih pergi ke Gereja. Sedang pada hari itu, kini kaum muslimin banyak mengadakan kegiatan keagamaan, seperti pengajian. Bukankah dengan demikian, justru kaum muslimin menggunakan hari tutup kantor tersebut sebagai pusat kegiatan kolektif dalam ber-Tuhan?
*****
Dengan melihat kenyataan di atas, penulis mempunyai persangkaan bahwa kaum muslimin di Indonesia, sekarang justru sedang asyik bagaimana mewujudkan berbagai keagamaan mereka dengan bentuk dan nama yang diambilkan dari Bahasa Arab. Formalisasi ini, tidak lain adalah kompensasi dari rasa kurang percaya diri terhadap kemampuan bertahan dalam menghadapi “kemajuan Barat”. Seolah-olah Islam akan kalah dari peradaban Barat yang sekuler, jika tidak digunakan kata-kata berbahasa Arab. Tentu saja rasa kurang percaya diri ini juga dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan kaum muslimin sekarang di seluruh dunia. Mereka yang tidak pernah mempelajari agama dan ajaran Islam dengan mendalam, langsung kembali ke akar Islam, yaitu kitab suci Alquran dan Hadits Nabi SAW. Dengan demikian, penafsiran mereka atas kedua sumber tertulis agama Islam itu menjadi super-ficial dan “sangat keras” sekali. Bukankah ini sumber dari terorisme yang menggunakan nama Islam dan yang kita tolak?
Dari “rujukan langsung” pada kedua sumber pertama Islam itu, dikenal dengan sebutan dalil naqli, jadi sikap sempit yang menolak segala macam penafsiran berdasarkan ilmu-ilmu agama (religious subject). Padahal penafsiran baru itu adalah hasil pengalaman dan pemikiran kaum muslimin dari berbagai kawasan (waktu yang sangat panjang). “Pemurnian Islam” (Islamic Puritanism) seperti itu, berarti tudingan salah alamat ke arah tradisi Islam yang sudah berkembang di berbagai kawasan selama berabad-abad, memang ada ekses buruk dari pengalaman dan perkembangan pemikiran itu, tetapi jawabnya bukanlah berbentuk puritanisme yang berlebihan, melainkan dalam kesadaran membersihkan Islam dari ekses-ekses yang keliru tersebut.
Agama lainpun pernah atau sedang mengalami hal ini, seperti yang dijalani kaum Katholik dewasa ini. Reformasi yang dibawakan oleh berbagai macam kaum Protestan, bagi kaum Katholik dijawab dengan berbagai langkah kontra-reformasi semenjak seabad lebih yang lalu. Pengalaman mereka itu yang kemudian berujung pada teologia pembebasan (liberation theology), merupakan perkembangan menarik yang harus dikaji oleh kaum muslimin. Ini adalah pelaksanaan dari adagium “perbedaan pendapat dari para pemimpin, adalah rahmat bagi umat” (ikhtilaf al-a’immah rahmat al-ummah). Adagium tersebut bermula dari ketentuan kitab suci Alquran: “Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling mengenal” (wa ja’alnaakum syu’uuban wa qabaa’ila li ta’arafuu). Makanya, cara terbaik bagi kedua belah pihak, baik kaum tradisionalis maupun kaum pembaharu dalam Islam, adalah mengakui pluralitas yang dibawakan oleh agama Islam. Indah, bukan?