Sejak Abad 10 H/16 M telah terrajut sebuah jaringan keilmuan yang kuat antara kepulauan nusantara (Asia Tenggara) dengan Timur Tengah, khususnya Jazirah Arab, yang diawali dngan pengembaraan Abdur Rauf as-Singkili ke kawasan tersebut selama hampir tiga dasawarsa. Pada abad ke 18-19 M banyak sekali santri-santri al-Jawi (Melayu) yang bermukim di tanah suci untuk memperdalam pengetahuan keagamaan untuk kemudian menjadi ulama besar. Salah seorang diantara mereka adalah Syeikh Muhammad Shaleh as-Samarani al-Jawi.
Sesuai dengan namanya, ia memang berasal dari Semarang, Jawa Tengah. Di kalangan masyarakat Islam beliau lebih dikenal dengan sebutan Mbah Kyai Shaleh Darat Semarang, karena bertempat tinggal di kampung Darat, di pinggir pantai utara kota Semarang. Syeikh Shaleh As-Samarani adalah seorang ulama pengasuh Pesantren Darat Semarang menjelang akhir abad ke-19 yang lalu. Terkenal sebagai ulama ahli fikih dan tasawuf dengan aliran Tasawuf Sunni yang dikembangkan oleh Imam Junaid al-Baghdadi dan Syeikh Imam Abu Hamid al-Ghazali. Ulama ini berusaha menjaga keseimbangan antara syariat, tarekat, hakikat dan makrifat atau antara fikih dengan tasawuf yang tentunya dilandasi dengan akidah yang kuat.
Syeikh Shaleh as-Samarani atau Kyai Shaleh Darat, terkenal sebagai ulama penulis dan penerjemah kitab-kitab kuning berbahasa Arab ke dalam Bahasa Jawa dengan menggunakan huruf Arab Pegon (Arab Jawa). Pada masa sebelumnya di Jawa Tengah telah muncul pula Syeikh Haji Ahmad Rifa’i, yang terkenal dengan sebutan Haji Ripangi, juga sebagai ulama penulis dan penerjemah. Mereka merupakan ulama perintis penerjemahan kitab-kitab kuning ke dalam Bahasa Jawa beberapa dasawarsa sebelum lahirnya KH. Bisri Musthafa yang terkenal di bidang tersebut pada abad ke-20. Syeikh Shaleh as-Samarani merupakan pelopor penerjemahan al-Qur’an pertama kali ke dalam Bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon, yang sebelumnya tabu bagi ulama-ulama Jawa.
Muhammad Shaleh dilahirkan pada tahun 1236 H (1820 M) di desa Kedung Cendung Kabupaten Jepara (Jawa Tengah) sebagai putra KH. Umar, seorang serdadu Pangeran Diponegoro yang setelah kalah perang Jawa (1825-1830) melarikan diri sampai ke pantai utara Pulau Jawa tersebut. Setelah belajar kepada ayahnya sendiri, terutama mengaji al-Qur’an dan dasar-dasar keagamaan, Muhammad Shaleh belajar di beberapa pondok pesantren sebelum belajar di tanah suci Mekah. Pertama kali ia mengaji kepada KH. Syahid di pesantren Waturojo Pati, Kemudian bersama ayahnya pindah ke Semarang. Ia mengaji kepada KH. Muhammad Shaleh Asnawi, selanjutnya belajar kepada KH. Muhammad Ishaq Damaran, KH. Muhammad Ba’alawi dan KH. Abu Abdillah Muhammad Hadi Banguni, seorang mufti Semarang.
Umar kemudian pindah lagi ke Singapura bersama keluarganya termasuk Muhammad Shaleh, dan beberapa tahun kemudian menunaikan ibadah haji. Ayahnya wafat di Mekah dan Muhammad Shaleh melanjutkan belajar di kota suci tersebut sampai beberapa tahun bahkan sampai berkeluarga. Terbukti salah seorang putrinya, Hamdanah, tinggal di Mekah dan diambil istri oleh Syeikh Nawawi al-Bantani dan setelah menjanda dinikahi oleh KH. Raden Asnawi yang berasal dari Kudus, yang juga santri Syeikh Muhammad Shaleh ketika berada di sana.
Guru-gurunya yang terkenal selama belajar di Mekah adalah Syeikh Ahmad Zaini Dakhlan, ulama besar ahli fikih dan mufti madzhab Syafi’i di Masjid al-Haram serta penulis banyak kitab fikih. Gurunya yang lain adalah Syeikh Muhammad al-Muqri , Syeih Muhammad Sulaiman Hasbullah, Syeikh Shalih az-Zawawi (mursyid Tarekat Naqsabandiyah) , Syeikh Ahmad Nawawi, Syeikh Zahid, Syeikh Umar asy-Syani, Syeikh Yusuf Masri dan Syeikh Jamal, mufti madzhab Hanafi di Mekah. Kemungkinan besar ia juga berguru kepada Syeikh Ahmad Khatib Sambas dan Syeikh Abdul Gani Bima dan beberapa ulama al-Jawi lainnya yang bermukim di Mekah. Diantara teman-teman sebayanya adalah Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Abdul Karim al-Bantani, Syeikh Muhammad Khalil (asal Bangkalan) dan yang lebih yunior sekaligus muridnya adalah Syeikh Mahfudz at-Tarmisi (ulama hadits Bukhari, asal Termas, Pacitan). Murid-muridnya ketika telah menjadi ulama di Mekah antara lain Syeikh Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan.
Setelah pulang kembali ke tanah air, Syeikh Shaleh as-Samarani mendirikan dan mengasuh pondok pesantren di desa Darat Semarang. Di kalangan masyarakat awam, ulama ini di kenal dengan kyai Shaleh Darat sesuai dengan tempat tinggalnya. Pesantren ini berkembang cukup pesat dan banyak melahirkan ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Seperti KH. muhammad Shiddiq asal Lasem yang kemudian pindah ke Jember (asal KH. Mahfudz Shiddiq-KH. Ahmad Shiddiq), sewaktu mudanya setelah mondok di pesantren Langitan, Tuban di bawah asuhan KH. Muhammad Shaleh Nur, mondok di pesantren Darat Semarang mengaji kepada KH. Muhammad Shaleh as-Samarani dan baru beberapa tahun kemudian berguru kepada Syeikh Muhammad Khalil Kademangan Bangkalan (Madura). Ulama-ulama lain hasil didikan KH. Muhammad Shaleh di pesantren Darat Semarang adalah KH. Idris (Pendiri Pesantren Jamsaren Solo), KH. Penghulu Tafsir Anom (pendiri Madrasah Mambaul Ulum Solo, penghulu keraton, ayah Prof. KH. Muhammad Adnan), KH. Dalhar, ulama terkemuka pendiri Pesantren Watucongol, Muntilan, Magelang; KH. Sya’ban Hasan ulama ahli falaq di Semarang dan banyak lagi yang lain.
Diantara santri atau murid setia Syeikh Shaleh Darat as-Samarani dari kalangan wanita yang terkenal adalah Raden Ajeng Kartini (1879-1904), seorang pelopor emansipasi wanita yang paling terkenal di Indonesia. Ia bukanlah santri tetap Pesantren Darat tetapi selalu intens mengikuti pengajian dari Syeikh Shaleh Darat, baik ketika ia masih gadis maupun setelah menikah dengan R.M. Joyodiningrat, Bupati Rembang. Bahkan KH. Shaleh Darat menulis kitab Faid ar-Rahman (kitab tafsir berbahasa Jawa dengan huruf Pegon), sebagai hadiah perkawinan Kartini dengan Bupati Joyodiningrat tersebut.
Sebagai ulama penulis, Syeikh Shaleh Semarang termasuk penulis produktif, baik karya terjemahan, saduran maupun karya asli. Lebih dari 90 buah judul kitab yang ditulisnya, kebanyakan kitab kuning berbahasa Arab karya ulama-ulama Timur Tengah, diterjemahkan dan disadur, ke dalam bahasa Jawa dengan menggunakan huruf Arab Pegon. Diantaranya adalah Terjemah kitab al-Hikam sebuah kitab tasawuf karya Syeikh Ahmad ibn Athaillah al-Iskandar; dan Tarjamah Bidayah al-Hidayah kitab tasawuf karya imam al-Ghazali. Kitab ini sebelumnya pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Syeikh Dawud al-Fathani dan ada pula dalam bentuk saduran ke dalam bahasa Melayu oleh Syeikh Abd as-Shamad al-Falimbani dengan judul Hidayah as-Salikin. Syeikh Shaleh menerjemahkan kitab Jauharat Tauhid karya Syeikh Ibrahim al-Laqami dengan judul baru Tarjamah Sabil Abid ala Jauharat Tauhid. Kitab terjemah ilmu tauhid menggunakan bentuk nadzam (puisi). Tarjamah Shalawat Burdah (nadzam Burdah) karya Syeikh al-Busyairi yang cukup dikenal dikalangan masyarakat Indonesia. Tafsir al-Qur’an Juz Amma yang merupakan terjemah juz 30 dari al-Qur’an; kitab Majmu’ah asy-syari’ah al-Kifayah al-Awam (kitab kumpulan syariat yang memadai bagi orang awam), sebuah kitab fikih yang sering disebut dengan kitab Majmu’ kitab Pashalatan (berisi tentang shalat); Mursyid al-Wajiz (pembimbing singkat) berisi masalah fikih; kitab Asrar ash-Shalah (kitab tentang rahasia shalat) berisi masalah shalat dari tataran fikih dan tasawuf; kitab Lathaif at-Thaharah (kitab tentang rahasia bersuci) berisi fikih tentang bersuci dan hikmah-hikmahnya; Minhaj al-Atqiya’(jalan orang-orang yang bertakwa) berisi tentang nasehat-nasehat; kitab Munyiyat (kitab penyelamat) sebagai saduran salah satu bagian dari kitab Ihya’ Ulumuddin karya imam al-Ghazali; kitab Tafsir Faid ar-Rahman dan masih banyak lagi yang lain.
Dalam karya-karyanya, Syeikh Muhammad Shaleh as-Samarani secara konsisten mengikuti dan membela ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah dalam kerangka aliran Asy’ariyyah dan al-Maturidiyah di bidang akidah dan madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) di bidang fikih dan mengikuti al-Junaid, al-Ghazali, Abd al-Qadir al-Jaelani serta Ahmad ibn Athaillah dalam bidang tasawufnya. Ulama ini berusaha menjaga keseimbangan antara akidah, syariah dan tasawuf dan kesesuaian antara syariat dan hakikat atau antara fikih dan tasawuf atau sebaliknya, tidak seperti aliran-aliran tasawuf yang menafikan syariat.
Syeikh Muhammad Shaleh as-Samarani wafat dalam usia 85 tahun menurut tahun Hijriyah atau 83 tahun menurut perhitungan tahun Masehi, tepatnya pada tanggal 18 Desember 1903 (akhir Rajab 1321 H). Jenazahnya dimakamkan di kompleks makam keluarga Pesantren Darat, di pinggirn utara kota Semarang. Walaupun telah wafat, tetapi nama ulama besar yang suka bekerja keras untuk umat ini hidup terus dikalangan kaum muslimin melalui santri-santrinya yang telah menjadi ulama dan tokoh masyarakat abad ke-20. Lebih dari itu, karya-karyanya yang hampir 100 buah judul tersebut banyak dicetak dan dicetak ulang serta dibaca oleh kaum muslimin terutama di lingkungan masyarakat Jawa dan sebagai bahan penelitian dan pengembangan keilmuan oleh ulama dan sarjana Islam pada masa-masa berikutnya.
Sumber: H.M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, h. 596-600 (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2010).
Originally posted on 15 December 2015 @ 18:31