Ahlussunah wal Jama’ah adalah faham keislaman yg dianut mayoritas muslim dunia, termasuk masyarakat Nusantara. Dalam organisasi, mayoritas mengikuti Nahdlatul Ulama yg didirikan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, dan para alim lainnya.
Di dalam Nahdlatul Ulama, kita menemukan jalan untuk berjama’ah dalam amaliyah, fikrah, harakah, dan ukhuwah.
NU tidak hanya mengurusi gerakan (harakah), tapi juga:
1. Amaliyah Aswaja, seperti tahlilan, istighatsah, ziarah kubur, maulid, qunut, muamalah, munakahah, dll. Yang fardhu, sudah pasti, yang sunnah juga NU lakoni. Seperti shalat gerhana, shalat tasbih, dsb.
2. Fikrah Aswaja, seperti pesantren, madrasah, pengajian, majlis ta’lim, dakwah media dan mimbar, kajian ilmiyah bahtsul matsail, dll. Termasuk dalam fikrah, adalah akidah aswaja.
3. Ukhuwah Aswaja, yaitu insaniyah, wathaniyah, dan Islamiyah. NU mengurusi perdamaian masyarakat lokal dan dunia.
Kita menemukan muqabalah (pembanding) karakteristik ini dalam beberapa ormas lain. Walaupun ada beberapa ormas yang hanya menonjol dalam urusan harakah, atau gerakan.
Di NU, kita menemukan kesemua unsur itu.
Kita pilih Ber-NU, sebagai jama’ah sekaligus jam’iyyah untuk diri dan keluarga.
Kita berjamaah, karena Nabi Muhammad ShallaLlahu ‘alaih wasallam mewajibkan untuk bersama jama’ah :
عليكم بجماعة المسلمين وامامهم
Kenapa berjama’ahnya di NU?
Karena nilai-nilai NU, sejalan dengan prinsip Islam rahmatan lil alamin.
NU yang berpegang teguh pada Al-Qur’an, Hadits, Ijma, dan Qiyas.
Tidak ghuluw (berlebihan/ekstrim), tetapi memiliki karakter atau khashaish sebagaimana ditetapkan dalam Munas di Surabaya pada 2006:
1. Tawassuthiyyah (pola pikir moderat dengan senantiasa bersikap tawazun dan i’tidal; tidak tafrith ‘gegabah dan tidak ifrath ‘ekstrem),
2. Tasamuhiyah (toleran),
3. Ishlahiyyah (reformatif),
4. Tathowwuriyah (dinamis),
5. Manhajiyah (pola pikir metodologis),
Tanpa jama’ah, kita ibarat debu di semesta yang luas.
Tanpa jam’iyyah (organisasi), kita ibarat sepotong rumput liar yang tidak terurus.
Kita Ber-NU, memilih jalur NU, bersanad melalui guru-guru Aswaja. Ada sandaran, ada rujukan, dan ada pertanggung jawabannya.
NU yang lahir pada 31 Januari 1926, memiliki tanggung jawab besar untuk mengawal kehidupan beragama dan bernegara dalam bingkai NKRI.
Dalam Bahtsul Matsail Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin, jauh sebelum Indonesia merdeka disebutkan bahwa Indonesia adalah “Negara Islam” (baca: wilayah Islam). Ini bisa dimaknakan sbg mengambil petunjuk negara yang dibangun oleh Rasulullah di Madinah, yang berdasar kesepakatan kaum muslimin dan penduduk non-muslim.
Dengan Piagam Madinah, tidak mengedepankan Islam semata tetapi persatuan dan kesatuan, sebagaimana Firman Allah
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam [Al-Anbiyâ’/21:107].
Semoga kita diakui murid KH. Hasyim Asy’ari, bersambung sanad juga kepada KH. Kholil Bangkalan, Syekh Nawawi Al-Bantani, para Imam Ahlussunnah wal Jama’ah, dan dikumpulkan bersama para ulama salafus shaleh yang mumpuni dalam duniawi dan ukhrawi.
Aamiin ya robbal alamiin..
الحق بلا نظام يغلبه الباطل بالنظام
Kebenaran tanpa struktur, akan dikalahkan oleh kebathilan yang terstruktur.
Wallahul muwaafiq ilaa aqwamit thoriq..
Disarikan dari berbagai sumber, terutama buku Khazanah Aswaja, Tim Aswaja NU Center PWNU Jatim.
Oleh: Ust. Yusuf Suharto – Tim Peneliti Aswaja NU Center di bidang Aliran dalam Islam
Originally posted on 23 November 2018 @ 19:15