Nuansa Fiqh Sosial “Gejolak Ijtihad Santri” – Mereka merasakan, pelajaran yang selama ini didapat dari pesantren kurang begitu populer. Dengan usaha membentuk forum kajian ilmiah, maksud mempopulerkan materi pengajian pesantren akan lebih mudah terpenuhi.
Suatu ketika secara kebetulan saya mendengar percakapan beberapa santri di pesantren desa saya. Percakapan antar santri itu mirip halaqah dalam bentuk sederhana. Seperti tidak mau ketinggalan dengan trend yang hinggap pada lembaga-lembaga pendidikan di kota, santri-sanhi itu beri’tikad—kalau tidak bisa dikatakan mengkhayal- membuat fonum kajian ilmiah sebagai, maqshuudul al-a’dhom (tujuan utama). Mereka merasakan, pelajaran yang selama ini didapat dari pesantren kurang begitu populer. Dengan usaha membentuk forum kajian ilmiah, maksud mempopulerkan materi pengajian pesantren akan lebih mudah terpenuhi. Apa lagi ketika “ilmu-ilmu pondakan’ itu dihadapkan kepada realitas sosial. Terlihatlah suatu kenyataan ,vang memprihatinkan. Banyak masalah yang belum terjawab oleh kekayaan khazanah ilmu (bukan keilmuan) pesantren itu sendiri.
Percakapan yang tidak resmi itu menyinggung beberapa hal yang selama ini menjadi isu sentral bagi sebagian organisasi keagamnan di negeri ini. Begitu kritisnya pembicaraan itu, sehingga sistem-sistem pengajaran pesantren mereka pertanyakan substansi dan esensinya. Demikian komprehensipnya, sehingga banyak hal yang tercakup dalam pembicaraan tersebut. Lebih jauh lagi kernudian mereka berbicara mengenai upaya sosialisasi fiqih dan mengakomodasikannya dengan kehidupan praktis masyarakat awam.
***
SEBAGIAN dari mereka mengatakan pesantren dalam upayanya sebagai lembaga tafaqquh fiddin (memperdalam agama), selama ini lebih getol mempelajari teks-teks ulama salaf dalam masalah-rnasalah kemasyarakatan yang luas, dengan konteks sosial pada saat teks-teks tersebut dibukukan. Pesantren -bahkan kebanyakan umat Islam- cenderung hanya membaca produk-produk hukum Islam (fiqih) yang telah diolah matang oleh ulama Salaf.
Kerja intelektual pesantren dan kajian keagamaannya hanya berkisar pada interpretasi tekstual. Sementara dinamika perkembangan sosial yang berlangsung begitu cepat dan perubahan demi perubahan, oleh pesantren hanya disikapi dengan cara menarik kesirnpulan demi kesirnpulan secara umum dari hukum-hukum yang sudah rnatang tersebut, untuk kemudian digunakan menjawab tantangan-tantangan sosial yang kompleks.
Maka ketika masalah-masalah waqi’ah (aktual) di tengah masyarakat semakin menggejala, membutuhkan penyelesaian dan jawaban komprehensif sekaligus praktis dan ilmiah, serta sama sekali tidak melulu berupa teori normatif, pesantren menjadi “kalang kabut”. Masih dalam percapakan itu mereka mengemukakan, masalah-masalah seperti asuransi sama sekali tidak pernah ada dalam acuan kitab-kitab kuno pesantren (kitab kuning). Banyak hal yang secara praktis terjadi di dunia modern, belum terkodifikasikan ke dalam kitab kuning. Sehingga dengan begitu, Islam yang kaffah (universal) belum sepenuhnya terejawantahkan secara nyata dalam realitas sosial.
Lebih jauh lagi, salah seorang santri dengan berani mencoba mengoreksi sudut-sudut lain pola pengajaran fiqih pesantren itu sendiri. Ditemukan suatu hipotesis awal, bahwa pesantren selama ini bermazhab lewat kajian-kajian qauli (verbal), bukan pengkajian metodologis. Sehingga ia menganggap wajar, bila kemudian pesantren terperanjat menghadapi masalah-rnasalah baru yang belum teratur dalam teks-teks salaf.
***
Dari sini muncullah ide mereka untuk men-tajdid “fiqih pesantren”. Mereka untuk sementara akur seakur-akurnya, bahwa untuk mengatasi segala permasalahan di atas hanyalah tepat bila semuanya dikembalikan langsung (istilah mereka) pada inti ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Sebab, dalih mereka, Islam sebagai suatu tatanan global, tentu di dalamnya mengandung beberapa paham, sekte ataupun golongan-golongan. Manakala seseorang hanya berpegang pada satu dari paharn-paham itu, maka ia tak akan dapat meraih Islam secara kaffah (keseluruhan).
Saya tersenyum ketika mendengar mereka rnenyebut sebuah hadits yang kurang lebih berarti, “Setiap seratus tahun sekali Allah SWT akan mengutus seseorang untak melakukan tajdid dalam Islam“.
Berangkat dari hadits itu mereka mengkaji definisi tajdid. Mereka menemukan, bahwa tajdid yang secara harfiah berarti memperbarui, tidak selalu dapat diterjemahkan atau disinonimkan dengan modernisasi yang dalam bahasa Arab lazim disebut ‘ashraniyah. Begitu juga, tajdid sama sekali tidak bisa didefinisikan sebagai reformasi (bahasa Arabnya ishlahiyah), yaitu “pembaharuan” atau “perbaikan” yang sering terlepas atau sengaja dilepaskan dari kaitannya dengan semangat dan ajaran Islam.
Kajian definitif ini mereka peroleh dari sebuah rumusan para ulama ternama, berkharisma dan sekaligus punya reputasi yang mapan. Suatu hal yang kemudian gampang ditebak adalah munculnya sikap-sikap tawadlu’ mereka secara otomatis, setelah melihat dan mengetahui, bahwa definisi tajdid di atas telah dirumuskan oleh kiai-kiai mereka. Mereka berhenti bercakap-cakap karena menolak disebut “kualat” terhadap kiainya. Suatu sikap sendika dhawuh yang alhamdulillah masih begitu rnelekat di jiwa para santri yang berpikiran moderat, maju dan modernis itu.
Kembali lagi forum itu menghangat, ketika salah seorang santri memberanikan diri berargumentasi secara logis dan ilmiah untuk mempertanyakan kejanggalan yang selama ini terjadi di tubuh mereka, yaitu tentang kepatuhan “mutlak” seorang santri kepada gurunya. Sikap patuh demikian menyebabkan seorang murid sama sekali tidak berhak mendiskusikan apa yang disampaikan oleh guru. Akibat logisnya tentu saja adalah stagnasi proses belajar mengajar itu sendiri. Hal mana, jelas berlawanan dengan konsep-konsep pendidikan modern.
Bahkan lebih dari itu, dalam kerangka yang lebih luas, kepatuhan tersebut -masih menurutnya- dapat mengakibatkan kejumudan pemikiran fiqih, sehingga dalam ilmu Tarikh Tasyri’ dikenal ‘ahdu al-jumud wa al-taqlid (masa stagnasi dan taklid). Kongkritnya, ia bertanya dengan sangat fantastis, “Kalau tajdid didefinisikan seperti di atas, bagaimana keberadann kehidupan modern sekarang ini? Tidakkah dengan demikian, tajdid itu hanya merupakan konsep belaka yang eksistensinya tidak mungkin lagi terejawantahkan dalam realitas modern? Bagairnana pula akhimya, fiqih menjawab tantangan zaman!”
Sungguh suatu pertanyaan mendasar, sehingga memaksa percakapan tersebut dibuka kembali. Dengan lancar kemudian salah seorang membeberkan hasil-hasil rumusan para ulama yang lain, yang masih berkisar tentang tajdid itu sendiri. Disebutkan bahwa tajdid dalam segala aspeknya memang tidak bisa disetarakan dengan modernisme agama lain. Tajdid muncul dan berangkat dari kesadaran tentang “kemunduran Islam” dan juga karena proses berjalannya sejarah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dengan kata lain, ajaran Islam yang murni semakin tersisihkan oleh perkembangan zaman. Sehingga tajdid berkehendak memurnikan dan menjernihkan serta memperbaharui pemahaman dan penerapan ajaran serta hukam-hukam Islam yang bersifat relatif (nisbi) yang menjadi wilayah kajian IJTIHAD.
***
Percakapan agaknya menjadi melebar, membicarakan keberadaan IJTIHAD itu sendiri. Bermula dari definisi IJTIHAD yang berarti kemampuan berpikir secara maksimal untuk meng-istinbath-kan hukum syar’i yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia secara langsung dari dalil tafshili (yang terinci) al-Qur’an dan Hadits, si pembuka stagnasi percakapan itu tadi dengan serta merta menyela pembahasan. Ia agaknya tertarik benar dengan pernyataan pengambilan hukum langsung dari al-Qur’an dan Hadits. Sepertinya sejak awal ia memang paling gethol bicara tentang al-Qur’an dan Hadits. Menurut anggapannya, selama ini ajaran syari’at Islam telah terkotori oleh modernisasi. Jalan satu-satunya tentu kennbali dengan utuh terhadap kedua inti ajaran Islam.
Sampai di sini, teman-temannya saling mengernyitkan dahi. Semuanya yakin bahwa ia -pembuka stagnasi itu- tentu tahu dan paham benar, bahwa al-Qur’an dan Hadits adalah tata aturan yang sangat global. Untuk mendalaminya dibutuhkan banyak ilmu dan kecakapan pemikiran yang tinggi. Semua temannya sadar bila ia jelas mengerti, bahwa syarat-syarat berIJTIHAD sedemikian banyak dan rumit. Dalam rumusan beberapa ulama ditegaskan, pada zarnan ini tidak dimungkinkan lagi adanya IJTIHAD fardi (IJTIHAD individual) seperti yang dilakukan imam mazhab empat. Akan tetapi IJTIHAD tetap bisa dilakukan sebatas IJTIHAD jama’i (IJTIHAD kolektif), suatu IJTIHAD yang melibatkan beberapa ulama berdisiplin ilmu tertentu yang saling berbeda untuk kemudian menetapkan IJTIHAD dalam satu atau beberapa perkara.
Alhasil, santri-santri itu menyadari sepenuhnya akan keterbatasan yang mereka miliki. Mereka ingat, ulama sekaliber Abu Zakaria al-Anshori pun dalam kebanyakan kitabnya selalu mempergunakan pendapat Imam Rofi’i dan Imam Nawawi. Sedangkan kedua imam itu ternyata hanya merniliki tingkatan terendah dalam strata mujtahid. Maka, mungkinkah IJTIHAD atau juga tajdid itu mereka lakukan? Mampukah mereka kembali seutuh-utuhnya kepada al-Qur’an dan Hadits yang ijmal (global) itu. (Afif/Danis).
Refrensi Oleh: KH. A. Sahal Mahfudh *Dikutip dari buku “Nuansa Fiqh Sosial”