Penulis: Fathoni Ahmad
Salah seorang ulama Indonesia KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) berhasil mencetuskan prinsip hubbul wathani minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman). Konteksnya saat itu untuk membangkitkan nasionalisme rakyat Indonesia untuk mengusir para penjajah.
Kiai Hasyim Asy’ari adalah ulama yang mampu membuktikan bahwa agama dan nasionalisme bisa saling memperkuat dalam membangun bangsa dan negara. Dua unsur ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agama Islam memerlukan tanah air sebagai lahan dakwah dan menyebarkan agama, sedangkan tanah air memerlukan siraman-siraman nilai-nilai agama agar tidak tandus dan kering.
Meminjam pernyataan ulama asal Kempek, Cirebon KH Said Aqil Siroj, agama tanpa nasionalisme akan menjadi ekstrem. Sedangkan nasionalisme tanpa agama akan kering. Hal ini terbukti ketika fenomena ekstremisme agama justru lahir dari orang dan kelompok orang yang terlalu eksklusif dan sempit dalam memahami agama tanpa memperhatikan realitas sosial kehidupan.
Jika agama diartikan sebagai jalan hidup, sudah semestinya agama berperan dalam realitas kehidupan. Dalam konteks tersebut, realitas bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk menuntut seluruh elemen bangsa menjaga dan merawat persatuan dan kesatuan. Di sinilah prinsip cinta tanah air harus diteguhkan. Perjuangan melawan dan mengusir penjajah ditegaskan Kiai Hasyim Asy’ari sebagai kewajiban agama atas seluruh rakyat Indonesia sebagai kaum beragama yang sedang terjajah.
Pandangan Kiai Hasyim Asy’ari tersebut tentu melihat maslahat yang lebih luas, yakni kemerdekaan sebuah bangsa yang akan mengantarkan pada kemakmuran dan keadilan sosial. Tanpa didasari akan kesadaran membela tanah airnya, besar kemungkinan kolonialisme akan terus eksis di bumi pertiwi Indonesia.
Awalnya, ungkapan cinta tanah air yang dicetuskan Kiai Hasyim Asy’ari ini dikira hadits oleh sebagian orang, bahkan ulama-ulama di tanah hijaz (Mekkah dan Madinah), saking masyhurnya. Terlepas dari semua itu, apa yang dilakukan oleh Kiai Hasyim dan Asy’ari juga kontribusi ulama-ulama lain memberikan spirit nasionalisme tinggi. Tentu perjuangan ini harus diteruskan menyesuaikan dengan kondisi yang berbeda saat ini.
Cinta tanah air dapat diwujudkan melalui belajar tekun, menjaga kebersihan lingkungan, menghormati orang tua dan guru, menghargai sesama teman meskipun berbeda keyakinan, belajar agama kepada kiai atau ulama secara mendalam, dan berusaha agar keberadaaanya mendatangkan manfaat untuk masyarakat, bangsa, dan negara.
Tanah air sebagaimana yang kita ketahui bersama adalah negeri tempat kelahiran. Ali bin Muhammad bin Ali Al-Jurjani (1984) mendefinisikan hal ini dengan istilah al-wathan al-ashli yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya. Al-Jurjani mengatakan, “Al-wathan al-ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya.”
Dari definisi ini, maka dapat dipahami bahwa tanah air bukan sekadar tempat kelahiran tetapi juga termasuk di dalamnya adalah tempat di mana kita menetap. Dapat dipahami pula bahwa mencintai tanah air adalah berarti mencintai tanah kelahiran dan tempat di mana kita tinggal.
Pada dasarnya, setiap manusia itu memiliki kecintaan kepada tanah airnya sehingga ia merasa nyaman menetap di dalamnya, selalu merindukannya ketika jauh darinya, mempertahankannya ketika diserang dan akan marah ketika tanah airnya dicela. Dengan demikian mencintai tanah air adalah sudah menjadi tabiat dasar manusia.
Kesimpulannya adalah bahwa mencintai tanah air bukan hanya karena tabiat, tetapi juga lahir dari bentuk dari keimanan kita. Karenanya, jika kita mengaku diri sebagai orang yang beriman, maka mencintai Indonesia sebagai tanah air yang jelas-jelas penduduknya mayoritas Muslim merupakan keniscayaan. Inilah makna penting pernyataan hubbul wathan minal iman.
Konsekuensi, jika ada upaya dari pihak-pihak tertentu yang berupaya merongrong keutuhan NKRI, maka kita wajib untuk menentangnya sebagai bentuk keimanan kita. Tentunya dalam hal ini harus dengan cara-cara yang dibenarkan menurut aturan yang ada karena kita hidup dalam sebuah negara yang terikat dengan aturan yang dibuat oleh negara. Cintailah negeri kita dengan terus merawat dan menjaganya dari setiap upaya yang dapat menghancurkannya.
Perlu dipahami juga bahwa cinta tanah air mempunyai makna, Indonesia terdiri dari 700 suku lebih yang mempunyai tradisi, budaya, dan bahasa yang sangat beragam. Langkah kita sebagai seorang pelajar hendaknya berusaha mengetahui dan memahami kemajemukan Indonesia. Menjaga dan merawat Indonesia yang beragam ini merupakan bentuk cinta tanah air yang telah dianjurkan oleh Rasulullah SAW.
Untuk mempertegas pandangan cinta tanah air dalam Islam, ulama muda asal Lampung KH Ahmad Ishomuddin (2018) mengungkapkan beberapa dalil tentang cinta tanah air dalam perspektif ajaran Islam:
Pertama, cinta tanah air dalam al-Qur’an dan menurut para ahli tafsir. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya jika seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik): “Bunuhlah diri kamu atau keluarlah dari kampung halaman kamu!” niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka…” (QS. An-Nisa’: 66)
Dalam Tafsir al-Kabir, al-Imam Fakhr Al-Din al-Razi menafsirkan ayat di atas, “Allah menjadikan meninggalkan kampung halaman setara dengan bunuh diri.”
Pernyataan al-Razi di atas menjelaskan bahwa meninggalkan tanah air bagi orang-orang yang berakal adalah perkara yang sangat sulit dan berat, sama sebagaimana sakitnya bunuh diri. Jadi, cinta tanah air merupakan fitrah yang terhunjam sangat dalam pada jiwa manusia.
Kedua, cinta tanah air dalam hadits dan penjelasan ulama pen-syarah-nya. “Diriwayatkan dari Anas, bahwa Nabi SAW. ketika kembali dari bepergian dan melihat dinding-dinding Madinah, beliau mempercepat laju untanya. Dan apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkannya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah.” (HR. Al-Bukhari, Ibn Hibban dan al-Turmudzi)
Mengomentari hadits di atas, dalam Fath al-Bari, al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan, “Hadits ini menunjukkan keutamaan kota Madinah dan disyariatkannya cinta tanah air.” Hal yang sama juga dikemukakan dalam kitab ‘Umdat al-Qariy oleh Badr al-Din al-‘Aini.
Ketiga, cinta tanah air menurut para ahli fiqih. Bahwa hikmah berhaji dan pahalanya yang besar karena mendidik jiwa menjadi lebih baik dengan meninggalkan tanah air dan keluar dari kebiasaannya. Dalam kitab al-Dakhirah, al-Qarafi menyatakan, “Manfaat haji adalah mendidik diri dengan meninggalkan tanah air.”
Keempat, cinta tanah air menurut para wali. Orang-orang yang saleh senantiasa mencintai tanah air. Dalam kitab Hilyat al-Awliya’, Abu Nu’aim meriwayatkan dengan sanadnya kepada pimpinan kaum zuhud dan ahli ibadah, Ibrahim bin Adham, ia berkata, “Saya tidak pernah merasakan penderitaan yang lebih berat daripada meninggalkan tanah air.”
Berdasarkan beberapa dalil di atas, maka setiap orang beragama selain berkewajiban untuk mencintai agama yang dianutnya–dengan cara memahami dan mengamalkannya dengan sebenar-benarnya–juga berkewajiban untuk mencintai tanah airnya. Karena mencintai tanah air itu tidak bertentangan dengan agama dan bahkan merupakan bagian dari ajaran agama yang wajib diamalkan.
Orang yang beragamanya benar dan cinta terhadap tanah airnya akan selalu memerhatikan keamanan tanah air, tempat hidupnya, kampung halamannya. Ia tidak akan membuat kegaduhan demi kegaduhan, tidak menebar kebencian dan saling permusuhan di antara setiap orang dan setiap suku serta para pemilik indentitas berbeda yang menempati setiap jengkal tanah airnya.
Orang yang mencintai tanah air karena perintah agamanya bahkan sanggup mengorbankan harta benda atau apa saja. Bahkan mengorbankan nyawanya untuk kepentingan mempertahankan tanah airnya dari setiap ancaman, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.
Cukuplah kiranya kita belajar kepada bangsa-bangsa lain yang penduduk negerinya berpecah belah, saling menumpahkan darah, saling bunuh dan masing-masing mereka berjuang atas nama agama yang sama, namun mereka tidak peduli kepada nasib tanah airnya. Itu semuanya terjadi karena kecintaan mereka pada agama yang tidak diiringi dengan kecintaan kepada tanah air yang juga merupakan tuntutan agamanya.
Terakhir, penulis ingin mengemukakan doa cinta tanah air yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim as yang difirmankan Allah SWT dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 126: Rabbij’al hâdzâ baladan âminan warzuq ahlahû minats tsamarâti man âmana minhum billâhi wal yaumil âkhir.
Artinya: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 126)
Penulis adalah pengajar di Fakultas Agama Islam (FAI) UNUSIA Jakarta
Sumber: https://www.nu.or.id/opini/cinta-tanah-air-dalam-ajaran-islam-tyjLa