Oleh: KH. Ma’ruf Khozin
Kitab Al-Hikam dan Ihya’Ada sebuah masjid di kawasan perumahan yang meminta kajian kitab Al-Hikam, bukan lantaran sebagai kata hikmah dari ilmu Tasawuf -sebab bagi sebagian mereka konotasi dari Tasawuf ‘agak pinggiran’-, tetapi sebagai bagian dari ilmu Takziyah An-Nafsi (menjernihkan hati, managemen kalbu). Padahal hakikat ilmu Tasawuf adalah menjernihkan hati dari penyakit-penyakit batin.
Kuliah Subuh pagi ini sampai pada Maqalah tentang Raja’ (bukan nama televisi), arti harfiahnya adalah harapan. Saya telaah dulu dari beberapa Syarah Hikam, uraiannya hampir sama semua. Nyaris tidak ada informasi atau ilmu baru. Hanya saling melengkapi dengan bahasa yang berbeda.
Karena Imam Ibnu Athaillah (658-709 H/ 1260-1309 M) sebagai pengarang kitab Al-Hikam dan Imam Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111 M) pengarang kitab Ihya’ adalah sama-sama ulama Shufi dan menjadikan Raja’ sebagai tahapan seseorang untuk mencapai Makrifat, maka saya buka kitab Ihya’. Dan Subhanallah, seperti ada kembang api di malam hari, penjelasan yang beraneka ragam warna serta kaya akan sudut pandang dari seorang Hujjatul Islam. Tepat sekali uraian beliau untuk kalangan perkotaan yang memang memerlukan penjelasan logis tentang ilmu Tasawuf.
Ringkasnya begini, perjalanan waktu ada tiga, dulu, kini dan kelak. Jika pada masa dahulu terasa menyenangkan maka disebut kenangan indah, jika menyebalkan maka disebut kenangan kelam. Pada masa kini, ada yang menyenangkan (like) dan menyebalkan (dislike). Untuk kelak, jika mencemaskan disebut Khauf dan jika menyenangkan disebut Raja’. Di bagian inilah kalimat mutiara dirangkai oleh Syekh Ibnu Athaillah:
الرَّجاءُ ماَ قاَرَنهُ عملٌ وِالاَّ فهُوَ اُمْنِيَّةٌ
Sebuah Harapan yang benar harus disertai amal perbuatan (aksi, realisasi). Jika tidak, maka akan menjadi angan-angan saja.”
Sebagian pesyarah Hikam menyampaikan riwayat dari Hasan Al-Bashri bahwa ada segolongan kaum yang berharap ampunan dari Allah tapi tidak pernah meminta ampunan kepada Allah. Prasangka bahwa Allah Maha memberi ampunan adalah benar, kesalahan orang tersebut karena tidak merealisasikan dengan istighfar, memohon ampunan kepada Allah (lihat gambar).
Sebagian ulama memberi gambaran tentang Raja’ ini seperti kita membeli tiket pesawat dengan tujuan tertentu. Kita tidak melihat siapa pilotnya, tapi kita yakin dan optimis bahwa pilot pesawat akan mengantarkan kita ke tujuan. Sehingga di atas udara pun kita tetap tenang. Demikian pula kita memiliki cita-cita, harapan, program, keinginan dan sebagainya, kita menjadi yakin terwujud dengan usaha dan doa karena akan diwujudkan oleh Allah.