Dalam kondisi di mana orang-orang yang tidak jujur semakin banyak jumlahnya maka negara harus membuat undang-undang yang mengancam pelaku money laundering dengan hukuman berat. Dalam fiqih, tindak pidana pencucian uang jelas merupakan sebuah keharaman, dan begitu juga mentasarrufkan uang tersebut.
Tindak pidana dan hukuman pidana adalah dua hal yang tidak terpisahkan satu sama lain. Tindak pidana berkonsekuensi pada adanya hukuman pidana dan hukuman pidana tidak akan terwujud tanpa adanya tindak pidana. Di pihak lain, tindak pidana dan hukuman pidana tidak terwujud tanpa nash (teks syariat/teks perundang-undangan) yang mengaturnya. Kaidah popular mengatakan (لا جريمة ولا عقوبة الا بنص). Yang dimaksud nash di sini bukan hanya teks al-Quran dan as-Sunnah, tetapi juga hasil ijtihad fuqâha’ yang mengacu secara tidak langsung pada dua kitab tersebut. Al-Mâwardiy dalam al-Ahkamus Sulthaniyyah menjelaskan tindak pidana (الجريمة) dengan definisi berikut: (محظورات شرعية زجرا لله عنها بحد أو تعزير).
Hukuman ta`zîr adalah hukuman yang diterapkan pada perbuatan maksiat yang tidak diancam dengan hukuman hadd dan tidak ada kewajiban kaffârat. Oleh karena itu, hukuman ta`zîr, kebijakan pelaksanaannya, jenis dan bentuknya diserahkan kepada ijtihad imam/hakim. Demikian yang diterangkan Syaikh Nawawiy dalam Nihayatuz Zain
(ويعزر) اي الامام أو نائبه (لمعصية) لله أو لآدمي (لا حد) اي لا عقوبة (لها ولا كفارة غالبا)
Maksiat adalah kesalahan yang terjadi karena tidak melakukan sesuatu yang tidak boleh ditinggalkan (wajib) atau melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan (haram).
Hukuman ta`zîr juga bisa diterapkan pada perbuatan yang tidak masuk dalam kategori maksiat apabila imam memandang hal itu mangandung maslahat bagi umat. Syeikh Nawawiy menjelaskan hal itu sebagai berikut:
(وقد يشرع التعزير حيث لا معصية كفعل غير مكلف ما يعزر به المكلف أو يحد وكمن يكتسب باللهو المباح).
Apa yang disebut dengan pencucian uang sebagaimana didefinisikan di dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang masuk dalam kaidah (ما حرم أخذه حرم اعطاءه) / tiap-tiap sesuatu yang haram diambil maka juga haram diberikan. Pemberian di sini meliputi pemberian tanpa imbalan seperti hibah dan hadiah, sebagaimana meliputi pemberian dengan imbalan seperti jual-beli dan tukar-menukar.
Dalam men-syarahi kaidah di atas, Syeikh Ahmad bin Syeikh Muhammad al-Zarqâ’ dalam Syarhul Qawaid al-Fiqhiyyah mengatakan,
معنى هذه القاعدة ان الشيء المحرم الذي لا يجوز لأحد اخذه ويستفيد منه يحرم عليه أيضا أن يقدمه لغيره ويعطيه إياه سواء على سبيل المنحة إبتداء أم على سبيل المقابلة.
Pencucian uang naik statusnya dari sekadar haram dan maksiat berubah menjadi jarîmah (tindak pidana) apabila telah diancam dengan suatu hukuman. Dalam kondisi di mana orang-orang yang tidak jujur semakin banyak jumlahnya di negara ini maka pemerintah seharusnya/sebaiknya membuat undang-undang yang mengancam pelaku money laundering dengan suatu hukuman. Dengan demikian, konsep fiqih tentang tindak pidana pencucian uang jelas merupakan sebuah keharaman, dan begitu juga mentasarrufkan uang tersebut.
Lantas bagaimankah hukum pihak penerima uang dari hasil tindak pidana pencucian uang? Dan apakah setelah mengetahui asal-usulnya, uang itu harus dikembalikan? Oleh karena itu bagi pihak penerima di zaman sekarang ini hendaknyalah lebih berhati-hati dengan menanyakan terlebih dahulu asal-usul uang tersebut, tidak asal terima saja. Imam Ghazâliy dalam kitabnya Muhimmat Ihya’ Ululumiddin berpendapat bahwa wajib hukumnya bagi pihak penerima untuk bertanya terlebih dahulu, apabila pemberi dikenal tidak baiknya misalnya dikenal sebagai rentenir. Namun bila pemberi dikenal baiknya, maka tidak boleh ada pertanyaan.
Jadi dalam beberapa hal, menanyakan asal-usul pemberian tidak diperbolehkan, karena pada dasarnya pertanyaan tersebut menyakitkan dan melukai perasaan pihak pemberi. Namun, perasaan sakit hati tidak terjadi bila ada undang-undang yang mewajibkan semua penerima pemberian menanyakan asal-usulnya. Sebab, pihak pemberi sadar bahwa pertanyaan itu dilakukan karena taat pada undang-undang.
Pertanyaannya kemudian, bolehkan ada undang-undang seperti itu? Jawabannya boleh, karena negara yang sah berhak mewajibkan sesuatu yang secara syar’iy tidak wajib, dan rakyat wajib menaatinya kalau hukum asalnya mandub/sunnah, demikian juga kalau hukum asalnya mubah dengan syarat mengandung maslahat publik. Demikian keterangan dalam Nihayatuz Zain.
اذا أمر بواجب تأكد وجوبه، وإذا أمر بمندوب وجب، وإن أمر بمباح فإن كان فيه مصلحة عامة كترك شرب الدخان وجب.
Tanggung jawab perdata (kewajiban untuk mengembalikan/mengganti barang atau uang hasil kejahatan) menjadi beban pihak pemberi sebab pemberilah yang menjadi penyebab dan pemeran utama, karena tanpa penerimapun, dharar/kerugian tetap menimpa pemilik barang atau uang itu.
Al-Zuhailiy mengemukakan penjelasan berikut menukil dari kitab Tabyîn al-Haqâiq juz 6 halaman 150:
اذا اشترك المتسبب والمباشر فى إحداث الضرر وكان لكل واحد منهما دور بارز مساو لفعل الآخر بأن يتساوى أثرهما فى الفعل فإنهما يشركان فى الضمان. قال الزيلعي الحنفي : ان المسبب انما لايضمن مع المباشر اذا كان السبب شيأ لايعمل بانفراده فى الاتلاف، كما فى حفر البئر والقاء شخص نفسه فيها، فإن الحفر لايعمل شيأ من دون الالقاء، وأما اذا كان السبب يعمل بانفراده فيشتركان
والخلاصة: أن الاصل العام هو مسؤولية المباشر فى إحداث الضرر، وقد ينفرد المتسبب وحده فى المسؤولية اذا كان له الدور الأهم فى التعدي، وقد يشترك المباشر والمتسبب فى المسؤولية اذا تساوى خطؤهما تقريبا بحيث لو ترك كل واحد منهما على انفراده لأدى الى النتيجة الحاصلة فعلا.
Sumber: LBM-PBNU, Hasil Bahtsul Masail Nasional, Yogyakarta 2-3 Juli 2013). (Pen/Red. Ulil H)
Originally posted on 27 November 2013 @ 15:03