Penulis: KH. Abdul Wahab Ahmad, Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Bila kita melihat sinetron Indonesia, kerap kali terkesan bahwa orang sabar adalah figur yang tertindas, lugu, mudah ditipu, dan bisanya hanya menangis sendirian. Orang semacam ini menjadi pemenang hanya di episode terakhir saja sedangkan sebelumnya selalu kalah dan mengalah. Sedikit banyak tontonan semacam ini masuk ke alam bawah sadar penonton yang membentuk pemahaman bahwa orang sabar adalah orang lemah.
Bila kita lihat secara objektif, yang seperti itu sejatinya bukanlah sabar, tapi justru lemah. Lemah itu secara umum tidak baik. Mukmin yang lebih disukai Allah bukanlah yang lemah tapi yang kuat, seperti diterangkan oleh Nabi dalam hadits berikut:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Dan masing-masing adalah baik” (HR Muslim).
Lalu sabar itu apa? Sabar berasal dari bahasa Arab الصبر (ash-shabru) yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia menjadi kata “sabar”. Ketika sudah menjadi bahasa Indonesia, maka ada sedikit perubahan makna sehingga muncullah makna sabar seperti terkesan lemah dalam sinetron-sinetron.
Makna asli kata ash-shabru adalah tahan sehingga ada istilah صبّر الجثة yang secara literal berarti “menyabarkan” bangkai. Maksudnya adalah membuat bangkai menjadi tahan lama tak mudah membusuk. Sehingga kata sabar maksudnya justru kuat tahan banting dan tak mudah hancur. Dengan makna ini kita bisa memaknai ayat berikut dengan tepat:
قَالَ الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلٰقُوا اللّٰهِ ۙ كَمْ مِّنْ فِئَةٍ قَلِيْلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيْرَةً ۢبِاِذْنِ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ
“Mereka yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, ‘Betapa banyak kelompok kecil bisa mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.’ Dan Allah bersama orang-orang yang sabar” (QS Al-Baqarah: 249).
Ayat tersebut bercerita tentang para prajurit yang tahan banting sehingga meskipun jumlahnya sedikit tetapi mampu mengalahkan musuh yang jumlahnya lebih banyak. Merekalah yang disertai oleh Allah dengan kemenangan. Di ayat lain malah lebih jelas bahwa sabar artinya adalah kuat. Allah berfirman:
وَكَاَيِّنْ مِّنْ نَّبِيٍّ قَاتَلَۙ مَعَهٗ رِبِّيُّوْنَ كَثِيْرٌۚ فَمَا وَهَنُوْا لِمَآ اَصَابَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَمَا ضَعُفُوْا وَمَا اسْتَكَانُوْا ۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الصّٰبِرِيْنَ
“Dan betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar” (QS Ali ‘Imran: 146).
Ayat terakhir ini menjelaskan kriteria orang sabar adalah dia yang tidak lemah, tidak mudah patah semangat atau menyerah. Ini semua adalah kriteria Muslim yang kuat sebagaimana disinggung Rasulullah.
Jadi, sabar bukanlah sifat bagi mereka yang lemah yang selalu kalah. Justru sebaliknya, ia adalah sifat bagi para pemenang yang selalu unggul baik ketika jumlahnya sedikit dan tertindas hingga jumlahnya besar dan mayoritas.
Di sinilah kita bisa melihat bahwa Rasulullah dan para sahabat selalu sabar dalam setiap kondisi. Ketika mereka minoritas dan ditindas di Makkah, tak ada yang berpaling, menyerah atau kompromi soal aqidah Islam. Semua tetap tegas dan kuat meskipun dalam siksaan kaum Quraish. Demikian pula ketika di masa pasca Hijrah di Madinah, mereka tetap sabar dan tahan banting dengan pasukan yang jumlahnya lebih sedikit. Ketika menahan diri mereka bersabar, ketika perang terbuka pun mereka sabar. Dengan modal kesabaran ini, maka umat Islam awal tersebut meraih kemenangan gemilang.
Sumber: https://islam.nu.or.id/tasawuf-dan-akhlak/meluruskan-makna-sabar-4RiAI