Proses kondensasi uap air ini terjadi karena beberapa keadaan fisika, antara lain, pertama, jika suhu udara telah mencapai titik dimana proses pengembunan bisa terjadi tanpa ada penambahan volume uap air. Kedua, jika ada penambahan uap air namun tanpa penambahan panas. Dalam kondisi ini, uap air akan terus terkonsentrasi dan berkumpul di udara sehingga membentuk awan gelap (titik jenuh). Bila udara sudah mencapai titik ini, maka air akan kembali turun ke bumi yang kemudian disebut “hujan”. Ketiga, jika kemampuan udara menampung uap air berkurang akibat kenaikan tekanan atau penurunan suhu. Dalam kondisi ini, air yang dibawa oleh udara akan bergerak ke wilayah yang memiliki suhu panas. Pergerakan itu terjadi seiring perbedaan tekanan udara dari tinggi ke rendah. Sehingga akhirnya terjadi suhu angin dan hujan.
Lantas bagaimana dengan petir? Dalam kacamata fisika, petir terjadi karena antara awan dan bumi terdapat perbedaan muatan potensial. Muatan itu terbentuk karena adanya pergerakan awan secara kontinyu dan terus-menerus. Akhirnya terbentuk kutub positif dan negatif. Ibarat kita menggesekkan magnet kepada besi dengan terus-menerus dan teratur ke satu arah, maka demikian halnya muatan negatif dan positif pada awan. Terkadang muatan positif berada pada bagian atas awan, dan terkadang di bagian bawah, namun terkadang berada pada satu sisi kutub awan dan sisi lain kutub yang berbeda. Perbedaan muatan antara awan dan bumi ini memaksa awan melepaskan potensi negatif atau positifnya. Pelepasan ini kemudian berwujud kilat yang menyambar. Kemudian lompatannya menimbulkan suara yang kita kenal dengan “guruh” atau “guntur”. Sementara perbedaan antara cahaya kilat dengan suara petir ke telinga kita hanya dipengaruhi oleh kecepatan rambat udara.
Saat ini kita tidak sedang mengkaji ilmu fisika, namun tamsil mendung, air, hujan, dan petir yang beberapa kali disebutkan dalam Al-Qur’an. Tak kurang dari 10 ayat berbicara tentang mendung (al-sahab), tak kurang dari 10 ayat berbicara tentang petir (al-barq), dan 2 ayat berbicara tentang guntur (al-ra’du). Kita akan mengambil beberapa ayat di antaranya sebagai representasi dari ketiga istilah tersebut agar mendapatkan gambaran yang lebih jelas. Pertama, firman Allah dalam Al-Quran surah An-Nur ayat 43:
Pertama, firman Allah dalam Al-Quran surah An-Nur ayat 43:
لَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُزْجِي سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ ثُمَّ يَجْعَلُهُ رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ فَيُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَصْرِفُهُ عَنْ مَنْ يَشَاءُ ۖ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهِ يَذْهَبُ بِالْأَبْصَارِ
Artinya, “Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan (sahab), kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)-nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es tersebut kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan,” (Q.S. Al-Nur [24]: 43).
Kedua, firman Allah dalam Al-Quran surah Fathir ayat 9:
وَاللَّهُ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَسُقْنَاهُ إِلَىٰ بَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَحْيَيْنَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ كَذَٰلِكَ النُّشُورُ
Artinya, “Dan Allah, Dialah Yang mengirimkan angin; lalu angin itu menggerakkan awan (al-sahab), maka Kami halau awan itu ke suatu negeri yang mati lalu Kami hidupkan bumi setelah matinya dengan hujan itu. Demikianlah kebangkitan itu,” (Q.S. Fathir [35]: 9).
Ketiga, firman Allah dalam Al-Quran surah Al-Ahqaf ayat 24:
فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا هَٰذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا ۚ بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُمْ بِهِ ۖ رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya, “Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka, ‘Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.’0 (Bukan!) bahkan itu azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih,” (Q.S. Al-Ahqaf [46]: 24).
Keempat, firman Allah dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 164:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Artnya, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di lautan membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan,” (Q.S. Al Baqarah [2]: 164).
Implikasi terhadap Penafsiran
Sebagaimana Al-Qur’an diturunkan kepada individu mukallaf, maka semua tamsil yang ditemui di dalamnya, juga pada umumnya harus diserupakan dengan individu. Jika Al-Qur’an menyebut istilah “bumi”, maka yang dimaksud adalah bumi secara individu. Demikian pula bila Al-Qur’an menyebut istilah “mendung”, maka mendung bisa ditamsilkan dengan mendungnya individu, sehingga bermakna masalah, kesedihan, atau sifat kufur. Masing-masing tergantung pada obyek penyerupaan yang dipergunakan.
Adanya mendung, kemudian munculnya kilat atau petir, merupakan tamsil dari cahaya petunjuk atau nasehat. Kilat yang disertai petir dan guntur yang hebat menandakan ancaman bagi jiwa dan hati yang gelap oleh mendung kekufuran, sehingga perlu peringatan keras dari Allah SWT. Bisa jadi, suara keras merupakan tamsil yang menggambarkan pedihnya azab atau sanksi. Kemudian kesusahan orang yang beriman digambarkan sebagai mendung yang membawa hujan rahmat sehingga mampu menumbuhkan bumi yang semula mati menjadi hidup dan dapat ditanami. Berbeda dengan mendungnya orang kafir yang menghasilkan petir dan guntur, bahkan sampai menimbulkan bencana banjir, merupakan tamsil akan kekuasaan Allah SWT dalam meluluhlantakkan pemahaman orang kafir agar ia kembali beriman dan pasrah kepada Dzat Yang Maha segalanya. Wallahu a’lam bis-shawab.
Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PWNU Jawa Timur
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/113750/tamsil-mendung-dan-petir-dalam-al-qur-an-