Memantapkan Kualitas Keilmuan Santri – Pondok pesantren di era globalisasi memiliki banyak tantangan yang tidak mudah. Di tengah maraknya lembaga pendidikan agama dan umum yang menjanjikan mutu dan kualitas lulusan yang ready for use, bagi pesantren merupakan realitas yang perlu diimbangi. Maka wajar saja jika Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (RMI) melakukan gerakan nasional “Ayo Mondok” (Suara Merdeka, 28/5/2015).
Gerakan ini menjadi jawaban dari kalangan pesantren Nahdlatul Ulama untuk menggugah kembali gairah ngangsu ngelmu (mencari ilmu), ngalap berkah (mencari berkah) dan nginep/mondok (menginap/menetap di pondok). Dan ini sekaligus membuang kesan bahwa pesantren itu ndeso, kumuh dan alumninya tidak bisa terserap di dunia kerja.
Justru dengan keberanian membuat gerakan nasional ini, pesantren semakin percaya diri dalam memberikan pendidikan terbaik untuk anak bangsa. Termasuk keberanian pesantren dalam memberikan pendidikan karakter plus. Sebab pesantren hari ini sudah mengalami banyak inovasi-inovasi dalam mengembangkan pola pendidikan yang tetap mengutamakan pembelajaran agama dan diimbangi dengan pengetahuan umum.
Dengan potensi pesantren di Jawa Tengah sebanyak 1.600 dan di Indonesia 27.230 ini, sangat tidak arif jika masih ada rasa takut dari orang tua memasukkan anaknya ke pondok. Rata-rata kekhawatiran orang tua memondokkan anaknya diakibatkan lima hal: kondisi pondok yang tidak bersih, pola asuh yang tidak rapi, belum siap memandirikan anak, pelajaran agamanya sangat berat dan belum jelas ijazahnya laku atau tidak.
Jika yang menjadi kekhawatiran hanya faktor itu, maka kesemuanya telah dijawab oleh banyak pesantren. Pesantren dengan bimbingan Kementerian Agama sudah banyak mendapatkan wokshop pengelolaan pesantren yang meliputi: sanitasi, kesehatan, pola pembelajaran, manajemen dan mutu lulusan. Dengan itu semua, tidak perlu dikhawatirkan mengenai kesan pesantren itu kumuh dan tidak laku selesai mondok.
Sudah Disetarakan
Apalagi lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan dan Peraturan Menteri Agama Nomor 13 tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam yang mempertegas posisi pondok pesantren. Dalam peraturan itu, pendidikan pesantren dan pendidikan diniyyah sudah dapat disetarakan dengan pendidikan semacam SD/MI hingga perguruan tinggi. Tentunya, pengakuan pendidikan dan ijazah pesantren dan madrasah diniyyah tetap mengacu pada aturan dan standar nasional pendidikan.
Nampaknya sudah tidak perlu lagi membuat dikotomi pondok pesantren salaf dan pondok pesantren modern. Sebab dikotomi ini akan membuat pesantren tidak produktif dan masyarakat nantinya akan cenderung memilih pondok pesantren yang modern, sedangkan pondok pesantren salaf hanya dimasuki kalangan terbatas. Pada dasarnya, predikat salaf dan modern hanya sebuah simbol manajemen pondok pesantren.
Pada hakikatnya, dalam konteks keilmuan, kedua-duanya memiliki pola yang sama, yakni membekali santri untuk berilmu, beragama, berdaya guna dan bermanfaat untuk masyarakat. Dalam menggunakan bahan ajar juga demikia, ciri khas kitab kuning yang menjadi referensi kajian tetap perlu dipertahankan. Termasuk model mengaji bandongan, sorogan dan klasikal juga perlu ditata kembali agar lebin interaktif.
Pada titik inilah, pesantren harus berbenah dalam manajemennya. Maka apreseasi yang sangat besar untuk RMI Jawa Tengah yang dipimpin oleh Gus Rozin yang sudah mengupayakan data base pesantren sebagai pusat pangkalan data. Semua orang akan bisa mengakses dimana pondok pesantren, spesialiasi ilmu, model pembelajaran hingga profil alumninya. Dengan cara semacam ini, nampaknya Kyai dan pengelola pesantren sudah mulai terbuka dengan manajemen humas pesantren yang cukup profesional.
Hal lain yang perlu dikembangkan adalah soal mutu pendidikan dan legalitas ijazah dijaga. Mutu pendidikan ini tetap berbasis pada pengarustamaan pendidikan agama yang berbasis kepesantrenan. Jangan sampai tradisi-tradisi pesantren hilang akibat formalisasi lembaga—hanya demi selembar pengakuan ijazah.
Maka model ada sistem pagi, sore dan malam dalam belajar itu sangat efektif. Pagi dini hari santri mengasah spiritual dan mengaji dengan Kyai. Jam 07.00-12.00 santri sekolah formal. Sore hari mengaji dan malam hari dapat digunakan untuk belajar mandiri dan penguasaan skill santri. Dengan pola ini, maka full day learning dalam pesantren benar-benar terwujud.
Di luar itu semua, wawasan keilmuan santri juga perlu diperluas dengan penguasaan bahasa asing: arab, inggris, mandarin dan lainnya. Termasuk santri juga perlu diperkuat basis ICT dan jurnalistik, agar ke depan banyak santri yang melek media dan mampu menulis untuk mempublikasikan karya-karya pesantren.
Sedangkan untuk memantapkan kualitas keilmuan santri dibutuhkan spesialisasi ilmu di pondok pesantren itu. Misalnya pesantren fiqh, pesantren ilmu alat, pesantren falak dan lain-lain. Dan yang paling penting lagi adalah perlunya pesantren menguatkan nasionalisme dan menjauhkan paham radikal. Itulah kontribusi nyata dunia pesantren dalam menjaga agama, bangsa dan kedaulatan negara. Dengan demikian, jumlah santri yang semula 3,65 juta akan kembali meningkat di kemudian hari.(Rikza/Danis)
M. Rikza Chamami, MSI, Alumni Madrasah Qudsiyyah Kudus, Alumni Pondok Pesantren Darunnajah Jrakah Semarang dan Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies Universitas Islam Negeri Walisongo
Reff:
http://www.ayomondok.com/suara-santri/memantapkan-kualitas-keilmuan-santri-oleh-m-rikza-chamami-msi-8