Sejarah Islam di Nusantara – Snouck Hugronje dalam Narasi Islam Nusantara Oleh: Munawir Aziz, penulis buku dan editor di islami.co (Twitter: @MunawirAziz)
Kajian tentang sejarah Islam di kawasan Nusantara, saat ini menjadi bagian penting untuk memahami alur, formasi dan spektrum Islam di negeri ini. Pemahaman tentang masuknya Islam di negeri ini, menjadi penting untuk memahami tentang nilai-nilai Islam di Nusantara, pada masa lalu, kini dan mendatang. Memahami sejarah ini menjadi penting, ketika saat ini terjadi kegagalan dalam memahami nilai dan wajah Islam khas Indonesia. Kampanye-kampanye dari sebagian kelompok ormas radikal yang menginginkan bangkitknya khilafah Islamiyyah, merupakan sebagian dari narasi kegagalan membayangkan masa lalu, bagi muslim di Indonesia.
Lalu, bagaimana memahami sejarah Islam di Nusantara? Karya penting Professor Michael Laffan, dalam buku “Sejarah Islam di Nusantara” menjadi rujukan penting untuk memami Islam di masa lalu, kini dan bahkan mendatang. Buku ini, merupakan terjemahan dari karya risetnya, “The Making of Indonesian Islam”, yang berisi argumentasi tentang bagaimana nilai-nilai Islam Indonesia dibentuk. Sebelumnya, Laffan telah menulis beberapa karya pentingnya, semisal “Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Wind”, dan beberapa karya lainnya.
Karya Laffan dapat dibaca sebagai rangkaian narasi tentang sejarah besar masuknya Islam di kawasan Nusantara. Selain Laffan, riset Azyumardi Azra dapat menjadi pembandingnya: The Transmision of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle-Eastern and Malay Indonesian (1992). Karya Azra menganalisis secara mendalam jaringan ulama Nusantara dan Hijaz pada abad 17 dan 18. Sedangkan, Laffan secara tekun mengkaji era kolonial sebagai spektrum utama karyanya, dengan melibatkan isu modernisme, globalisasi dan agama.
Buku ini membahas beberapa rumusan penting, yang beranjak dari pertanyaan-pertanyaan ini: Apa yang dianggap sebagai unsur-unsur Islam Indonesia? Siapa yang telah membuatnya? Buku ini dimaksudkan untuk mendorong tantangan bahwa membaca kolonialisme bukan hanya sebagai kisah bangkitnya modernitas, melainkan sebagai perjumpaan-perjumpaan konsep tentang bangsa, modern, dan agama agar lebih memiliki makna. Sebelumnya, dalam karya-karya risetnya, Laffan telah menunjukkan bahwa Islam memiliki kontribusi penting dalam proses terbentuknya Indonesia. Dalam karya ini, Laffan menyelediki bagaimana Islam dibentuk dan ditafsirkan oleh beragam aktor, termasuk orang-orang Kristen di negeri ini.
Menulis Sejarah: Snouck dan Geertz
Dalam buku ini, Laffan mengisahkan dua tokoh penting yang menjadi figur utama narasi Islam di Nusantara: Snouck Hugronje dan Clifford Geertz. Dalam catatan Laffan, Clifford Geertz telah menjelajah Jawa dan Bali untuk mengkaji tentang dinamika Islam di negeri ini. Ia menulis beberapa karya penting, semisal Agricultural Involution (1963), Islam Observed (1968), Negara (1980), serta masterpiecenya berupa Religion of Java, yang berpengaruh sejak 1960.
Sedangkan, Snouck Hugronje merupakan sosok yang penting sekaligus unik. Christian Snouck Hugronje (1857-1936) merupakan orientalis Belanda, barisan penasihat pemerintah Hindia Belanda. Ia lahir di Oosterhout pada 8 Februari 1857, meninggal di Leiden pada 15 Juni 1936. Snouck dibesarkan dari keluarga pendeta Protestan yang sangat konvensional dan ortodok. Pada masa belajar, situasi akademik di Belanda sudah sangat liberal, dengan perbandingan agama dan sejarah yang kental. Pada waktu itu, studi sejarah agama dipengaruhi oleh teori-teori Darwin yang menyajikan hipotesis bahwa kebudayaan Eropa dan agama Kristen merupakan titik puncak dari proses perkembangan kebudayaan dunia.
Pada 1984, Snouck mendapatkan tugas dari kementrian Urusan Jajahan negeri Belanda untuk belajar bahasa Melayu ke kawasan Asia. Karena hambatan politis, Snouck kemudian belajar bahasa Melayu kepada orang-orang Nusantara yang sedang naik Haji. Selama enam bulan di Arab, Snouck dengan gigih belajar bahasa Melayu. Ia dekat dengan salah satu putra pribumi yang berasal dari Priangan, Raden Aboe Bakar Djajadiningrat. Snouck mengubah namanya menjadi Abdul Ghafar, ketika melakukan riset di Makkah. Di kota ini, Snouck berusaha menjalin kontak dengan ulama-ulama Hijaz, juga kepada orang-orang Nusantara yang berada di Makkah. Snouck mengaji beberapa kitab penting, yang menjadi rujukan orang-orang Islam di kawasan Nusantara.
Kemudian, pada 1885, Snouck menuju kawasan Nusantara. Tugas pertama, ditempatkan di Serambi Makkah, yakni Nangroe Aceh Darussalam. Di Aceh, Snouck berkawan dengan beberapa ulama yang dekat dengan istana, semisal Habib Abdurrahman az-Zahir. Selang beberapa tahun, Snouck bertugas di Jawa. Ia menjadi salah satu penasihat penting pemerintah Hindia Belanda, yang dengan rajin memberikan nasihat-nasihat tertulis dan riset-riset ilmiah.
Laffan mencatat, “dalam perannya sebagai mufti tidak resmi bagi Hindia Belanda yang tidak dapat disangkal keislamannya, Snouck dipandang sebagai pelayan bagi negara dan Islam sekaligus. Pelayan semacam itu, membuat jengkel para misionaris yang semula memberikan data etnografis dan sambutan hangat kepada cendekiawan itu. Para misionaris menganggap Snouck sedang mengislamkan Jawa, sementara sebagian orang Arab khawatir bahwa Snouck menjadi juru dakwah untuk melempangkan ajaran Kristen” (hal. 200)
Membaca sejarah Islam di Nusantara menjadi petualangan untuk mengkaji spektrum luas tentang beragam kisah, ideologi, mazhab dan ritual muslim di negeri ini. Buku Laffan, dengan argumentasi yang kuat, mengisahkan sejarah Islam Nusantara sebagai bagian tak terpisahkan dari narasi kolonial. Bahwa, sejarah kolonialisme turut mewarnai terbentuknya nilai-nilai Islam di Nusantara.
Prof. Michael Laffan| Sejarah Islam di Nusantara| Penerbit Bentang, September 2015 ISBN: 978-602-291-058-9 |