Penulis: KH. Abdul Wahab Ahmad
Peneliti di Aswaja NU Center Jawa Timur
Membahas tentang aspek ketuhanan tentu baik. Itu membantu kita untuk selalu ingat pada Allah. Tetapi kita tidak boleh berlebihan dalam melakukan ini sebab tanpa sadar dapat membuat kita berkomentar di luar konteks dan bahkan gegabah menuduh orang lain sesat. Dengan pola pikir yang berlebihan, ungkapan wajar antarmanusia bisa jadi dianggap sebagai ungkapan aqidah yang bermasalah.
Dalam bahasa keseharian antara manusia satu dan manusia lainnya, kebanyakan aspek ketuhanan tidak disertakan dalam bahasan agar pengucapannya tidak berbelit-belit. Namun ini tidak berarti bahwa pengucapkan melupakan aspek ketuhanan. Lumrah sekali ungkapan seperti beberapa contoh berikut ini:
“Terima kasih, Dok. Berkat bantuan Dokter, saya jadi sembuh,” kata seorang pasien.
“Kalau bukan karena ayah, tentu aku tak bisa jadi seperti ini,” kata seorang anak.
“Kalau bukan karena kau tarik tanganku, aku pasti sudah jatuh ke jurang itu,” kata seorang yang selamat dari terpeleset.
“Andai tadi aku tak ngerem, kamu pasti sudah mati dilindas truk ini,” kata seorang supir truk.
“Jangan pergi, Mas. Kalau kamu pergi, lalu siapa yang akan mencukupi kebutuhanku dan anak-anak,” kata seorang istri pada suaminya.
Semua ungkapan di atas sangat wajar dan tak bermasalah bila kita melihatnya dalam konteks interaksi satu orang dengan orang lainnya di mana ada pihak yang menyatakan pentingnya sebuah peran yang dilakukan oleh dirinya sendiri atau dilakukan oleh orang lain. Namun, semua itu akan menjadi serbasalah, bahkan dianggap sesat, ketika kita menganggap dialog itu sebagai ungkapan tentang aqidah pengucapnya yang melupakan peran Allah.
Dalam bahasan aqidah, semua ulama sepakat bahwa yang dapat memberi kesembuhan, kesuksesan, keselamatan, dan rezeki adalah Allah semata. Makhluk mana pun sama sekali tak punya peran dalam hal ini melainkan hanya sebagai perantara semata. Karena peran Allah dalam hal ini mencakup segala hal, maka menjadi wajar kalau perannya tidak disebut terus-menerus karena sudah diketahui bersama. Sama seperti bernapas tidak pernah menjadi resep kesehatan sebab semua orang sudah tahu pentingnya bernapas.
Akan berbelit-belit ketika misalnya seorang pasien harus berkata: “Terima kasih dokter, kalau bukan karena kehendak Allah yang telah tertulis di lauh mahfudz yang memungkinkan dokter beberapa saat yang lalu bergerak dan memberikan obat yang sesuai kepada saya atas petunjuk yang Allah berikan pada dokter lalu dengan kehendak Allah-lah obat tersebut menjadi perantara kesembuhan saya.” Demikian juga untuk contoh lain yang disebutkan di atas, semuanya akan berbelit-belit bila memasukkan aspek ketuhanan yang semua muslim sudah memahaminya. Karena itulah, maka wajar bila ada ungkapan-ungkapan singkat yang hanya menyebutkan sisi peran manusia saja, tapi bukan berarti menafikan peran Allah.
Dengan memahami hal ini, maka kita dapat memahami maksud sya’ir Imam Bushiri dalam Burdah yang terkenal berikut ini:
يَا أَكْرَمَ الرُّسُلِ مَا لِيْ مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ الْعَمِمِ
“Wahai makhluk yang paling mulia, tidak ada bagiku tempat untuk bersandar selain engkau tatkala terjadi bencana yang menyeluruh.”
Dalam syair tersebut, Imam Bushiri menyebutkan peran Nabi Muhammad yang sangat besar sehingga tidak ada lagi makhluk yang bisa dijadikan tempat bersandar ketika terjadi kesusahan selain beliau. Peran shalawat atas Nabi dalam mengurai kesusahan umatnya dapat dilihat dari hadits berikut:
قَالَ أُبَيٌّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُكْثِرُ الصَّلَاةَ عَلَيْكَ فَكَمْ أَجْعَلُ لَكَ مِنْ صَلَاتِي فَقَالَ مَا شِئْتَ قَالَ قُلْتُ الرُّبُعَ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قُلْتُ النِّصْفَ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ قُلْتُ فَالثُّلُثَيْنِ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قُلْتُ أَجْعَلُ لَكَ صَلَاتِي كُلَّهَا قَالَ إِذًا تُكْفَى هَمَّكَ وَيُغْفَرُ لَكَ ذَنْبُكَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
“Berkata Ubai: Wahai Rasulullah, aku sering membawa shalawat untuk baginda, lalu seberapa banyak aku bershalawat untuk baginda? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab: “Terserah.” Aku bertanya: Seperempat? Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam menjawab: “Terserah, jika kau tambahi itu lebih baik bagimu.” Aku bertanya: Setengah? Beliau menjawab: “”Terserah, jika kau tambahi itu lebih baik bagimu.” Aku bertanya: Dua pertiga?”Terserah, jika kau tambahi itu lebih baik bagimu.” Aku berkata: Aku akan menjadikan seluruh doaku untuk baginda. Beliau bersabda: “Kalau begitu, kau dicukupkan dari kesedihanmu dan dosamu diampuni.” Berkata Abu Isa: Hadits ini hasan shahih” (HR. Turmudzi).
Karena itulah maka wajar bila umat islam bersandar pada Nabi Muhammad dengan cara membaca shalawat kepada beliau ketika terjadi kesusahan. Keutamaan Nabi Muhammad dalam hal ini tak bisa disaingi oleh siapa pun. Namun apakah berarti dengan mengatakan demikian artinya melupakan peran Allah? Tentu tidak, semua Muslim sudah tahu peran Allah mutlak dalam hal semacam ini tetapi tidak disebut agar lebih singkat dalam berucap. Apalagi Imam Bushiri dalam syairnya menyebut Nabi dengan sebutan “Wahai makhluk paling mulia” yang artinya ia sadar bahwa Nabi tetaplah makhluk Allah, bukan saingan Allah.
Bila kita berlebihan dalam membahas aspek ketuhanan, maka kebanyakan pernyataan manusia sehari-hari akan dianggap sebagai pernyataan sesat dan syirik. Bahkan mengatakan bahwa Si Fulan mati dibunuh tetangganya saja bisa dianggap syirik sebab secara aqidah yang bisa membunuh atau mematikan hanyalah Allah saja selaku satu-satunya al-Mumît (Yang Maha Mematikan). Tuduhan sesat dan syirik atas kasus semacam ini hanya menunjukkan sikap ghuluw (ekstrem) dan berburuk sangka terhadap Muslim lain. Wallahu a’lam.
Sumber: https://islam.nu.or.id/ilmu-tauhid/berkat-dokter-saya-sembuh-benarkah-ini-pernyataan-syirik-Gz2ng