Yang dimaksud dengan bertawassul dengan para nabi dan wali adalah memohon kepada Allah SWT dengan menempatkan mereka sebagai sebab dan sarana mencapai tujuan dan Allahlah yang mewujudkannya. Demikian itu karena Allah memberi kemulyaan pada mereka, bukan karena mereka yang melakukan. Keyakinan yang benar seperti inilah yang berlaku pada semua perbuatan dan kejadian. Pisau –misalnya- tidak dapat memotong dengan sendirinya. Yang memotong adalah Allah SWT. Pisau hanyaah Sabab ‘Adiy (sebab kebiasaan) dimana Allah biasa menciptakan pemotongan saat disertainya. (Al Fajru As Shadiq, hal. 53-54)
Terdapat beberapa dalil yang menyebutkan keutamaan bertawassul. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS Al Ma’idah; 35)
Dan dalam ayat lain Allah SWT berfirman:
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS An Nisa’; 64)
Dalam riwayat Anas bin Malik disebutkan:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ
Bahwa ketika umat Islam mengalami kekeringan Umar bin Al Khatthab memohon hujan bertawassul dengan Abbas bin Abdul Mutthalib. Umar berdoa, “Ya Allah, dulu kami bertawassul kepadamu dengan Nabi kami lalu Engkau turunkan hujan pada kami. Kini kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami. Maka turunkanlah hujan pada kami.” Lalu hujanpun turun pada mereka.” (Shahih Al Bukhari, nomor 954)
Kemudian Abbas memanjatkan do’a:
اللهم إنه لم ينزل بلاء إلا بذنب، ولم يكشف إلا بتوبة، وقد توجّه القوم بي إليك لمكاني من نبيك، وهذا أيدينا إليك بالذنوب، ونواصينا إليك بالتوبة، فاسقنا الغيث
Ya Allah, sesungguhnya musibah tidak turun kecuali karena dosa. Dan musibah tidak hilang kecuali dengan bertaubat. Orang-orang telah menemuiku untuk bermohon pada-Mu, karena kedudukanku di sisi Nabi-Mu. Inilah tangan kami, menengadah kepadamu dengan dosa-dosa. Dan kami kembali kepada-Mu untuk bertaubat. Maka turunkanlah hujan pada kami.” (At Tahdzir min Al Ightirar, hal 125)
Di hadapan Allah SWT manusia adalah sama, baik saat mereka masih hidup maupun sudah meninggal. Al Qur’an menegaskan bahwa orang-orang yang meninggal sebagai syahid dan orang-orang shalih itu tetap hidup dan tidak mati. Bukankah baik yang mati maupun yang hidup adalah sama-sama ciptaan Alah SWT yang tidak memiliki peran apa-apa sama sekali, karena yang berperan satu-satunya hanyalah Allah SWT. (Kasyf an Nur ‘an Ashab al Qubur, hal 13)
Allah SWT berfirman:
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (Qs Ali Imran; 169)
Dalam ayat lain disebutkan :
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al Baqarah; 154)
Tidak ada perbedaan antara bertawassul dengan Rasulullah SAW dengan rasul lainnya, demikian juga antara para nabi dan orang-orang shalih, baik saat mereka hidup maupun setelah meninggal, karena mereka memang tidak dapat menciptakan maupun memiliki peranan sama sekali. Keberkahan diharapkan dari mereka karena mereka adalah para kekasih Allah SWT. Jika ada yang meyakini bahwa mereka dapat berperan saat masih hidup dan tidak ketika telah meninggal, maka sama dengan meyakini orang hidup dapat berperan. Dan keyakinan yang demikian berarti telah tercemari unsur kemusyrikan. (Syawahid al Haq, hal. 158-159)
Orang yang bertawassul tidak dapat dimasukkan dalam firman Allah SWT:
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS Az Zumar; 3)
Pengakuan mereka bahwa mereka “tidak menyembah berhala-berhala itu melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah” jelas-jelas berupa penyembahan. Sedangkan orang yang berwasilah kepada dengan nabi atau orang shalih sama sekali tidak menyembah mereka. (At Tahdzir min Al Ightirar, hal. 113)
Berdasarakan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan hadits bertawassul hukumnya boleh, bahkan dianjurkan sebagai salah satu cara berdo’a kepada Allah SWT.
Originally posted on 22 March 2017 @ 12:59