Teladan Cinta Tanah Air Nasehat Syaikh Mustofa Al Ghulayaini – Para santri pasti tidak asing dengan Kitab Kuning Idzatun Nasyi’in. Sebuah kitab visioner yang ditulis oleh ulama dan wartawan asal Bairut Lebanon. Pengarangnya bernama Syaikh Musthofa Al Ghulayaini yang lahir di Bairut pada tahun 1886 dan wafat 17 Februari 1944. Usianya yang hanya 58 tahun banyak menghasilkan karya dengan bekal keilmuan belajar di Al Azhar Mesir.
Satu nasehat yang dia sebut dalam bab “Al Wathaniyah” perlu menjadikan renungan kita bersama di saat kondisi bangsa Indonesia sedang mengalami krisis kebangsaan akibat ulah kelompok sparatis-radikalis. Ada harapan besar dari santri untuk kembali merenungi nasehat dari Syaikh Musthofa yang sudah sekian lamanya tidak kita buka kembali.
Menjadi heran memang jika ada orang yang hidup dalam sebuah negara tapi tidak mencintai negaranya dengan alasan yang sangat tidak rasional. Negara dibangun dengan semangat perjuangan dan pengorbanan oleh para pejuang pendahulu. Sedangkan generasi penerus tinggal menikmati kemerdekaan dengan nguri-nguri budaya setempat.
Negeri berdiri tegak ditebus dengan darah dan harta. Maka tugas menjaga kemerdekaan dari segala serangan imperialisme itu menjadi sebuah keharusan. Bahkan seruan untuk mewujudkan rasa kebangsaan itu tidak boleh berjalan sebagai seruan, tapi harus menjadi aksi kebangsaan. Cara mencintai bangsanya adalah dengan mewujudkan kesejahteraan, kemuliaan, kerendahan jiwa, kemerdekaan sejati, kejuangan, konsistensi menjaga kedamaian dan lainnya.
Maka barang siapa yang hendak mencerai beraikan bangsa dan jauh dari perilaku itu, berarti tidak merasa memiliki bangsanya dan dialah yang merusak bangsa itu. Biasanya para perusak bangsa ini akan membela diri dengan lantang menyerukan bahwa justeru dialah yang cinta bangsa sejati. Padahal cinta bangsa yang sejati adalah cinta memperbaiki negara dan berusaha melayani masyarakat tanpa pamrih. Dan orang yang paling besar rasa kebangsaannya adalah orang yang bersedia mati untuk mensejahterakan negaranya dan bersedia sakit untuk menyehatkan masyarakat.
Itulah penegasan-penegasan Syaikh Musthofa yang sepintas nampak mudah dijalani dan tidak mudah direalisasikan. Artinya bahwa mempertahankan kebangsaan yang hanya menikmati itu tidak perlu aneh-aneh. Tapi yang terjadi malah generasi sekarang ingin menjadi pejuang baru dan keluar dari nilai perjuangan para pendahulunya.
Yang perlu dipahami bahwa negara memiliki hak atas anak-anaknya. Maka ketika ada anak yang tidak patuh pada negara, tidak layak disebut sebagai “anak sejati” akibat tidak mampu menjalani kewajibannya. Anak itu juga menjadi anak yang tidak berbakti dan akan menanggung beban berat dalam mencari bantuan, menolak gangguan dan mencegah tipuan dari pihak yang benci negara.
Hadirnya cinta kebangsaan ini tidak akan lepas dari upaya bersosialisasi dengan masyarakat. Dan tentunya yang dapat menggugah semangat kebangsaan hadir dengan mudah dari kalangan terpelajar, orang yang berakhlak mulia dan orang yang tertanam kata bijak: “cinta tanah air adalah sebagian dari iman”.
Bagi santri, kalimat hubbul wathan minal iman itu sudah sejak kecil dipelajari dan terus diingat hingga dewasa. Maka sudah dapat dipastikan bahwa yang tidak cinta kebangsaan adalah mereka yang bukan santri dan tidak berakhlak mulia.(Rikza/Danis