Pentingnya Menuntut Ilmu dari Dasar, Tidak Melompat
Dalam menuntut ilmu, mempelajari hal-hal dasar terlebih dahulu adalah sebuah keharusan. Seorang pemula yang melompat ke tingkat pelajaran lebih tinggi, padahal belum waktunya, hanya akan menyia-nyiakan waktu belajar.
Dalam hal ini, masyarakat bisa menengok proses belajar di pesantren. Biasanya santri mengkaji kitab-kitab dasar terlebih dahulu. Kemudian lanjut ke kitab-kitab berikutnya, sampai tingkat akhir dengan pembelajaran yang kompleks dan lebih luas. Untuk fan fikih, biasanya dimulai dengan Mabadil Fiqh, dilanjut Safinatun Najah, Riyadhul Badi’ah, Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, dan Mahalli (syarah Minhajut Thalibin).
Untuk fan nahwu, dimulai dengan kitab Jurmiyah, dilanjut Imrithi, Al-Kawakibud Durriyah, Alfiyah Ibnu Malik, dan Mughni Labib. Demikian pula pada fan-fan lainnya, dimulai kitab dasar yang lebih mudah, tingkat berikutnya, sampai kitab akhir dengan pembahasan yang lebih luas.
Imam Al-Ghazali (w. 1111 H) dalam Ihya ‘Ulumiddin menjelaskan,
الوظيفة الرابعة: أن يحترز الخائض في العلم في مبدإ الأمر عن الإصغاء إلى اختلاف الناس سواء كان ما خاض فيه من علوم الدنيا أو من علوم الأخرة فإن ذلك يدهش عقله و يحير ذهنه و يفتر رأيه و يؤيسه عن الإدراك و الإطلاع. بل ينبغي أن يتقن أولا الطريقة المرضية عند أستاذه, ثم بعد ذلك يصغي إلى المذاهب و الشبه.
Artinya: “Seorang pelajar pada tingkat pertama, hendaknya jangan dulu mendalami perbedaan pendapat, baik ilmu dunia ataupun ilmu akhirat. Hal itu bisa menimbulkan keraguan berpikir, membingungkan hatinya, mengendorkan nalar, dan membuat putus asa belajar. Pada tahap awal, seharusnya mengikuti arahan yang diberikan sang guru. Setelah itu baru mendalami lintas madzhab dan syubhat-syubhat.” (lihat Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, juz 1, hal. 51)
Mencermati penjelasan Al-Ghazali di atas, kita bisa memahami, dalam tingkat pemula bagi seorang pelajar, mempelajari ilmu-ilmu dasar terlebih dahulu adalah sebuah keharusan. Sesuai dengan kapasitas pemula yang lebih mudah dipahami. Setelah itu, silahkan lanjut ke level berikutnya: mendalami ilmu lintas mazhab dan hal-hal yang lebih kritis serta kompleks.
Jika seorang pemula langsung mempelajari ilmu tingkat atas. Seperti langsung mempelajari perbedaan pendapat para ulama, kajian lintas mazhab, dan pelajaran yang lebih kritis lainnya, hal ini bisa membahayakan si pelajar. Mulai dari keraguan berpikir, kebingungan, sampai akhirnya putus asa untuk belajar. Sederhananya, semua harus dilakukan sesuai porsi. Layaknya bayi yang baru lahir, tidak mungkin langsung disuapi nasi.
Dalam sebuah kaidah disebutkan,
مَنْ اسْتَعْجَلَ الشَّيْءَ قَبْلَ أَوَانِهِ عُوقِبَ بِحِرْمَانِهِ.
Artinya: “Barangsiapa terburu-buru terhadap sesuatu, padahal belum saatnya, maka akan terhalang untuk memperolehnya.” Pelajar pemula yang terburu-buru mengkaji materi-materi tingkat menengah ke atas, hanya akan menyebabkan dirinya terhalang mendapatkan ilmu.
Ada ungkapan menarik yang penting kita renungkan,
مَنْ حَفِظَ الْمُتُوْنَ حَازَ الْفُنُوْنَ، مَنْ حَوَى الْحَوَاشِيَ مَا حَوَى شَيْءٌ.
Artinya: “Barangsiapa menghafal matan-matan, akan memperoleh beberapa fan ilmu. Barangsiapa terburu membaca hasyiyah, tidak akan memperoleh apa-apa.”
Dalam lingkungan pesantren, dikenal kitab matan, syarah, dan hasyiyah. Matan merupakan kitab pertama, sementara syarah adalah penjelas dari matan, dan hasyiyah sebagai penjelas dari syarah. Dalam arti lain, penjelasan kitab syarah lebih luas dibanding matan, dan kitab hasyiyah lebih luas dibanding kitab syarah. Sehingga tahapannya, mengkaji matan dulu, dilanjut syarah, kemudian hasyiyah.
Oleh karena itu, ungkapan di atas mengatakan bahwa orang yang menghafal matan terlebih dahulu, akan memperoleh pemahaman yang baik. Sebaliknya, jika langsung mengkaji kitab hasyiyah, justru tidak akan menghasilkan apa-apa. Karena belum levelnya.
Sebagai salah satu contoh. Kitab Taqrib karya Syekh Abu Syuja’ (w. 500 H) merupakan kitab fikih mazhab Syafi’i dalam kategori matan. Untuk syarahnya adalah kitab Fathul Qarib karya Syekh Syamsuddin al-Ghozi (w. 918 H). Sementara kitab hasyiyahnya menggunakan Al-Bajuri karya Syekh Ibrahim bin Muhammad Qasim al-Bajuri (w. 1860 M).
Terkait urgensi memulai dari yang dasar bagi pelajar pemula, kita bisa meneladani salah satu metode tadarruj (bertahap) dalam dakwah yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. Tadarruj merupakan metode dakwah dengan cara bertahap sesuai situasi dan kondisi. Siti ‘Aisyah ra berkata,
إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُورَةٌ مِنْ الْمُفَصَّلِ فِيهَا ذِكْرُ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى الْإِسْلَامِ نَزَلَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ لَا تَشْرَبُوا الْخَمْرَ لَقَالُوا لَا نَدَعُ الْخَمْرَ أَبَدًا وَلَوْ نَزَلَ لَا تَزْنُوا لَقَالُوا لَا نَدَعُ الزِّنَا أَبَدًا
Artinya: “Sesungguhnya yang pertama-tama kali turun darinya adalah surat Al-Mufasshal yang di dalamnya disebutkan tentang surga dan neraka. Dan ketika manusia telah condong ke Islam, maka turunlah kemudian ayat-ayat tentang halal dan haram. Sekiranya yang pertama kali turun adalah ayat, ‘Janganlah kalian minum khamer.’ Niscaya mereka akan mengatakan, ‘Sekali-kali kami tidak akan bisa meninggalkan khamer selama-lamanya.’ Dan sekiranya juga yang pertama kali turun adalah ayat, “Janganlah kalian berzina.’ Niscaya mereka akan berkomentar, ‘Kami tidak akan meninggalkan zina selama-lamanya.”
Berkenaan ucapan Siti ‘Aisyah di atas, Ibnu Hajar dalam Fahtul Bari menjelaskan, ajaran pertama kali yang dibawa oleh Islam untuk orang-orang Makkah adalah tantang tauhid, janji surga bagi orang yang beriman, dan ancaman neraka bagi orang bermaksiat dan kafir. Ketika jiwa mereka sudah tenang, baru kemudian mengajarkan persoalan hukum. (lihat Ibnu Hajar, Fathul Bari, juz, 8 hal. 669)
Andai saja langsung mengajarkan hukum, seperti mengharamkan mengkonsumsi khamr (minuman keras), tentu Islam akan sulit diterima. Pasalnya, mengkonsumsi khamr sudah menjadi kebiasaan hidup orang Mekah, dan mereka begitu menikmatinya. Jika langsung diharamkan, pasti mereka sangat terusik dan hampir mustahil mereka menerima ajaran Islam. Meski kemudian khamr diharamkan, itu pun dengan proses yang panjang.
Dari metode tadarruj tersebut, juga sama kaitannya dengan proses belajar. Jika pelajar tingkat pemula langsung mengkaji pelajaran tingkat menengah ke atas, tanpa memulai dari yang bawah dulu, rasanya mustahil memperoleh ilmu. Sebagaimana jika fase awal dakwah langsung mengajari persoalan hukum, pasti Islam sulit diterima oleh orang Mekah kala itu.
Demikianlah, dalam proses belajar, metode sangat mendukung kesuksesan belajar. Mengutip ungkapan almagfurlah KH Abdullah Sykuri Zarkasyi (Pengasuh Pesantren Gontor),
المادة مهمة و لكن الطريقة أهم من المادة
Artinya: “Materi pembelajaran memang penting, tapi metode pembelajaran jauh lebih penting”.
Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Mahasantri Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta
Sumber: NU Online