Penulis: Abdul Wahab Ahmad
Ada kecenderungan belakangan ini sains dijadikan alasan untuk menolak keberadaan Tuhan. Tapi mungkinkah sukses? Upaya semacam ini tidak mungkin sukses kecuali bagi orang yang memang menutup mata dari kebenaran.
Sains itu hanya mampu meneliti makhluk dan menemukan makhluk yang “baru”. Ia sejak awal tak pernah dirancang untuk meneliti Pencipta Makhluk (Sang Khaliq) yang bersifat Ghaib. Sebab itu, bila ada suatu kekuatan hebat yang ditemukan sains, itu pasti makhluk dan bukan Pencipta Makhluk.
Contoh kasus sederhana misalnya ketika kaum beragama berkata bahwa orang sakit sebab diberi sakit oleh Tuhan. Lalu kemudian sains menemukan bahwa ada makhluk tidak kasat mata bernama virus yang membuat orang menjadi sakit. Tapi apakah bisa disimpulkan bahwa Tuhan tak ada? Tidak bisa. Yang bisa diketahui hanyalah bahwa salah satu cara Tuhan membuat orang sakit adalah melalui virus.
Contoh lain yang lebih besar skalanya adalah tentang langit. Kaum beragama mengatakan bahwa langit ini disangga dengan kekuatan Tuhan. Lalu sains datang menbuktikan bahwa semesta ini “disangga” dengan adanya daya dorong dan daya tarik yang luar biasa presisi sehingga benda-benda angkasa berada di orbit yang kita lihat sekarang. Apa artinya Tuhan tidak ada? Tidak bisa disimpulkan demikian. Yang ada hanyalah kita jadi tahu bagaimana cara Tuhan “menyangga” semesta ini.
Kita beralih ke contoh lainnya yang lebih besar. Hingga saat ini Big Bang diyakini sebagai awal mula terbentuknya alam semesta. Sebagian kaum beragama tampak bersorak sorai dengan penemuan ini karena membuktikan bahwa alam semesta mempunyai awal mula yang tentu saja kemudian ditarik kesimpulan bahwa Big Bang adalah kreasi Tuhan.
Beberapa saintis ateis tak menyukai kesimpulan ini dan berupaya membuat skenario yang membuat Big Bang bukan awal segalanya. Akhirnya muncul teori Big Bounce yang menyatakan bahwa alam semesta mengembang lalu menyusut lagi lalu mengembang lagi dalam siklus tiada akhir. Selain itu ada juga teori multiverse yang menyatakan bahwa alam semesta tidak tunggal tetapi sangat banyak dan tak berkesudahan.
Lalu andai saja suatu saat teori-teori yang belum disepakati itu dinyatakan sebagai fakta oleh temuan-temuan sains di masa depan, apakah artinya sains membuktikan bahwa Tuhan tidak ada? Tidak juga bisa disimpulkan demikian. Yang bisa disimpulkan hanyalah kita tahu bagaimana cara Tuhan memperlakukan alam semesta di level global.
Jadi upaya apa pun yang dilakukan oleh beberapa saintis untuk menafikan keberadaan Tuhan akan selalu gagal sebab sejak awal sains memang hanya bisa menjangkau makhluk saja, bukab Sang Khaliq. Karena itulah upaya beberapa kalangan yang menuntut pembuktian keberadaan Tuhan yang bisa diverifikasi dan diobservasi secara saintifik adalah upaya absurd. Selama masih bisa diobservasi di dunia ini dan bisa diteliti secara saintifik, maka artinya itu makhluk, bukan Sang Khaliq.
Kalau kita mau berkhayal andai saja sains menemukan ada sosok berukuran gigantik di atas sana yang sangat powerfull sehingga milyaran galaksi hanya seujung jarinya atau bahkan yang triliyunan kali lebih besar dari itu, maka hanya para mujassim dungu (apa pun agamanya) yang barangkali menyangkanya sebagai Tuhan. Ahli agama yang cerdas akan bisa memastikan bahwa sosok itu adalah makhluk biasa yang sama sekali tidak layak dianggap Tuhan sebab ia adalah jisim (sosok berdimensi panjang, lebar, dan tinggi). Seluruh jisim atau atribut yang melekat pada jisim adalah makhluk. Dan sayangnya, jangkauan sains hanya pada jisim dan atribut yang melekat padanya. Karena itu, mustahil sains bisa menyelidiki Tuhan, apalagi menafikannya.
Lalu apabila Tuhan sedemikian tak terjangkaunya, lalu apa bukti keberadaannya? Buktinya adalah keberadaan seluruh alam semesta dan isinya ini. Itu adalah bukti bahwa ada sesuatu yang dibuat dari tidak ada menjadi ada. Allah menyebut semua yang bisa diobservasi ini sebagai ayat, yakni bukti keberadaan-Nya. Dengan kata lain, seluruh bahasan sains tentang makhluk ejatinya adalah bukti keberadaan Tuhan, bukan sebaliknya.
Pembuktian semacam ini sudah cukup bagi orang yang beriman. Namun tentu saja memang sejak awal manusia tak didesain untuk beriman semua sehingga akan selalu ada alasan bagi yang menolak percaya. Namun alasan penafian Tuhan itu juga akan selalu berujung pada jalan buntu sebab alasan yang disebutkan di atas.
Pada akhirnya si ujung semua bahasan tentang Tuhan hanya ada dua jalan keimanan saja. Satu jalan iman bahwa Tuhan ada. Jalan lainnya adalah iman bahwa Tuhan tidak ada. Kedua jalan ini disebut jalan iman karena keduanya adalah hasil keyakinan, bukan hasil kesimpulan santifik yang bisa difalsifikasi. Dalam konsep agama, satu jalan berujung surga dan satu lagi berujung neraka. Dan, keduanya adalah sunnatullah.
Penulis: Abdul Wahab Ahmad
Sumber: https://guswahab.com/aqidah/sains-dan-penafian-tuhan/