Oleh: KH. Abdurrahman Navis, Lc. M.HI
Pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Dalam ajaran Islam pajak sering diistilahkan dengan adh-Dharibah yang jama’nya adalah adh-Dharaib. Para ulama dahulu menyebutnya juga dengan istilah al-Muks. Di sana ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak, di antaranya adalah : al-Jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam), al-Kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh negara), al-Usyr (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke negara Islam).
Pendapat Ulama Tentang Pajak
Kalau kita perhatikan istilah-istilah di atas, kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya.
Pertama, menyatakan pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais, bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda :
لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
“Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat” (HR Ibnu Majah, No 1779, di dalamnya ada rawi Abu Hamzah (Maimun). Menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dho’if hadist, dan menurut Imam Bukhari : dia tidak cerdas).
Apalagi banyak dalil yang mengecam para pengambil pajak yang dhalim dan semena-mena, di antaranya adalah :
Hadist Abdullah bin Buraidah dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah yang berzina bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ
“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang penarik pajak, niscaya dosanya akan diampuni” (HR Muslim, No: 3208).
Ada juga Hadist dari Uqbah bin ‘Amir yang berkata: saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara dhalim)“
(HR Abu Daud, No : 2548, hadist ini dishahihkan oleh Imam al-Hakim).
Dari beberapa dalil di atas, banyak ulama yang menyamakan pajak yang dibebankan kepada kaum muslim secara dhalim sebagai perbuatan dosa besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazmi di dalam Maratibul Ijma’ halaman 141 :
واتفقوا أن المراصد الموضوعة للمغارم على الطرق وعند أبواب المدن وما يؤخذ في الأسواق من المكوس على السلع المجلوبة من المارة والتجار ظلم عظيم وحرام وفسق
”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik”.
Begitu juga pendapat Imam Dzahabi di dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al Haitami di dalam az- Zawajir ‘an iqtirafi al Kabair, Syekh Sidiq Hasan Khan di dalam ar-Rauda an-Nadiyah, Syek Syamsul al Haq Abadi di dalam Aun al-Ma’bud dan lain-lainnya
Kedua, para ulama menyatakan kebolehan mengambil pajak dari kaum muslimin, jika memang negara sangat membutuhkan dana. Untuk menerapkan kebijakan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Di antara ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam Ghazali, Imam Syatibi dan Imam Ibnu Hazm. Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais juga, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda :
إِنَّ فِي الْمَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ
“Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak (untuk dikeluarkan) selain zakat.” (HR Tirmidzi, No: 595 dan Darimi, No : 1581, di dalamnya ada rawi Abu Hamzah (Maimun). Menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dho’if hadist dan menurut Imam Bukhari dia tidak cerdas).
Namun walaupun diperbolehkan menarik apajak ada beberapa syarat yang harus dipenuhi karena Islam adalah agama yang anti kedhaliman. Pajak yang diakui dalam sejarah Islam dan sistem yang dibenarkan harus memenuhi beberapa syarat yaitu :
- Benar–benar harta itu dibutuhkan dan tak ada sumber lain
Pajak itu boleh dipungut apabila negara memang benar–benar membutuhkan dana, sedangkan sumber lain tidak diperoleh. Demikianlah pendapat Syeikh Muhammad Yusuf Qardhawy. Para ulama dan para ahli fatwa hukum Islam juga menekankan agar memperhatikan syarat ini sejauh mungkin. Sebagian ulama mensyaratkan bolehnya memungut pajak apabila Baitul Mal benar – benar kosong. Para ulama sangat berhati–hati dalam mewajibkan pajak kepada rakyat, karena khawatir akan membebani rakyat dengan beban yang di luar kemampuannya dan keserakahan pengelola pajak dan penguasa dalam mencari kekayaan dengan cara melakukan korupsi hasil pajak.
- Pemungutan pajak yang adil
Apabila pajak itu benar-benar dibutuhkan dan tidak ada sumber lain yang memadai, maka pengutipan pajak, bukan saja boleh, tapi wajib,. Tetapi harus dicatat, pembebanan itu harus adil dan tidak memberatkan. Keadilan dalam pemungutan pajak didasarkan kepada pertimbangan ekonomi, sosial dan kebutuhan yang diperlukan rakyat dan pembangunan. (Qardhawi h. 1081-1082).
- Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan hawa nafsu
Hasil pajak harus digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan kelompok (partai), bukan untuk pemuas nafsu para penguasa, kepentingan pribadi, kemewahan keluarga pejabat dan orang-orang dekatnya.
Diriwayatkan dari Sufyan bin Abu Aufa, Umar bin khattab berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu, apakah aku ini Khalifah atau raja. Bila aku raja, maka ini masalah yang besar”. Seseorang berkata, “Hai Amirul Mukminin, sesungguhnya keduanya berbeda. Khalifah tidak akan memungut sesuatu kecuali dari yang layak dan tidak akan memungut sesuatu kecuali kepada yang berhak. Alhamdulillah engkau termasuk kepada orang yang demikian, sedangkan raja (dhalim) akan berbuat sekehendaknya”. Maka Umar diam. (Qardhawi, h. 1083).
- Persetujuan para ahli/cendikiawan yang berakhlak
Kepala negara, wakilnya, gubernur atau pemerintah daerah tidak boleh bertindak sendiri untuk mewajibkan pajak, menentukan besarnya, kecuali setelah dimusyawarahkan dan mendapat persetujuan dari para ahli dan cendikiawan yang mewakili masyarakat. Karena pada dasarnya, harta seseorang itu haram diganggu dan harta itu bebas dari berbagai beban dan tanggungan, namun bila ada kebutuhan demi untuk kemaslahatan umum, maka harus dibicarakan dengan para ahli termasuk ulama.
Saudara Sigit Apryanto. Dari penjelasan di atas, maka lebih tegas pengasuh jawab pertanyaan anda: para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum pajak menurut Islam. Ada yang mengharamkan tapi juga ada yang memperbolehkan dengan beberpa syarat. Jika melihat Indonesia yang negara masih sangat butuh dana, maka boleh memungut pajak dengan cara yang adil dan hendaknya seorang muslim niatkan sedekah demi kemaslahatn negara dan bangsa.
Kemudian, jika mengambil pendapat yang membolehkan pajak sesuai persyaratan di atas, maka penghasilan para pegawai pajak adalah halal asal dengan cara jujur, tidak manipulasi dan tidak meniru Gayus dkk.
Originally posted on 10 May 2015 @ 12:23