SEORANG pemuda terbangun dari lamunannya yang entah tentang apa, lalu mendapati dirinya berada di sebuah bar yang ramai. Tiga botol vodka tergeletak di mejanya, sebuah band memainkan Hotel California di sebuah panggung kecil di sisi bar yang berlawanan dengan meja bartender. Pemuda itu menoleh ke sana ke mari, mencoba mengenali semua yang ada termasuk dirinya sendiri.
Di kantung celana pemuda itu, sebuah buku catatan kecil dengan sebuah pena terselip di tengahnya. Ia membukanya, lalu membaca beberapa kalimat yang menyerupai puisi. Tapi, ia tahu bahwa ia tidak butuh metafora yang berserak itu saat ini. Ia butuh semacam nama dan alamat —dua hal yang tak tersedia.
Sementara itu, bar semakin ramai. Di meja bartender, tiga lelaki seperti sedang membicarakan rahasia: mereka berbicara dengan kepala sangat dekat dan sesekali menoleh ke beberapa arah. Dua orang lelaki lain, di meja yang berjarak tiga meter dari meja si pemuda, menenggak bir langsung dari botolnya. Satu dari mereka meraih tangan seorang perempuan yang sedang berjalan, lalu memaksanya untuk bergabung. Sebatang rokok yang masih menyala tergeletak di lantai bar, seorang pelayan menginjaknya.
***
“ADA yang ingin Anda pesan lagi?”
“Tidak. Tapi umm….”
“Ya?”
“Siapa saya?”
“Ahaha.”
“Kenapa Anda tertawa? Saya serius.”
“Sebagai kelakar, itu memang terlalu serius.”
“Itu bukan kelakar.”
“Seorang pemuda datang ke sebuah bar, lalu bertanya kepada pelayan ‘siapa saya?’, itu adalah kelakar.”
“Baiklah, Nona, Anda boleh menganggap ini kelakar. Tapi saya benar-benar tidak tahu siapa diri saya.”
“Apa yang bisa saya lakukan?”
“Saya hanya punya buku ini. Saya berharap ada nama dan alamat saya di sini, tapi tidak ada.”
“Biar saya lihat.”
“….”
“Bagaimana?”
“Apa buku ini benar-benar milik Anda?”
“Karena itu ada di kantung saya, saya rasa itu memang milik saya.”
“Lalu puisi-puisi yang ada di dalamnya, apa semua ini karya Anda?”
“Entahlah.”
“Saya mengenal gaya puisi-puisi ini.”
“Oh ya?”
“Karya Anda atau bukan, Anda mesti berhati-hati.”
“Berhati-hati?”
“Gaya puisi-puisi ini mirip sekali dengan gaya puisi dari penyair yang mungkin sedang dibicarakan oleh para lelaki di meja bartender itu. Kalau mereka tahu tentang buku ini, mungkin Anda dalam bahaya.”
“Siapa mereka itu?”
“Begini saja, jam kerja saya akan habis tidak lama lagi. Tunggu saya, saya akan jelaskan semuanya kepada Anda. Sementara, bersikaplah lebih normal.”
“Baiklah. Terimakasih sudah mau membantu.”
“Saya suka puisi.”
***
PEMUDA yang hilang ingatan itu telah masuk ke dalam taksi, ketika pelayan yang berniat membantunya masih berbicara dengan seorang pria di depan pintu bar. Pemuda itu sibuk memikirkan bagaimana semua ini bisa terjadi. Bagaimana mungkin seseorang bisa secara tiba-tiba kehilangan semua ingatannya. Satu hal yang ia dan pelayan itu tahu, vodka tidak akan memberikan dampak berlebihan semacam ini.
Lima menit kemudian, pelayan itu telah selesai dan masuk ke dalam taksi. “Maaf membuatmu menunggu. Kau tahu, tak ada satu pelayan pun yang bisa begitu saja pulang. Maksudku, tanpa melewati tawaran menginap dari pengunjung yang mabuk.”
Mereka tertawa kecil. Supir taksi menyalakan argonya, ia sudah tahu tujuan.
“Jadi, kita akan mulai membahas semuanya?” si pemuda membuka pembicaraan.
“Lebih baik tidak sekarang, tidak di sini,” pelayan itu mendekatkan mulutnya ke telinga si pemuda. “Kita tidak bisa membiarkan siapa pun mendengar kita membahas hal itu, bahkan supir taksi yang pendiam.”
“Lalu di mana?” pemuda itu berbisik.
“Di rumahku. Aku tinggal sendiri, kita aman di sana.”
“Baiklah. Jadi, siapa namamu?”
“Maria Maya. Kau bisa memanggilku Maya.”
“Maya. Mm, aku tak punya ide bagaimana kau mesti memanggilku untuk sementara.”
“Rimbaud. Bagaimana menurutmu?”
“Terdengar keren. Apa itu Rimbaud?”
“Arthur Rimbaud. Itu adalah nama seorang penyair dan dia memang keren.”
“Ahaha, apa itu berarti aku juga keren?”
“Ahaha, apa kau Narcissus?”
Taksi melaju dengan kecepatan sedang, melewati jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan bersinar temaram, dua tiga taksi menunggu penumpangnya di depan pertokoan dan persimpangan. Supir taksi yang membawa Rimbaud dan Maya sangat pendiam. Dia hanya mengeluarkan tiga kalimat kepada dua penumpangnya malam ini. “Selamat malam. Saya akan membawa Anda pulang, Nona. Salam kenal, Anak Muda.”
Dua puluh tiga menit perjalanan, mereka belum sampai. Radio yang dinyalakan oleh supir taksi setelah diminta oleh Maya memutar Bohemian Rhapsody, salah satu lagu yang sangat Maya sukai. Sejak awal lagu, Maya ikut bernyanyi. Suaranya terdengar halus sekali. Kalau seseorang menutup mata dan mendengarnya, pasti ia berpikir bahwa Maya sedang berduet dengan Queen. Mama uuu, didn’t mean to make you cry/ If I’am not back again this time tomorrow.
***
MAYA duduk di atas ranjang kecil yang rapih, Rimbaud berdiri di samping sebuah meja yang penuh dengan buku, lipstik dan noda-noda. Jam di dinding kamar Maya menunjukkan pukul 02.18 pagi. Sejenak suasana menjadi hening, mereka seperti saling menunggu salah satu memulai pembahasan. Maya memutar sebuah lagu berbahasa Prancis, ia tidak tahan dengan kesunyian.
“Baiklah, Rimbaud. Kita akan mencoba menemukan identitasmu. Kita mulai dengan buku kecilmu itu.” Maya berdiri dan mengambil sebuah buku yang terselip di tengah tumpukkan buku di atas meja.
“Oke,” Rimbaud membuka buku kecilnya.
“Ambil ini. Coba cek seberapa mirip gaya puisi-puisi di dalamnya dengan yang ada di dalam bukumu.”
“Antologi Puisi Malam yang Retak. Siapa penyairnya? Di buku ini tidak tertulis.”
“Tahan pertanyaanmu. Mulailah membaca.”
“Baiklah. Perpisahan: Akan kutelan bara yang menyala/ Kupadamkan di dalam dadaku/ Darah mengalir tak menemukan muaranya/ Ia menggenang, bersemayam/ Mengisi lubang kenangan kita….”
“Coba baca satu puisi dari buku kecilmu itu.” Maya merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia dekatkan player yang memutar lagu berbahasa Prancis itu ke telinganya. Rambutnya yang ikal sebahu tampak berantakan.
“Biar kutikam mataku/ Biar kutikam/ Dengan telunjuk yang menudingmu pada suatu malam/ Tak ingin kulihat kau menangis/ Sedang bahu si asing/ Menahan gontai kepalamu….”
Berulangkali Rimbaud membaca puisi dari kumpulan yang diberi Maya dan buku kecilnya. Enam puisi pertama ia baca dengan bersuara, berpuluh-puluh puisi setelahnya ia baca dalam hati. Perlahan-lahan, Rimbaud merasa ada yang bergemuruh di dalam dadanya, semacam kenangan yang mencoba untuk diingat lagi oleh tuannya. Sesekali ia benamkan wajahnya ke dalam buku yang terbuka, mencium wangi kertas yang aneh.
Maya semakin tenggelam ke dalam lagu yang sedang ia dengar. Ia benar-benar mempunyai selera musik yang bagus. Kalau seseorang bertemu dengannya untuk pertama kali dan bukan di bar, lalu berbicara mengenai sastra dan mendengar musik bersama, mungkin seseorang itu tak akan mengira bahwa Maya adalah seorang pelayan. Setidaknya ia akan berpikir bahwa Maya adalah seorang pustakawan.
“Aku sudah selesai dengan semua puisi yang menyakitkan ini.” Rimbaud memecahkan kekhusyukan Maya.
“Bagaimana menurutmu?”
“Ya, puisi-puisi dari dua buku ini punya gaya yang sama: diksi yang pahit, tema yang pahit, metafora yang pahit dan, kurasa, kalau aku menjilat mereka lidahku akan juga merasa pahit —dalam artian sebenarnya.” Rimbaud lebih terlihat mengomel ketimbang memulai diskusi, matanya terlalu membelalak.
“Begitulah. Penyair dari buku yang kutunjukkan dan seseorang, mungkin kau mungkin bukan, yang telah menulis puisi-puisi di buku kecilmu itu seperti mempunyai kenangan yang sama, hati yang sama, khazanah tekstual yang sama dan semua itu membuat gaya puisi mereka sama pula: diksi, metafora, rima, segalanya bahkan tipografinya.” Maya berdiri dan berjalan ke sisi yang berhadapan dengan ranjangnya. Ia menuangkan minuman, dari warnanya seperti anggur, ke dua gelas kecil. Satu gelas ia berikan kepada Rimbaud.
“Lalu siapa nama penyair dari buku puisi itu?” Rimbaud menenggak habis anggurnya.
“Itu masalah lain. Kau tahu, buku ini terbit tanpa nama penyair yang menyusunnya. Entahlah, mungkin ini niat penyairnya atau bahkan penerbitnya.”
“Baiklah, sementara kita bisa bilang dua buku ini ditulis oleh orang yang sama. Lalu, apa yang membuatku atau penyair dari buku ini dalam keadaan berbahaya seperti yang kau bilang di bar?”
“Buka lagi halaman 58, Aku Ingat bahwa Aku Pernah Mabuk Bersamamu.”
“Sebentar…,” Rimbaud mencari. “Aku ingat bahwa aku pernah mabuk bersamamu, buat Azura Nille.”
“Kau tahu siapa itu Azura?”
“Pertanyaan yang aneh, bahkan kau tahu aku tidak tahu siapa diriku sendiri.”
“Ahaha itu retoris untukmu sebenarnya. Dia istri walikota,” wajah Maya berubah sangat serius.
“Puisi itu menceritakan bahwa si penyair dan Azura pernah mabuk dan akhirnya bercinta pada suatu malam. Tidak ada yang bisa membantah bahwa Azura Nille yang dimaksud adalah memang istri walikota karena ‘mata yang besar, alis yang tebal’, ‘bibir yang gemar menghisap lollipop’ di dalam puisi itu adalah hal-hal yang mencerminkan Azura Nille sang ibu walikota,” Maya kembali berdiri dan berjalan ke arah botol anggurnya. “Walikota sangat marah ketika membaca puisi itu, yang artinya mengetahui juga ceritanya.”
“Apa hubungannya dengan tiga pria di meja bartender itu?”
“Pertanyaan yang tepat. Mereka adalah suruhan walikota, mereka mencari penyair misterius yang sedang kita bicarakan untuk dihabisi.”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Mereka menceritakannya secara cuma-cuma ketika mabuk, sungguh ceroboh.”
“Umm, kita mesti datangi….” Rimbaud membalik kumpulan puisi yang dipegang tangan kanannya. “Green Wave Publisher.”
***
MAYA dan Rimbaud telah sampai di depan sebuah kantor kecil pada pukul 10 pagi. Sebuah kantor kecil di dalam sebuah perumahan yang asri. Di pagarnya yang memiliki ukiran semacam ukiran di Timur Tengah terpasang sebuah papan nama, Green Wave Publisher: Membawa buku ke permukaan. Kalau mereka sudah melewati pagar itu, mereka akan juga melewati sebuah taman yang ditumbuhi bunga-bunga yang indah. Rumput yang ada di sekitarnya sangat hijau dan tertata.
Maya menekan bel, seorang lelaki dari dalam kantor menjawab. “Yaaa, tunggu sebentar.”
Maya dan Rimbaud menunggu sambil sedikit mengobrol. Maya bercerita bahwa ia sangat suka puisi-puisi dari penyair yang sedang mereka bicarakan. Puisi-puisi itu tidak terlalu angkuh, kata-kata sederhana yang ada di dalamnya seperti ajakan yang halus untuk dapat merasakan semua apa yang dirasakan oleh aku-liris. Begitulah, katanya, tugas puisi yang sebenarnya.
Lima menit kemudian, seorang lelaki setengah baya berbadan gempal keluar dari kantor dan membukakan pagar. Wajahnya seketika memperlihatkan ekspresi terkejut saat melihat Rimbaud. Ia mengusap matanya, seolah memastikan siapa yang ia lihat.
“Gaharu Affandi, dari mana saja kau ini?” Lelaki itu menepuk pundak pemuda yang ia kenali itu, matanya sempat melihat ke arah Maya.
“Aku mendapatinya di bar. Menikmati vodka, lalu hilang ingatan.” Maya seperti tahu arti tatapan lelaki gempal itu.
“Dia hilang sejak dua hari yang lalu,” kata lelaki gempal itu.
“Bisakah kita sudahi basa-basi ini? Apa aku benar-benar Gaharu Affandi yang kau sebut dan siapa penulis buku menyedihkan ini?” Rimbaud (Ah, atau Gaharu) berkata dengan nada sinis, tangannya mengacungkan Malam yang Retak.
“Ada apa denganmu, Anak muda? Kau memang Gaharu, kita mengurus Green Wave bersama-sama. Dan buku ini… mari kita bahas di dalam,” lelaki gempal yang belum memperkenalkan diri itu merangkul pundak pemuda yang ia kenal itu ke dalam. “Ayo, Nona,” katanya kepada Maya.
“Sebentar….” Maya merogoh saku celananya, telpon genggamnya berdering. “Atau kalian bisa masuk duluan, aku akan menyusul,” lanjutnya. Dua lelaki itu mengangguk dan beranjak ke arah kantor. Maya masih menatap telpon genggamnya, ia tidak tahu nomor yang memanggilnya.
Di seberang kantor Green Wave Publisher, sebuah Mercedes Benz berhenti bukan untuk parkir. Seorang lelaki perlahan-lahan terlihat dari kaca mobil yang sedang dibuka, ia sudah dalam posisi siap dengan sniper yang mengarah ke dua lelaki yang sedang melewati taman bunga. Maya sudah berbicara dengan seseorang lewat telpon genggamnya, ketika matanya menangkap lelaki dalam mobil berpenembak jitu itu. Ia berlari melewati pagar, telpon genggamnya terjatuh.
Beberapa detik kemudian, sebuah peluru telah menembus kepala Maya.[]
Tangerang, 2012
NA LESMANA
Lahir di Tangerang, 7 Juli 1992. Menulis puisi, prosa dan artikel. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Kompas.com, Jurnal Bogor, Satelite News, Tangerang Ekspress, Horison, dan beberapa media massa online. Buku-buku yang pernah menampilkan tulisannya adalah Padang 7,6 SR (Singapura, 2009), Munajat Sesayat Do’a (Riau, 2010) dan Memburu Matahari (Palembang, 2011). Sekarang sedang merintis Pulau Api, sebuah penerbitan buku dan lembaga edukasi seni. Tinggal di Tangerang, Banten. http://horisononline.or.id/cerpen/identitas