Penulis: Abdul Wahab Ahmad
Banyak orang yang anti tahlilan memakai sebuah kutipan fatwa dari kitab I’anatut Thalibin sebagai salah satu senjata andalan untuk menyerang amaliyah orang Indonesia yang mayoritas Syafi’iyah. Kitab tersebut adalah salah satu rujukan kaum santri Syafi’iyah untuk memecahkan berbagai masalah fikih keseharian mereka. Tentu saja bila kitab tersebut dijadikan senjata, maka diharapkan banyak santri yang bisa gentar.
Kutipan anti tahlilan yang dimaksud adalah teks berikut:
إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين (2/ 165)
نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها
“Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk Bid’ah yang nungkar, yang bagi orang yang melarangnya akan diberi pahala”
Tapi apakah benar kutipan fatwa dari kitab I’anatut Thalibin di atas dalam konteks mengharamkan tahlilan? Nah inilah yang seharusnya dipahami baik-baik. Mari kita urai dulu asal muasal kutipan tersebut dalam poin-poin berikut ini:
1. Kutipan tersebut dimulai dengan kata نعم yang berarti “Ya, benar”. Artinya sang mufti di sana tidak berbicara dalam konteks umum tetapi sebagai respon dari konteks yang ditanyakan penanya sebelumnya. Salah satu aturan tegas dalam memberikan fatwa adalah seorang mufti harus memberikan jawaban yang spesifik terkait hukum yang ditanyakan penanya (mustafti) sesuai konteks pertanyaan itu. Jadi tak boleh melenceng ke mana-mana jawabannya.
2. Konteks pertanyaan yang ditanyakan oleh penanya sehingga muncul fatwa itu tertulis sebagai berikut:
إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين (2/ 165)
ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للأنام مدى الأيام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الأشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة.
“Apa pendapat para mufti yang mulia di tanah haram, semoga mereka selalu memberikan manfaat pada manusia, dalam kasus tradisi khusus di suatu negeri bagi orang yang apabila ada orang meninggal dunia kemudian kenalan dan tetangganya datang bertakziyah, maka ada kebiasaan agar para pentakziyah tersebut menunggu hidangan makanan, Dan karena desakan rasa malu, maka keluarga mayit sangat memaksakan diri mempersiapkan beragam makanan pada mereka dan menyuguhkannya dengan kesulitan yang sangat besar”.
إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين (2/ 165)
فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الأهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور؟
“Apakah ketika ada penguasa, yang karena kasihan pada rakyatnya dan empati pada keluarga mayit, kemudian melarang praktek tersebut secara total agar masyarakat kembali berpegang pada Sunnah Nabi, shalawat dan salam baginya, yang bersabda: “Buatlah makanan bagi keluarga Jakfar”, maka penguasa itu mendapat pahala atas larangan tersebut?”
3. Jadi, konteks fatwa itu adalah ketika ada tradisi di mana para pentakziyah tak tahu diri cuma datang ke rumah keluarga mayit lalu meminta makanan pada mereka sehingga tuan rumah sangat-sangat kerepotan dan terpaksa memberikan makanan. Hal ini tentu berlawanan dengan sunnah yang mengajarkan untuk meringankan beban keluarga mayit.
4. Sebagai respon terhadap kasus spesifik itu, maka Sang Mufti mengiyakan maksud dari penanya yang mengusulkan agar penguasa melarang praktek seperti di atas. Karena itu, maka muncullah fatwa tersebut di atas yang intinya membenarkan tindakan Sang penguasa dan juga membenarkan bahwa pelarangan tersebut bisa mendapat pahala. Sampai di sini poin fatwa tersebut seharusnya sudah jelas.
Apakah tahlilan seperti ini kasusnya? Jawabannya jelas tidak. Orang tahlilan tidak sekedar berkumpul tanpa melakukan apa pun lalu minta makan pada tuan rumah. Siapa yang memakai penjelasan fatwa di atas dalam konteks tahlilan seperti di Indonesia, maka ia telah berbohong atau sangat bodoh.
5. Sebagai tambahan penjelasan, Sang Mufti kemudian menukil penjelasan Imam Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfatul Muhtaj yang menjelaskan bahwa sunnah hukumnya bagi para tetangga membuatkan makanan bagi keluarga mayit dan membujuk mereka agar mau memakannya karena kadang mereka malu atau terlalu larut dalam kesedihan. Hal ini didasarkan pada hadis sahih yang artinya “Buatkan makanan bagi keluarga Ja’far, sesungguhnya mereka sedang mendapat kesulitan yang merepotkan”.
Poin ini disepakati semua orang dan sudah jelas. Masyarakat Indonesia telah melakukan sunnah ini dengan sangat baik, bahkan bukan hanya memberi makanan untuk sehari semalam, selama seminggu pun dibantu memasak dan bahan makanan hasil pemberian tetangga bila dimakan hanya keluarga mayit saja bisa cukup untuk waktu yang sangat lama, bahkan ada yang bisa berbulan-bulan karena banyaknya.
6. Kemudian Sang Mufti memberikan tambahan catatan lagi tentang niyahah agar makin jelas. Isinya selengkapnya sebagai berikut:
إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين (2/ 165)
ويحرم تهيئه للنائحات لأنه إعانة على معصية،
“Diharamkan menyediakan makanan bagi para pelaku niyahah sebab itu sama saja dengan membantu kemaksiatan.
Niyahah adalah meratapi kesedihan secara berlebihan, seperti dengan cara menampar muka, memukul kepala, menangis histeris berteriak dan berguling-guling, menyobek baju, melempar perabotan dan semacamnya. Sang mufti dalam pernyataan di atas hendak menjelaskan bahwa niyahah ini haram hukumnya sehingga apabila keluarga mayit melakukan niyahah, maka mereka tak boleh disupport dengan cara diberi makanan. Memberi mereka makanan sama saja dengan mendukung niyahah.
7. Kemudian Sang Mufti melanjutkan keterangannya membahas tentang niyahah dalam konteks yang berbeda dari menampar pipi dan sebagainya itu. Ia berkata:
إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين (2/ 165)
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة.
“Dan apa yang telah menjadi kebiasaan di mana ahli mayit membuat makanan untuk mengundang orang-orang agar datang padanya, adalah bid’ah yang statusnya makruh, seperti halnya juga makruh mendatangi undangan tersebut karena telah sahih dari Jarir ra, “Kami menganggap berkumpul pada keluarga mayit dan penyuguhan makanan oleh mereka setelah mayit dikuburkan termasuk dari niyahah.”
ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن.
Sisi pertimbangan mengkategorikannya sebagai niyahah adalah karena sangat mementingkan urusan kesedihan”.
Poin ini yang juga kemudian dianggap sebagai poin untuk mengharamkan tradisi tahlilan. Benarkah demikian? simak poin selanjutnya.
8. Ada tiga poin yang harus dibahas dari pernyataan Sang Mufti dalam poin nomor 7 di atas, yakni:
a. Ia mengkategorikan penyuguhan makanan oleh keluarga mayit sebagai niyahah dengan alasan mementingkan urusan kesedihan. Artinya unsur niyahah ini hanya bisa terjadi ketika motif pemberian makanan ini adalah karena menunjukkan ekpresi kesedihan yang menadalam.
Macam-macam cara orang menunjukkan ekspresi susah yang berlebihan, ada yang dengan cara makan banyak dan ada pula yang seperti kasus ini dengan cara mengeluarkan uangnya untuk mentraktir orang-orang supaya makan rame-rame. Jadi ini semacam pesta (walimah) lah. Kata sebagian ulama di kitab lain, kematian kok malah dibuatkan pesta? ini tentu melawan sunnah yang menyuruh pesta untuk momen bahagia seperti kelahiran dan perkawinan saja.
Bagaimana bila motif penyediaan makanan itu bukan karena alasan seperti di atas? misalnya karena alasan ingin bersedekah atas nama mayit, menghormati tamu dan semacamnya yang memang sunnah? Tentu tak bisa masuk dalam kategori niyahah ini, sesuai dengan kaidah: al-hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman (hukum itu berputar bersama ada tidaknya motif hukum yang menetapkannya)
b. Sang Mufti berdalil dengan pendapat Sahabat Jarir ra. Ini bukan hadis, hanya pendapat beliau pribadi dan beberapa sahabat lain yang sependapat dengannya. Karena itu, maka kata “Kami” dalam pernyataan Jarir bukanlah berarti seluruh sahabat seperti diklaim beberapa orang. Itu klaim yang sama tak berdasar, bahkan justru sejarah mencatat sebaliknya.
Sahabat yang jauh lebih hebat dari Jarir, yakni Khalifah Umar bin Khatthab justru berwasiat agar para sahabat yang bertakziyah dijamu makanan dan para sahabat itu pun akhirnya makan semua. Berikut ini teks sejarahnya:
قُرَيْشٍ مِنْ بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ أُنَاسٌ، فَلَا أَدْرِي مَا تَأْوِيلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ، فَأَمَرَ صُهَيْبًا أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلَاثًا، وَأَمَرَ أَنْ يَجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَامًا تِلْكَ الثَّلَاثِ الْأَيَّامِ حَتَّى يَجْتَمِعَ أَهْلُ الشُّورَى عَلَى رَجُلٍ، فَعَرَفْتُ تَأْوِيلَ قَوْلِهِ. فَلَمَّا رَجَعُوا مِنَ الْجِنَازَةِ جَاؤُوا وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ، فَأَمْسَكَ النَّاسُ لِلْحُزْنِ الَّذِي هُمْ فِيهِ، فَجَاءَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَأَكَلْنَا وَشَرِبْنَا بَعْدَهُ، وَمَاتَ أَبُو بَكْرٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فَأَكَلْنَا وَشَرِبْنَا. أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِنْ هَذَا الطَّعَامِ، فَمَدَّ يَدَهُ وَمَدَّ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ فَأَكَلُوا. رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ، وَفِيهِ عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ، وَحَدِيثُهُ حَسَنٌ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ رِجَالُ الصَّحِيحِ. (مجمع الزوائد ومنبع الفوائد)
“Dari ‘Ahnaf bin Qais, ia berkata: Saya mendengar Umar bin Khattab berkata: “Tidaklah seorang pemuka Quraisy masuk dari satu pintu kecuali pasti diikuti oleh banyak orang orang”. Aku tak tahu maksudnya apa hingga Umar ditikam (dibunuh). Ia memerintahkan Suhaib untuk salat bersama orang-orang selama tiga hari dan agar menyediakan jamuan makan bagi orang-orang itu selama tiga hari tersebut hingga majelis Syura sepakat mengangkat seorang pengganti khalifah. Saat itulah aku baru tahu maksud perkataan Umar. Ketika orang-orang telah pulang dari mengantarkan jenazah, maka telah ada jamuan makan bagi mereka tapi mereka tak mau makan sebab sedih. Kemudian Abbas bin Abdul Muthallib berkata: “Wahai orang-orang, Rasulullah telah wafat dan kita makan minum setelah itu, Abu Bakar juga telah wafat dan kitapun bisa makan dan minum. Wahai orang-orang, makanlah makanan ini”. Kemudian ia mengambil makanan itu dan orang-orangpun juga melakukannya dan makan.
Hadis ini diriwayatkan oleh At-Thabrani, di dalamnya ada Ali bin Zaid yang hadisnya Hasan, sedangkan periwayat lainnya adalah periwayat hadis Sahih. (Majma’ az-Zawa’id)
Karena itu, pendapat Sahabat Jarir di atas sejatinya tidak cukup menjadi dalil larangan untuk mengharamkan suguhan makanan dari keluarga mayit. Apalagi kita tahu bahwa dalam konteks tahlilan motif suguhan makanannya bukan karena mengungkapkan ekspresi kesedihan seperti yang dilihat Sahabat Jarir, tetapi karena menjalankan sunnah Nabi lainnya berupa bersedekah atas nama keluarga yang meninggal.
c. Meskipun Sang Mufti merasa tindakan menyuguhkan makanan dengan motif ungkapan kesedihan semata adalah bentuk niyahah, tapi ia tak mengharamkannya. Ia hanya menganggapnya sebagai hal makruh. Mungkin karena ia tahu bahwa hal ini adalah tindakan yang belum pasti betul larangannya tetapi hanya tidak ideal.
Dalam definisi ulama syafi’iyah, makruh adalah tindakan yang apabila dilakukan tidak mengapa tetapi sebaiknya dihindari. Jadi, bila ada yang menganggap bahwa fatwa itu dalam rangka mengharamkan, maka ia telah berbohong atau sangat bodoh.
Dari uraian panjang di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Fatwa yang ada dalam kitab I’anatut Thalibin sama sekali tidak dalam rangka membahas hukum tradisi tahlilan sebagaimana menjadi kebiasaan masyarakat di Indonesia. Ia muncul sebagai respon kasus lain yang sama sekali berbeda.
Andai saja penanya fatwa (mustafti) bertanya dengan redaksi demikian:
“Para mufti yang mulia, bagaimanakah hukumnya sebuah keluarga yang ketika salah satu anggota keluarganya meninggal kemudian ia ingin menjalankan sunnah Rasul yang menyatakan bahwa salah satu cara berbakti pada orang tua yang meninggal adalah bersedekah atas nama mereka, sehingga mereka membuat makanan untuk para tetangga dengan niat seperti itu. Mereka pun tidak melakukannya karena niyahah dan tidak pula merasa terpaksa. Apakah tindakan mereka mendapat pahala?”
Kira-kira apa jawaban para mufti tersebut? Tentu mendukung.
(Abdul Wahab Ahmad. PW Aswaja NU Center Jatim)
Penulis: Abdul Wahab Ahmad
Sumber: https://guswahab.com/fiqih/benarkah-tahlilan-diharamkan-dalam-kitab-ianatut-thalibin/