Demikianlah selesai sudah perjalanan malam (isra’) Rasulullah saw di Baitul Maqdis dengan segala macam kejadian yang sarat akan makna ubudiyah. Kemudian saatnya Rasulullah saw dimi’rajkan. Pada hakikatnya perjalanan mi’raj bagi manusia biasa merupakan perjalanan ruhani yang tidak lagi menyertakan segala macam yang bersifat fisik. Tetapi khusus untuk Rasulullah saw beliau dapat melakukannya secara fisik.
Hal ini jelas sekali diterangkan oleh Ad- Dardir ‘ala Qishshatil Mi’raj dengan kalimat:
الذى تعرج عليه ارواح بنى أدم- أى المؤمن عند خروجها من البدن حالة الموت تعرج عليه الى الجنة فهو لجسد النبى خاصة ولأرواج المؤمنين عامة
Karena itulah di tegaskan dalam kitab yang sama bahwa tugas Buraq adalah menghantarkan Rasulullah saw dari Makkah ke baitul Maqdis yang secara bahasa disebut dengan isra’ yang artinya perjalanan malam. Adapun perjalanan mi’raj selanjutnya buraq tidak dapat mengikutinya. Karena hanya Rasulullah saw lah yang mempu melakukannya secara ruhani dan fisik sekaligus.
Demikianlah kemudian Rasulullah saw mi’raj dengan mendaki semacam tangga emas yang indah yang didatangkan dari surga firdaus. Tangga inilah yang menjadi penghubung alam dunia dengan alam langit yang dihubungkan dengan pintu hafadhah. Pintu ini terbuat dari emas, tergembok oleh cahaya dan kuncinya adalah asma Allah al-A’dhzam.
Pintu ini dijaga oleh seorang Malaikat yang bernama Ismail, malaikat yang tidak pernah turun ke bumi kecuali hanya menjemput ruh Rasulullah saw ketika akan meninggalkan jasadnya kelak. Selaku penunjuk Jalan Jibri membukakan pintu seraya mengucap salam kepada malaikat Ismail, mereka saling bercakap tentang manusia yang dibawanya. Kemudian dibkukanlah pintu itu untuk keduanya seraya menyambut dengan perkataan yang halus “Marhaban bih wa Ahlan hayahullahu min akhin, wamin khalifatin…”
Setelah pintu langit pertama terbuka maka masuklah Rasulullah saw ditemani Jibrril. Di sinilah beliau berjumpa dengan Nabi Adam as- Abul Basyar ( bapak semua manusia). Penyambutan yang diberikan oleh Nabi Adam as. selayaknya sambutan seorang bapak terhadap anaknya. Diceritakan Nabi Adam as duduk di suatu tempat yang dari sana beliau nampak gembira ketika menoleh ke kanan dan nampak sedih bila melihat ke kiri. Karena disebelah kanannya adalah surga yang didiami anak-cucunya yang taat dan dikirinya tergambar neraka dengan berbagai siksaan yang berisikan anak-cucunya sesat.
Nabi adam as. adalah nabi pertama yang dijumpakan oleh Allah swt. dengan Rasulullah saw dalam mi’rajnya. Tentunya pertemuan ini dapat dibaca dan dimaknai dengan amat dalam. Bahwasannya dalam perjalanan hidup ini mausia harus menyadari posisinya sebagai ibnul basyar anak manusia yangberporses dari tiada menjadi ada. dan setelah ada kemudian hendak kemana? Pastilah haus menuruti Yang Maha Ada, karena ialah yang mengadakan manusia.
Dengan kemurahan-Nya, Allah swt telah mengadakan kita melalui proses panjang dari mani yang hina, kemudian berupa segumpal darah lalu menjadi segumpal daging dan jadilah manusia. Andaikan tidak karena kemurahan-Nya bisa saja proses ini mandeg ataupun gagal ditengah jalan, dan kitapun tidak akan pernah ada.
Oleh karena itulah yakinlah bahwa manusia itu adalah makhluq yang dhaif yanglemah sekali. Andaikan tidak karena rahmat Allah swt tidak mungkin bisa menikmati kehidupan ini. Inilah salah satu makna yang terkandung dalam pertemuan Rasulullah saw dengan Nabi Adam sebagai Abul Basyar. Seolah Allah swt ingin mengingatkan kembali bahwa manusia adalah manusia yang ada dan hidup karena rahmat-Nya. Maka sadarlah dan kenali dirimu baik-baik. Sungguh kesadaran inilah yang akan membimbing kehidupan manusia menuju hidup yang benar. Karena itulah Rasulullah saw pernah bersabda:
من عرف نفسه فقد عرف ربه
Barang siapa mengenal dirinya, pasti ia dapat mengenal Tuhannya. (red. Ulil H)
Sumber:
Image https://www.facebook.com/aswajanucenterpwnujatim/photos/pb.1406310646288685.-2207520000.1401234322./1437708336482249/?type=3&theater
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,52265-lang,id-c,ubudiyah-t,Mi%E2%80%99raj+Mendaki+Tangga+Berjumpa+Abul+Basyar-.phpx