Oleh Gus Abdul Wahab Ahmad *)
Dalam pembahasan ilmu aqidah Islam, seringkali dijumpai istilah “tanpa kaifiyah” atau “tanpa kaifa” dari para ulama sejak era salaf hingga sekarang. Kedua istilah ini secara literal bermakna “tanpa membagaimanakan” atau “tanpa bagaimana”. Namun banyak orang yang tidak paham betul apa yang dimaksud dengan istilah tersebut. Sebagian menganggap bahwa sifat Allah dapat diketahui maknanya secara literal sebagaimana disebutkan di kamus-kamus, hanya saja dilarang bertanya bagaimananya. Pemahaman ini tidak tepat sebab akan berimplikasi pada tasybih (penyerupaan dengan makhluk), meskipun mungkin tidak disengaja. Karena itu, perlu dibahas apa dan bagaimana kaifiyah itu dan bagaimana seharusnya ia dipahami ketika menyangkut sifat-sifat Allah.
Pertama, harus diketahui terlebih dahulu apa definisi kaifiyah. Kata kaifiyah berasal dari kata kaifa yang secara literal berarti bagaimana. Adapun secara istilah, para ahli bahasa mendefinisikan kata kaifa dengan beberapa ungkapan yang berbeda. Syekh Ar-Raghib al-Asfahani (502 H), salah satu pakar bahasa, tafsir dan sekaligus filsuf Muslim terkemuka yang semasa dengan Imam al-Ghazali, mendefinisikan kaifa sebagai berikut:
كَيْفَ: لفظ يسأل به عمّا يصحّ أن يقال فيه: شبيه وغير شبيه، كالأبيض والأسود، والصحيح والسّقيم
“Kaifa (bagaimana) adalah kata yang digunakan untuk menanyakan sesuatu yang bisa disebut serupa dan tidak serupa, seperti kata putih, hitam, sehat dan sakit” (Ar-Raghib al-Asfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur’ân, hal. 73).
Yang dimaksud Ar-Raghib tersebut adalah kata kaifa selalu digunakan untuk menanyakan objek yang punya tingkat keserupaan atau tingkatan makna. Seperti misalnya kata putih yang meskipun seluruhnya punya keserupaan sebagai putih, tetapi selalu berbeda tingkatan kadar putihnya sehingga bisa ditanyakan bagaimana putihnya, apakah seputih salju atau seputih tulang misalnya. Demikian juga dengan kata sakit dan sehat, selalu bisa ditanyakan bagaimana sakitnya atau bagaimana kesehatannya sebab kadar sakit dan sehat antara satu orang dan orang lain berbeda-beda.
Intinya, kata kaifa menurut Ar-Raghib hanya berlaku bagi objek yang memiliki tingkat keserupaan dengan objek lainnya. Karena itulah ia kemudian menegaskan bahwa sifat Allah tak bisa ditanya bagaimana, sebab tak ada yang serupa dengan Allah untuk dijadikan perbandingan.
ولهذا لا يصحّ أن يقال في الله عزّ وجلّ: كيف
“Karena itulah, tentang Allah Yang Mahaagung tidak boleh dikatakan kaifa” (Ar-Raghib al-Asfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur’ân, hal. 73). Adapun menurut Syekh Abdurrauf al-Munawi (1031 H), salah satu pakar hadits terkemuka pengarang Faidl al-Qadîr, dalam karyanya yang berjudul at-Tawqîf yang menjadi penyempurna kitab ulasan definisi berjudul at-Ta’rîfât karya al-Jurjani, ia mendefinisikan kaifa sebagai berikut:
كيف: كلمة مدلولها استفهام عن عموم الأحوال التي شأنها أن تدرك بالحواس
“Kaifa (bagaimana) adalah kata yang merujuk pada pertanyaan tentang keumuman kondisi sesuatu yang bisa diindera” (al-Munawi, at-Tawqîf ‘ala Muhimmât at-Ta’ârîf, hal. 286).
Dalam definisi ini, kata kaifa hanya dipakai orang Arab untuk bertanya tentang kondisi sesuatu yang bisa diindera dengan panca indera. Definisi ini tidak bertentangan dengan definisi ar-Raghib, hanya saja yang ditekankan di sini adalah tentang sisi inderawi dari objek yang ditanya dengan kata kaifa. Dengan demikian, sesuatu yang tak bisa diindera tidak bisa ditanya kaifa, seperti Tuhan misalnya. Manusia hanya bisa tahu bahwa Allah itu wujud tanpa jism (fisik), tapi tak bisa berkata bagaimana wujudnya yang tanpa jism itu; hanya tahu bahwa Allah mendengar dan melihat tanpa alat pendengaran dan alat penglihatan, tapi tak bisa berkata bagaimana melihat dan mendengar tanpa alat itu. Demikian seterusnya untuk sifat Allah yang lain yang tak bisa diindera.
Adapun kata kaifiyah yang merupakan derivasi dari kata kaifa, maka Syekh Ibnu Qudamah al-Hanbali (620 H), salah satu ulama terkemuka di abad ketujuh Hijriah, mendefinisikan kaifiyah sebagai berikut:
والكيفية: ما يصلح جوابًا للسؤال بكيف؟
“Kaifiyah adalah sesuatu yang layak dijadikan jawaban untuk pertanyaan bagaimana”. (Ibnu Qudamah, Raudlah an-Nâdhir wa Jannah al-Munâdhir, juz I, hal. 60).
Jadi, seluruh redaksi yang layak dijadikan jawaban pertanyaan bagaimana disebut dengan kaifiyah. Misalnya ucapan seseorang yang mengartikan sifat istawa sebagai berlokasi di atas Arasy, atau mengartikan sifat nuzul sebagai turun dari lokasi atas ke lokasi di bawahnya, dan semacamnya adalah kaifiyah. Pemaknaan seperti itu adalah jawaban bagi pertanyaan bagaimana istawa’ dan bagaimana nuzul? Kaifiyah semacam ini terlarang hukumnya sebab Allah bukan objek yang bisa ditanya dengan kaifa seperti dibahas sebelumnya sehingga jawabannya juga terlarang.
Syekh Ibnu Rajab al-Hanbali menjelaskan posisi Ahlussunnah Wal Jama’ah tentang kaifiyah dalam Fath al-Bâri demikian:
وأما طريقة أئمة أهل الحديث وسلف الامة: فهي الكف عن الكلام في ذلك من الطرفين، وإقرار النصوص وإمرارها كما جاءت، ونفي الكيفية عنها والتمثيل.
“Ada pun metode para imam ahli hadits dan ulama salaf adalah mencegah diri untuk membahas sifat-sifat itu dari dua sisi [yang berlebihan] dan mengakui teks-teks ayat dan hadits dan membacanya apa adanya serta menafikan kaifiyah dan penyerupaan dari sifat-sifat itu” (Ibnu Rajab, Fath al-Bâri, juz 7, hal. 233).
Wallahu a’lam.
*) Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.