Di dalam bak mandi berisi air hangat, Linsie memandangi salju yang turun di luar jendela. Itu adalah tahun dimana musim dingin sangat dingin dan musim panas sangat panas. Salju turun tiada henti, membentuk gundukan-gundukan muram pada semua benda yang menghadap ke langit. Mereka tidak punya kebiasaan membersihkan salju. Tidak ada gunanya melakukan itu. Sepanjang musim dingin tidak ada orang yang datang berkunjung kecuali seorang sahabatnya yang melakukan kunjungan teratur setiap hari Rabu. Alexander Grimm tidak peduli pada apa pun kecuali apa yang ada di dalam kepalanya sendiri. Dia bahkan tak menyadari betapa rumah itu benar-benar dapat menggambarkan ungkapan a mile away from anywhere, betapa jajaran pohon lombardy dan birch mampu membuat pola yang membingungkan di saat salju setinggi lutut menutupi jalan. Dia tetap datang pada hari dan jam yang sama setiap minggu. Linsie sangat sayang padanya dan mereka membuat komposisi musik bersama-sama. Di bulan Maret, saat matahari dan udara musim semi melelehkan salju itu, mereka bahkan bisa bercanda dengan topik siapa yang lebih banyak jatuh terpeleset.
Saat itu pertengahan bulan Januari. Pada malam-malam tertentu suhu turun hingga minus lima belas derajat celcius. Di malam-malam seperti itu dia tidak bisa tidur, bukan karena dingin —kamarnya hangat— tapi karena kesunyian. Aku sedang dibuang oleh Tuhan, pikirnya saat malam-malam mencekam seperti itu datang lebih sering.
Alunan lagu dari opera Tannhauser tidak bisa menyembunyikan kenyataan dari telinganya yang peka bahwa seseorang datang. Karena bak mandi itu ditanam di lantai dia bahkan dapat mendengar suara sandal kamar yang pelan.
Dia mendongak, melihat Ulric berdiri di dekat bak mandi. Dia mengenakan jubah kamar dari bulu cerpelai. Ikatan di pinggangnya sepertinya dibuat dengan serampangan.
“Aku sedang mandi,” kata Linsie.
Kamar-kamar di dalam rumahnya tidak pernah dikunci. Dia seorang penderita claustrophobia. Dia memerlukan ruang-ruang terbuka untuk merasa normal. Tapi dia tetap menghargai privasi. Suaminya merasa boleh melihatnya kapan pun dia mau. Dia tidak pernah minta ijin untuk hal apa pun kepadanya. Linsie kadang-kadang menegurnya tapi dia memang selalu seperti itu sejak dulu.
Mereka telah tidak bertemu cukup lama. Suaminya punya banyak hal untuk diurus. Dia pergi tiga kali dalam sebulan dan kadang lamanya seminggu atau lebih. Linsie sudah biasa tidak melihatnya di rumah.
“Kau suka sekali mandi,” kata pria itu. “Seseorang akan berpikir kau menetas dari sebutir telur angsa atau semacamnya.”
“Airnya hangat.”
Pria itu melepaskan jubah kamarnya dan masuk ke dalam air. Bak mandi itu cukup lebar. Dua orang dapat berbaring dengan nyaman di dalamnya tanpa bersentuhan satu sama lain. Uap air memburamkan pandangan. Benda itu didesain untuk bisa mempertahankan suhu air tetap konstan.
“Apa yang sedang kau pikirkan di dalam kepalamu yang kecil itu?” tegur laki-laki itu.
“Hanya hal-hal sepele.”
“Aku tertarik pada hal-hal sepele.”
Linsie membuat komposisi musik, menggambar dan menulis. Suaminya tidak mengerti satu pun dari apa yang menjadi kesukaannya. Tapi ada saat-saat tertentu ketika pria itu menghabiskan waktunya dengan menanyai Linsie tentang apa yang berada di dalam pikirannya dan menikmatinya seakan dia sedang menonton sebuah film. Linsie berpikir di saat seperti itu suaminya sedang menjalankan kewajiban sebagai keluarga. Orang lain mungkin akan menganggapnya sebagai cinta.
“Tadi aku bermimpi. Aku berjalan-jalan di sebuah pasar dan melihat gaun-gaun cantik berwarna merah muda pucat. Waktu mau bayar ternyata di dompetku tidak ada selembar pun uang rupiah.”
Linsie tidak pernah pulang sejak pindah. Dia tidak pernah menyebut-nyebut ingin pulang atau semacamnya. Hubungannya dengan keluarganya terlalu rumit untuk dipahami. Tapi dia selalu bermimpi tentang rumahnya.
Suaminya tertawa. “Di dalam mimpi kau tetap sama bodohnya,” katanya.
“Itu pasar kabupaten tempat aku biasa menemani nenekku berbelanja. Orang-orang meletakkan barang-barang jualannya di meja-meja dari bambu. Mereka menatanya di pagi hari dan membereskannya lagi sebelum pulang. Ada satu tempat yang menjual gethuk yang sangat enak. Gundukan gethuk berwarna kecoklatan karena memakai gula kepala diletakkan di atas tampah bambu, berjajar dengan jongkong yang liat dan parutan kelapa berwarna putih bersih. Saat akan disajikan gethuk itu akan diiris tipis, ditaburi parutan kelapa, bersama satu jongkong dan dibungkus daun jati. Harganya hanya lima ratus rupiah. Kalau bisa mendapatkan gethuk dan jongkong itu artinya kau beruntung. Jongkong entah kenapa hanya dibuat beberapa buah dalam seharinya.”
“Jadi kau ingin memintaku mencarikan singkong untukmu? Kurasa aku bisa mendapatkannya di pasar.”
“Ya ampun, tidak. Jangan konyol.”
Linsie jarang memikirkan hal-hal yang praktis dan real. Ucapan dan pikirannya mengandung khayalan yang maksudnya seringkali menyimpang dari kenyataan yang dipahami orang. Suaminya menganggap dirinya berkewajiban menyediakan semua keperluan praktis dan real itu. Jadi, dia biasanya merepotkan dirinya sendiri dengan mendapatkan apa-apa yang dibicarakan Linsie. Jika sedang berjalan-jalan dengannya dan Linsie memandangi suatu barang lebih lama dari seharusnya, dia akan berpikir istrinya menginginkan benda itu dan akan berusaha mendapatkannya. Tidak ada yang tidak bisa dia dapatkan cepat atau lambat. Grimm sering menyebut pria itu diperbudak cinta dan menertawainya di belakang punggungnya. Tapi Linsie tidak tertawa. Dia tahu semua orang yang mencintainya adalah orang-orang yang dikutuk.
“Kau selalu saja mendengarkan lagu ini,” kata suaminya. Ada keluhan dalam suaranya. “Aku lebih suka Offenbach yang riang.”
“Aku menyukainya.”
“Apa yang hendak diceritakan lagu ini?”
“Harapan,” ucapnya. Dia menopang sisi kepalanya dengan tangan. Sebagian rambutnya basah. Nampak begitu kelam di latar belakang kulitnya yang pucat. “Bahwa untuk seorang Tannhauser, walaupun dia telah menuruti godaan Venus dan terperosok ke dalam kejatuhan moral, tetap ada seorang Elizabeth yang setia menunggunya.”
“Bukankah itu kebodohan yang tragis?”
Linsie menghabiskan waktunya di tempat tidur karena sakit, sementara suaminya seorang pria yang sangat sehat. Sekali waktu pria itu, sebagaimana umumnya pria mana pun sejak awal masa, membiarkan dirinya menuruti godaan wanita-wanita lain yang dia miliki. Pada mulanya, karena dia percaya pria dan wanita harus menjalani hubungan yang suci di antara mereka, hal semacam itu menyakiti hati Linsie. Hampir-hampir merusak sebagian jiwanya. Tapi waktu berlalu dan dia menyadari dia hidup di dunia yang tidak sempurna. Membiarkannya adalah caranya berdamai dengan takdirnya. Lagipula pria itu mencintainya. Di dunia yang kacau-balau, seseorang tidak seharusnya meminta terlalu banyak. “Itu namanya harapan,” katanya. “Bagus sekali kalau seseorang dapat menuliskannya ke dalam lagu. Harapan itu sesuatu yang indah.” Tangannya menyusuri dasar vas bunga porselin di dekat bak mandi. Pelayannya telah mengisinya dengan empat belas batang bunga anyelir kesukaannya.
Suaminya menatapinya. “Apa ada yang mau kau katakan?”
Dia menyentuh kelopak bunga berwarna merah muda pucat itu. “Aku pergi ke Rhein beberapa hari lalu,” katanya. “Aku bertemu dengan puterimu.”
“Anakku meninggal enam bulan lalu. Dan dia laki-laki.” Ekspresi wajah laki-laki itu sama seperti ketika anak yang Linsie kandung meninggal sewaktu berumur enam bulan dalam kandungan. Karena dia sakit, pengobatan yang dia jalani menyebabkan kontraksi yang tak bisa dia cegah. Dokter harus membuang janin dalam perutnya supaya dia bisa tetap hidup. Dokter selalu seperti itu di mana pun mereka berada. Selalu memutuskan bahwa hidup akan lebih baik daripada kematian. Bahkan tanpa bertanya pada orang yang memiliki tubuh dimana nyawa itu tinggal.
“Aku membicarakan anakmu yang lain.”
“Aku tidak punya anak yang lain.”
“Kau tahu siapa yang kubicarakan.”
Biasanya wanita-wanita yang dimiliki pria itu terlalu cerdas untuk bersikap serius terhadap hubungan mereka, tapi salah satu dari mereka ada seorang wanita yang masih sangat muda. Dia jatuh cinta dengan begitu bodohnya pada pria itu. Gadis itu melahirkan seorang puteri musim gugur lalu, dan terlalu baik hati untuk mengusik hidup pria yang dicintainya. Linsie tahu suaminya memberikan uang yang banyak padanya dan gadis itu menolaknya.
“Gadis itu sangat miskin. Mungkin dia terpaksa harus menyerahkan anaknya ke panti asuhan.”
“Kau merepotkan dirimu sendiri dengan urusan yang bukan urusanmu.”
“Aku menyesal bigami ilegal di negara ini. Kalau tidak, kita dapat menyelesaikan masalah ini dengan mudah, kan?”
“Linsie!”
Linsie tidak mempedulikannya. “Kukatakan padanya, aku bisa merawat anaknya kalau dia setuju.”
“Aku tidak mau mendengarkan omong kosong seperti ini.” Ulric beranjak bangun dan meraih mantelnya.
“Kau tahu apa yang membuatku bertahan di tempat ini?” Linsie bertanya tanpa mengalihkan tangannya dari kelopak-kelopak anyelir lembut itu. “Tempat yang sangat dingin dan muram, yang akan membuatmu terdorong untuk bunuh diri jika kau terbangun seorang diri di malam hari. Tempat dimana kesepian menemanimu lebih sering daripada bayanganmu sendiri. Kau tahu apa yang membuatku tidak ikut menjadi sedingin dan semuram salju itu? Bukan cinta seperti yang selalu aku tulis. Tentu saja bukan. Tapi karena aku percaya keluarga harus selalu bersama sampai mati. Orang-orang itu, keluarga, harus selalu ada dalam hidupmu, bahkan walaupun mereka membakar hatimu dengan api kebencian yang disulut dari dasar neraka, bahkan meskipun mereka menghisap seluruh tetes darahmu, kau tidak bisa, kau tidak boleh meninggalkan mereka. Aku tidak sedang bicara tentang aturan Tuhan. Tidak. Bukan itu. Tapi tentang bagaimana seharusnya seseorang bersikap. Keluarga adalah bagian dari dirimu sendiri. Tidak ada yang lebih pengecut selain orang yang menolak dirinya sendiri. Begitulah seharusnya. Setidaknya dengan cara itulah aku dibesarkan.” Dia menoleh. Pria itu hendak pergi tapi suara Linsie menghentikan langkahnya. “Kau adalah orang yang kupilih untuk menjadi keluargaku. Itu kenapa aku lebih mencintai rasa dingin dan kemuraman ini dibanding sinar matahari yang ceria di kampung halamanku.”
Terdengar sebuah aria yang memilukan. O Du, Mein Holder Abendstem “Aku menginginkan anak itu. Tolong bawa dia padaku.”
“Kau hanya mencari sebuah cara untuk menghukumku.”
Linsie menggumamkan sebuah senyuman. “Matanya seperti matamu. Dia juga memiliki rambut seperti rambut bayiku.”
Ulric tidak mengatakan apa-apa. Dia berjalan keluar tanpa memandang Linsie. Di mata Linsie punggung suaminya terlihat seperti pohon-pohon lombardy di kebun mereka yang menjadi penanda jalan di musim dingin. Tinggi menjulang mencegah orang-orang tersesat tapi tidak dapat mencegah dirinya sendiri untuk tidak mematikan diri di bawah siraman salju. []
Catatan
Tannhauser adalah judul opera karya Richard Wagner. Karya ini berdasarkan pada legenda Jerman tentang Tannhauser dan kontes lagu di Wartburg. Opera ini menggambarkan tentang perbedaan mendasar antara cinta yang suci dan cinta yang hanya melibatkan kesenangan fisik semata. Opera ini, sebagaimana umumnya opera-opera yang lain, memiliki akhir yang tragis tapi ada sebuah pelajaran berharga yang dapat diambil, yaitu bahwa cinta yang suci akan menuntun datangnya pengampunan dari Tuhan.
Rhein adalah sebuah kota di daerah Westphalia, Jerman. Sebuah kota yang tenang tapi sama sekali tidak ada hubungannya dengan sungai Rheine
O Du, Mein Holder Abendstem (O thou, my gracious evening star) adalah sebuah aria yang dinyanyikan oleh tokoh Wolfram dalam opera Tannhauser. Wolfram jatuh cinta pada Elisabeth tapi moral yang teguh dan aturan agama yang suci membuatnya menahan diri dan hanya mengagumi gadis itu dari kejauhan. Sebuah aria yang indah, petikan harpa dan nada G minor dan G mayor sambut-menyambut menggambarkan dengan bagus sekali perpaduan yang menarik antara kebahagiaan cinta dan kepedihan yang mendalam.
RR YUNI KRISTYANINGSIH PRAMUDHANINGRAT
Lahir di Ponorogo, 16 April 1979. Selepas SMA, melanjutkan kuliah di Universitas Brawijaya, Malang, di Fakultas Pertanian, Jurusan Hortikultura, lulus pada tahun 2001. Mendapatkan beasiswa program magister dan doktoral di University of Heidelberg pada tahun 2007, dan lulus pada awal tahun 2011 dengan penelitian tentang biopestisida. Bercita-cita mendirikan sekolah untuk anak-anak kurang beruntung dan mereka yang membutuhkan perlakuan istimewa dengan model seperti SD Tomoe Gakuen. Sangat menikmati membaca buku mengenai bermacam-macam topik terutama sastra. Mulai menulis sejak SMA. Cerpen pertamanya “Lukisan Senja” dimuat di majalah sastra Horison pada tahun 2003. Cerpen-cerpen berikutnya dimuat di majalah sastra Horison, harian Kompas, tabloid Nova, majalah Femina, harian Tribun Jabar, Jurnal Cerpen Indonesia dan lain-lain. Buku terjemahan pertamanya diterbitkan oleh Penerbit Serambi tahun 2009, berjudul The Old Man And The Sea karya Ernest Hemingway.
Musim yang Beku
Di dalam bak mandi berisi air hangat, Linsie memandangi salju yang turun di luar jendela. Itu
adalah tahun dimana musim dingin sangat dingin dan musim panas sangat panas. Salju turun
tiada henti, membentuk gundukan-gundukan muram pada semua benda yang menghadap ke
langit. Mereka tidak punya kebiasaan membersihkan salju. Tidak ada gunanya melakukan itu.
Sepanjang musim dingin tidak ada orang yang datang berkunjung kecuali seorang sahabatnya
yang melakukan kunjungan teratur setiap hari Rabu. Alexander Grimm tidak peduli pada apa
pun kecuali apa yang ada di dalam kepalanya sendiri. Dia bahkan tak menyadari betapa rumah
itu benar-benar dapat menggambarkan ungkapan a mile away from anywhere, betapa jajaran
pohon lombardy dan birch mampu membuat pola yang membingungkan di saat salju setinggi
lutut menutupi jalan. Dia tetap datang pada hari dan jam yang sama setiap minggu. Linsie
sangat sayang padanya dan mereka membuat komposisi musik bersama-sama. Di bulan Maret,
saat matahari dan udara musim semi melelehkan salju itu, mereka bahkan bisa bercanda
dengan topik siapa yang lebih banyak jatuh terpeleset.
Saat itu pertengahan bulan Januari. Pada malam-malam tertentu suhu turun hingga minus lima
belas derajat celcius. Di malam-malam seperti itu dia tidak bisa tidur, bukan karena dingin —
kamarnya hangat— tapi karena kesunyian. Aku sedang dibuang oleh Tuhan, pikirnya saat
malam-malam mencekam seperti itu datang lebih sering.
Alunan lagu dari opera Tannhauser tidak bisa menyembunyikan kenyataan dari telinganya
yang peka bahwa seseorang datang. Karena bak mandi itu ditanam di lantai dia bahkan dapat
mendengar suara sandal kamar yang pelan.
Dia mendongak, melihat Ulric berdiri di dekat bak mandi. Dia mengenakan jubah kamar dari
bulu cerpelai. Ikatan di pinggangnya sepertinya dibuat dengan serampangan.
“Aku sedang mandi,” kata Linsie.
Kamar-kamar di dalam rumahnya tidak pernah dikunci. Dia seorang penderita claustrophobia.
Dia memerlukan ruang-ruang terbuka untuk merasa normal. Tapi dia tetap menghargai privasi.
Suaminya merasa boleh melihatnya kapan pun dia mau. Dia tidak pernah minta ijin untuk hal
apa pun kepadanya. Linsie kadang-kadang menegurnya tapi dia memang selalu seperti itu
sejak dulu.
Mereka telah tidak bertemu cukup lama. Suaminya punya banyak hal untuk diurus. Dia pergi
tiga kali dalam sebulan dan kadang lamanya seminggu atau lebih. Linsie sudah biasa tidak
melihatnya di rumah.
“Kau suka sekali mandi,” kata pria itu. “Seseorang akan berpikir kau menetas dari sebutir telur
angsa atau semacamnya.”
“Airnya hangat.”
Pria itu melepaskan jubah kamarnya dan masuk ke dalam air. Bak mandi itu cukup lebar. Dua
orang dapat berbaring dengan nyaman di dalamnya tanpa bersentuhan satu sama lain. Uap air
memburamkan pandangan. Benda itu didesain untuk bisa mempertahankan suhu air tetap
konstan.
“Apa yang sedang kau pikirkan di dalam kepalamu yang kecil itu?” tegur laki-laki itu.
“Hanya hal-hal sepele.”
“Aku tertarik pada hal-hal sepele.”
Linsie membuat komposisi musik, menggambar dan menulis. Suaminya tidak mengerti satu
pun dari apa yang menjadi kesukaannya. Tapi ada saat-saat tertentu ketika pria itu
menghabiskan waktunya dengan menanyai Linsie tentang apa yang berada di dalam pikirannya
dan menikmatinya seakan dia sedang menonton sebuah film. Linsie berpikir di saat seperti itu
suaminya sedang menjalankan kewajiban sebagai keluarga. Orang lain mungkin akan
menganggapnya sebagai cinta.
“Tadi aku bermimpi. Aku berjalan-jalan di sebuah pasar dan melihat gaun-gaun cantik berwarna
merah muda pucat. Waktu mau bayar ternyata di dompetku tidak ada selembar pun uang
rupiah.”
Linsie tidak pernah pulang sejak pindah. Dia tidak pernah menyebut-nyebut ingin pulang atau
semacamnya. Hubungannya dengan keluarganya terlalu rumit untuk dipahami. Tapi dia selalu
bermimpi tentang rumahnya.
Suaminya tertawa. “Di dalam mimpi kau tetap sama bodohnya,” katanya.
“Itu pasar kabupaten tempat aku biasa menemani nenekku berbelanja. Orang-orang
meletakkan barang-barang jualannya di meja-meja dari bambu. Mereka menatanya di pagi hari
dan membereskannya lagi sebelum pulang. Ada satu tempat yang menjual gethuk yang sangat
enak. Gundukan gethuk berwarna kecoklatan karena memakai gula kepala diletakkan di atas
tampah bambu, berjajar dengan jongkong yang liat dan parutan kelapa berwarna putih bersih.
Saat akan disajikan gethuk itu akan diiris tipis, ditaburi parutan kelapa, bersama satu
jongkong dan dibungkus daun jati. Harganya hanya lima ratus rupiah. Kalau bisa mendapatkan
gethuk dan jongkong itu artinya kau beruntung. Jongkong entah kenapa hanya dibuat
beberapa buah dalam seharinya.”
“Jadi kau ingin memintaku mencarikan singkong untukmu? Kurasa aku bisa mendapatkannya di
pasar.”
“Ya ampun, tidak. Jangan konyol.”
Linsie jarang memikirkan hal-hal yang praktis dan real. Ucapan dan pikirannya mengandung
khayalan yang maksudnya seringkali menyimpang dari kenyataan yang dipahami orang.
Suaminya menganggap dirinya berkewajiban menyediakan semua keperluan praktis dan real
itu. Jadi, dia biasanya merepotkan dirinya sendiri dengan mendapatkan apa-apa yang
dibicarakan Linsie. Jika sedang berjalan-jalan dengannya dan Linsie memandangi suatu barang
lebih lama dari seharusnya, dia akan berpikir istrinya menginginkan benda itu dan akan
berusaha mendapatkannya. Tidak ada yang tidak bisa dia dapatkan cepat atau lambat. Grimm
sering menyebut pria itu diperbudak cinta dan menertawainya di belakang punggungnya. Tapi
Linsie tidak tertawa. Dia tahu semua orang yang mencintainya adalah orang-orang yang
dikutuk.
“Kau selalu saja mendengarkan lagu ini,” kata suaminya. Ada keluhan dalam suaranya. “Aku
lebih suka Offenbach yang riang.”
“Aku menyukainya.”
“Apa yang hendak diceritakan lagu ini?”
“Harapan,” ucapnya. Dia menopang sisi kepalanya dengan tangan. Sebagian rambutnya basah.
Nampak begitu kelam di latar belakang kulitnya yang pucat. “Bahwa untuk seorang
Tannhauser, walaupun dia telah menuruti godaan Venus dan terperosok ke dalam kejatuhan
moral, tetap ada seorang Elizabeth yang setia menunggunya.”
“Bukankah itu kebodohan yang tragis?”
Linsie menghabiskan waktunya di tempat tidur karena sakit, sementara suaminya seorang pria
yang sangat sehat. Sekali waktu pria itu, sebagaimana umumnya pria mana pun sejak awal
masa, membiarkan dirinya menuruti godaan wanita-wanita lain yang dia miliki. Pada mulanya,
karena dia percaya pria dan wanita harus menjalani hubungan yang suci di antara mereka, hal
semacam itu menyakiti hati Linsie. Hampir-hampir merusak sebagian jiwanya. Tapi waktu
berlalu dan dia menyadari dia hidup di dunia yang tidak sempurna. Membiarkannya adalah
caranya berdamai dengan takdirnya. Lagipula pria itu mencintainya. Di dunia yang kacau-balau,
seseorang tidak seharusnya meminta terlalu banyak. “Itu namanya harapan,” katanya. “Bagus
sekali kalau seseorang dapat menuliskannya ke dalam lagu. Harapan itu sesuatu yang indah.”
Tangannya menyusuri dasar vas bunga porselin di dekat bak mandi. Pelayannya telah
mengisinya dengan empat belas batang bunga anyelir kesukaannya.
Suaminya menatapinya. “Apa ada yang mau kau katakan?”
Dia menyentuh kelopak bunga berwarna merah muda pucat itu. “Aku pergi ke Rhein beberapa
hari lalu,” katanya. “Aku bertemu dengan puterimu.”
“Anakku meninggal enam bulan lalu. Dan dia laki-laki.” Ekspresi wajah laki-laki itu sama seperti
ketika anak yang Linsie kandung meninggal sewaktu berumur enam bulan dalam kandungan.
Karena dia sakit, pengobatan yang dia jalani menyebabkan kontraksi yang tak bisa dia cegah.
Dokter harus membuang janin dalam perutnya supaya dia bisa tetap hidup. Dokter selalu
seperti itu di mana pun mereka berada. Selalu memutuskan bahwa hidup akan lebih baik
daripada kematian. Bahkan tanpa bertanya pada orang yang memiliki tubuh dimana nyawa itu
tinggal.
“Aku membicarakan anakmu yang lain.”
“Aku tidak punya anak yang lain.”
“Kau tahu siapa yang kubicarakan.”
Biasanya wanita-wanita yang dimiliki pria itu terlalu cerdas untuk bersikap serius terhadap
hubungan mereka, tapi salah satu dari mereka ada seorang wanita yang masih sangat muda.
Dia jatuh cinta dengan begitu bodohnya pada pria itu. Gadis itu melahirkan seorang puteri
musim gugur lalu, dan terlalu baik hati untuk mengusik hidup pria yang dicintainya. Linsie tahu
suaminya memberikan uang yang banyak padanya dan gadis itu menolaknya.
“Gadis itu sangat miskin. Mungkin dia terpaksa harus menyerahkan anaknya ke panti asuhan.”
“Kau merepotkan dirimu sendiri dengan urusan yang bukan urusanmu.”
“Aku menyesal bigami ilegal di negara ini. Kalau tidak, kita dapat menyelesaikan masalah ini
dengan mudah, kan?”
“Linsie!”
Linsie tidak mempedulikannya. “Kukatakan padanya, aku bisa merawat anaknya kalau dia
setuju.”
“Aku tidak mau mendengarkan omong kosong seperti ini.” Ulric beranjak bangun dan meraih
mantelnya.
“Kau tahu apa yang membuatku bertahan di tempat ini?” Linsie bertanya tanpa mengalihkan
tangannya dari kelopak-kelopak anyelir lembut itu. “Tempat yang sangat dingin dan muram,
yang akan membuatmu terdorong untuk bunuh diri jika kau terbangun seorang diri di malam
hari. Tempat dimana kesepian menemanimu lebih sering daripada bayanganmu sendiri. Kau
tahu apa yang membuatku tidak ikut menjadi sedingin dan semuram salju itu? Bukan cinta
seperti yang selalu aku tulis. Tentu saja bukan. Tapi karena aku percaya keluarga harus selalu
bersama sampai mati. Orang-orang itu, keluarga, harus selalu ada dalam hidupmu, bahkan
walaupun mereka membakar hatimu dengan api kebencian yang disulut dari dasar neraka,
bahkan meskipun mereka menghisap seluruh tetes darahmu, kau tidak bisa, kau tidak boleh
meninggalkan mereka. Aku tidak sedang bicara tentang aturan Tuhan. Tidak. Bukan itu. Tapi
tentang bagaimana seharusnya seseorang bersikap. Keluarga adalah bagian dari dirimu
sendiri. Tidak ada yang lebih pengecut selain orang yang menolak dirinya sendiri. Begitulah
seharusnya. Setidaknya dengan cara itulah aku dibesarkan.” Dia menoleh. Pria itu hendak
pergi tapi suara Linsie menghentikan langkahnya. “Kau adalah orang yang kupilih untuk
menjadi keluargaku. Itu kenapa aku lebih mencintai rasa dingin dan kemuraman ini dibanding
sinar matahari yang ceria di kampung halamanku.”
Terdengar sebuah aria yang memilukan. O Du, Mein Holder Abendstem “Aku menginginkan
anak itu. Tolong bawa dia padaku.”
“Kau hanya mencari sebuah cara untuk menghukumku.”
Linsie menggumamkan sebuah senyuman. “Matanya seperti matamu. Dia juga memiliki rambut
seperti rambut bayiku.”
Ulric tidak mengatakan apa-apa. Dia berjalan keluar tanpa memandang Linsie. Di mata Linsie
punggung suaminya terlihat seperti pohon-pohon lombardy di kebun mereka yang menjadi
penanda jalan di musim dingin. Tinggi menjulang mencegah orang-orang tersesat tapi tidak
dapat mencegah dirinya sendiri untuk tidak mematikan diri di bawah siraman salju. []
Catatan
Tannhauser adalah judul opera karya Richard Wagner. Karya ini berdasarkan pada legenda
Jerman tentang Tannhauser dan kontes lagu di Wartburg. Opera ini menggambarkan tentang
perbedaan mendasar antara cinta yang suci dan cinta yang hanya melibatkan kesenangan fisik
semata. Opera ini, sebagaimana umumnya opera-opera yang lain, memiliki akhir yang tragis
tapi ada sebuah pelajaran berharga yang dapat diambil, yaitu bahwa cinta yang suci akan
menuntun datangnya pengampunan dari Tuhan.
Rhein adalah sebuah kota di daerah Westphalia, Jerman. Sebuah kota yang tenang tapi sama
sekali tidak ada hubungannya dengan sungai Rheine
O Du, Mein Holder Abendstem (O thou, my gracious evening star) adalah sebuah aria yang
dinyanyikan oleh tokoh Wolfram dalam opera Tannhauser. Wolfram jatuh cinta pada Elisabeth
tapi moral yang teguh dan aturan agama yang suci membuatnya menahan diri dan hanya
mengagumi gadis itu dari kejauhan. Sebuah aria yang indah, petikan harpa dan nada G minor
dan G mayor sambut-menyambut menggambarkan dengan bagus sekali perpaduan yang
menarik antara kebahagiaan cinta dan kepedihan yang mendalam.
RR YUNI KRISTYANINGSIH PRAMUDHANINGRAT
Lahir di Ponorogo, 16 April 1979. Selepas SMA, melanjutkan kuliah di Universitas Brawijaya,
Malang, di Fakultas Pertanian, Jurusan Hortikultura, lulus pada tahun 2001. Mendapatkan
beasiswa program magister dan doktoral di University of Heidelberg pada tahun 2007, dan
lulus pada awal tahun 2011 dengan penelitian tentang biopestisida. Bercita-cita mendirikan
sekolah untuk anak-anak kurang beruntung dan mereka yang membutuhkan perlakuan
istimewa dengan model seperti SD Tomoe Gakuen. Sangat menikmati membaca buku
mengenai bermacam-macam topik terutama sastra. Mulai menulis sejak SMA. Cerpen
pertamanya “Lukisan Senja” dimuat di majalah sastra Horison pada tahun 2003. Cerpen-cerpen
berikutnya dimuat di majalah sastra Horison, harian Kompas, tabloid Nova, majalah Femina,
harian Tribun Jabar, Jurnal Cerpen Indonesia dan lain-lain. Buku terjemahan pertamanya
diterbitkan oleh Penerbit Serambi tahun 2009, berjudul The Old Man And The Sea karya Ernest
Hemingway.
Originally posted 2013-07-23 13:06:25.