Sekarang ini umat manusia sedang diuji dengan berbagai ujian, salah satu ujian yang sangat berat adalah pandemi Covid-19. Ujian berat bagi manusia yang tidak dapat bersabar dan tidak dapat menggali hikmah di balik musibah pandemi Covid-19. Banyak orang menyerah dengan keadaan, frustasi, dan panik. Ujian ini juga mengakibatkan lemahnya sendi-sendi sosial, budaya, dan ekonomi.
Hidup nyaman, tentram, terpenuhi segala kebutuhan, badan sehat, dan segala keinginan terpenuhi merupakan dambaan setiap manusia. Ini merupakan fitrah sebagai manusia yang oleh Allah diberi akal dan nafsu. Ia selalu berharap akan kenyamanan, ketentraman, kesehatan, dan berbagai kesenangan lainnya. Sangat jarang ditemukan manusia yang mengharapkan ujian dan cobaan menimpanya. Namun demikian, dalam setiap keinginan manusia terdapat takdir yang kadang sesuai dan kadang tidak sesuai dengannya.
Hikmah di Balik Musibah Menurut Syekh Wahbah Ketika Allah memberikan musibah kepada hamba-Nya seperti pandemi Covid-19, maka yang perlu diperhatikan bukan dari sisi sebab musabab belaka. Jauh lebih penting adalah memahami hikmah di balik rentetan musibah yang datang silih berganti. Manusia adalah hamba, sedangkan Allah adalah Tuhannya yang boleh-boleh saja memberikan musibah, ujian, maupun nikmat kepadanya. Allah boleh memberi nikmat kenyamanan, juga boleh memberi musibah atau cobaan. Allah berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمَوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (البقرة :155)
Artinya, “Dan Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan; dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS al-Baqarah: 155).
Syekh Wahbah az-Zuhaili mengatakan, ayat ini diturunkan setelah perang Badar yang diikuti oleh sahabat Anshar dan Muhajirin, tepatnya ketika beberapa umat Islam, delapan orang dari Anshar dan enam orang dari Muhajirin gugur sebagai syahid di medan pertempuran. Saat itu ada sebagian sahabat yang menganggap bahwa kematian mereka telah merampas semua kenikmatan dunia dan segala kenyamanan mereka yang syahid. Akhirnya Allah menurunkan ayat di atas sebagai jawaban bahwa di antara musibah atau ujian yang akan dihadapi oleh umat Islam ketika ada di dunia adalah syahid ketika berperang. (Wahbah az-Zuhaili, Tafsîrul Munîr, [Damaskus, Dârul Fikr al-Mu’âshir: 2012], juz II, halaman 38).
Hikmah di Balik Musibah Menurut Imam at-Thabari
Imam Abu Ja’far ath-Thabari (224-310 H) mengatakan, bahwa ayat ini menjelaskan perihal adanya musibah merupakan keniscayaan bagi umat Nabi Muhammad SAW. Ini menjadi penentu antara tetapnya keimanan dan kepatuhan pada ajaran Islam setelah menerima berbagai cobaan. Sebagaimana sejak awal datangnya Islam, para sahabat merasakan berbagai musibah dari musuh-musuh Islam. Mereka pun merasakan kelaparan ketika hijrah ke Madinah meninggalkan tanah kelahirannya. Rasulullah SAW pun mengikat perutnya dengan batu untuk menahan rasa laparnya. Mereka diuji dengan kekurangan harta dalam perjuangan mensyiarkan ajaran Islam. Bahkan ada yang kehilangan nyawa gugur sebagai syahid di medan perang melawan orang kafir. Betapapun demikian, musibah, cobaan, dan ujian justru menjadikan keimanan dan kesabaran mereka semakin bertambah.
Menurut ath-Thabari, ayat ini juga menjadi pengingat bahwa dunia hanyalah tempat cobaan dan ujian. Keabadiaan dan kenikmatan yang sebenarnya adalah akhirat. Ia mengatakan:
أَخْبَرَ اللهُ الْمُؤْمِنِيْنَ أَنَّ الدُّنْيَا دَارُ بَلَاءٍ، وَأَنَّهُ مُبْتَلِيْهِمْ فِيْهَا، وَأَمَرَهُمْ بِالصَّبْرِ
Artinya, “Dalam ayat tersebut Allah mengabarkan, sungguh dunia adalah tempat cobaan bagi orang-orang beriman; dan sungguh Allah akan menguji mereka di dunia, dan memerintah mereka untuk bersabar.” (Ath-Thabari, Jâmi’ul Bayân fî Ta’wîlil Qur’ân, [Beirut, Dârul Fikr: 2000], juz III, halaman 219).
Hikmah di Balik Musibah Menurut Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi
Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi memiliki pandangan berbeda. Ia mengatakan, bahwa yang patut direnungkan pertama adalah eksistensi manusia dan Allah swt. Posisi manusia hanyalah seorang hamba, sedangkan Allah adalah Tuhannya. Makna penghambaan dalam pembahasan ini menjadi nyata ketika manusia mampu melakukan dua hal, yaitu: (1) bersyukur saat diberi kenikmatan; dan (2) bersabar di kala tertimpa musibah seperti pandemi Covid-19. Syukur adalah upaya agar nikmat yang telah Allah berikan diberdayakan untuk hal-hal yang mendatangkan keridhaan Allah, sedangkan sabar adalah membuktikan keridhaannya dengan tidak marah dan meluapkan emosi di kala tertimpa musibah.
Menurutnya, ada beberapa hikmah yang perlu dipahami oleh manusia ketika mendapatkan musibah seperti pandemi Covid-19. Di antaranya yang pertama adalah kesadaran bahwa dirinya sekadar hamba yang tidak memiliki daya dan upaya untuk menolak kehendak Tuhan. Al-Buthi mengatakan:
اَلْحِكْمَةُ الْأُوْلَى هِيَ أَنَّ الْإِنْسَانَ عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ لِلهِ بِوَاقِعِهِ الْاِضْطِرَارِيِّ
Artinya, “Hikmah pertama, sungguh manusia adalah hamba yang dimiliki Allah dengan segala kenyataan-Nya yang bersifat memaksa.” (Al-Buthi, Min Sunanillâh fî ‘Ibâdih, [Beirut, Dârul Fikr], halaman 13).
Pada penjelasan tersebut, al-Buthi mencoba menggali hikmah di balik musibah. Menurutnya, yang perlu direnungkan pertama kali sebelum menyikapi musibah dan sebab-sebabnya adalah bahwa pada hakikatnya manusia berada di dalam kendali Allah swt. Manusia hanyalah aktor di balik semua kehendak Allah. Dalam ranah ini Allah swt sebagai penentu semua kejadian di alam semesta. Semua kehendak Allah bersifat memaksa (idthirari), serta dengan otoritas-Nya tidak ada yang dapat menghalangi semua kehendak-Nya.
Dari hikmah pertama ini semestinya umat manusia sadar bahwa tidak ada alasan untuk tidak menerima musibah seperti pandemi Covid-19 yang Allah berikan kepadanya, karena ia memang tidak memiliki kuasa apapun ketika sudah berhadapan dengan kepastian Allah. Tidak ada orang kuat dan juga tidak ada orang lemah. Mereka yang kuat akan lemah jika Allah melemahkannya. Pun mereka yang lemah akan kuat jika Allah memberikan kekuatan kepadanya.
Kedua, ayat di atas memberi pemahaman bahwa sudah menjadi sunatullâh bila Allah memberikan musibah kepada umat manusia. Juga untuk menegaskan bahwa dunia memang tempat ujian dan segala kepayahan, sedang akhirat adalah tempat pembalasan dan segala kenikmatan. Al-Buthi mengatakan:
أَمَّا الْحِكْمَةُ الثَّانِيَةُ مِنْ هَذِهِ السُّنَّةِ الرَّبَّانِيَّةِ، فَهِيَ مَا يَنْبَغِي أَنْ نَعْلَمَهُ جَمِيْعًا مِنْ أَنَّ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا دَارُ تَكْلِيْفٍ وَأَنَّ الأَخِرَةَ دَارُ جَزَاءٍ
Artinya, “Adapun hikmah kedua dari ketetapan Allah ini, dan ini adalah hal yang semestinya kita semua ketahui, bahwa kehidupan di dunia merupakan tempat beban (taklîf), sedangkan kehidupan akhirat adalah tempat pembalasan.” (Al-Buthi, Min Sunanillâh, halaman 20).
Menurut al-Buthi, hikmah kedua ini seharusnya semakin menambah kesadaran manusia bahwa tidak ada kenyamanan, tidak ada ketentraman yang bersifat kekal selama ada di dunia. Jika dunia adalah tempat yang dipenuhi beban (taklîf), musibah, dan cobaan, maka setiap orang yang ada di dunia harus siap menerima semuanya. Keluh kesah dan tidak terima terhadap musibah seperti pandemi Covid-19 hanya diperuntukkan orang-orang yang tidak sadar bahwa dunia hanyalah tempat segala musibah ujian, tidak ada istilah kenyamanan di dalamnya. pasti ada hikmah di balik musibah yang menimpa manusia. Wallâhu a’lam. Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Durjan, Kokop, Bangkalan.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Durjan, Kokop, Bangkalan.
Sumber: Website NU