Bergandeng Tangan Tancapkan Islam Ramah Aswaja – Terasa sangat susah memang jika paham ideologi itu harus selalu terbuka dalam memahami perbedaan. Sebab selalu saja dalam materi pengajaran ideologi dibarengi dengan “pembenaran” ideologinya dan “penyalahan” ideologi lain yang tidak sepaham.
Hubungan ideologi agama dengan masyarakat tidak bisa dipisahkan. Ideologi agama ibarat sandang pangan yang selalu menjadi kebutuhan pokok masyarakat dalam hidup beragama. Sedangkan masyarakat sendiri ibarat konsumen yang menjadi pelanggan tetapnya.
Sangat janggal memang jika ada ragam ideologi agama yang berkembang, sementara mendapatkan reaksi keras dari kelompok mayoritas yang tidak sepaham. Oleh sebab itu bagaimana agar dalam berideologi itu mampu memberikan ruang pemahaman atas dasar perbedaan.
Terasa sangat susah memang jika paham ideologi itu harus selalu terbuka dalam memahami perbedaan. Sebab selalu saja dalam materi pengajaran ideologi dibarengi dengan “pembenaran” ideologinya dan “penyalahan” ideologi lain yang tidak sepaham.
Pada titik “penyalahan” itulah otomatis timbul rasa perlawanan ideologi yang segaris lurus dengan menanamkan kebencian abadi. Dari kebencian yang berkelanjutan ini berpotensi melahirkan konflik ideologi agama.
Namun tidak demikian dalam pemikiran ahlussunnah wal jama’ah (selanjutnya disebut aswaja). Sebab dalam ideologi Islam ala aswaja ini sedari awal dilatih menjadi generasi yang berideologi tengan (tawasuth), toleran (tawazun) dan lentur-tegas dalam beagama (tasamuh).
Ada dua ragam proses penanaman ideologi aswaja yang selalu diajarkan oleh kalangan ulama Nahdlatul Ulama di Indonesia. Dimana aswaja itu menjadi benteng kokoh generasi NU yang tidak akan bisa ditembus sebab sudah memenuhi SNN (standart nasional NU).
Pertama, sejak usia kanak-kanak sudah menjadi kebiasaan bahwa belajar agama dengan syi’iran sambil bernyanyi dan dihafalkan. Semua proses penanaman itu sangat bermanfaat dan sedari kecil tidak dilatih membenci orang.
Sehingga agama yang tertanamkan adalah Islam dengan pola aswaja yang damai. Baru menginjak remaja kira-kita MTs dan MA diajak berfikir tentang perbedaan madzhab, pendapat ulama dengan pola ijma’ dan khilafiyah. Termasuk diajak bicara Islam Indonesia yang berwarna-warni.
Pendadaran yang bersifat ideologis itu tetap berjalan secara damai dengan basis peyakinan bahwa aswaja itu yang paling benar, dengan catatan tetap menghormati perbedaan. Ini dilakukan secara internal dengan basis ideologisasi dan doktrinasi dengan akidah aswaja hingga matang.
Kedua, aswaja ditanamkan secara kontekstual berbasis keindonesiaan. Artinya bahwa membaca al-Qur’an dan hadits tidak hanya diterjemahkan, tetapi didasari dengan ragam keilmuan yang otoritatis. Santri tidak berani mengupas al-Qur’an kalau belum berbekal bahasa Arab, nahwu, sharaf, balaghah, ulumul Qur’an dan ilmu tafsir.
Kenapa harus demikian? Sebab paham aswaja tanpa kedalaman ilmu akan melahirkan kesesatan. Apalagi ilmu agama dangkal tapi merasakan paling beragama, itu yang tidak diharapkan oleh ulama aswaja. Disinilah aswaja mengenal madzhab, taqlid dan sam’an wa tha’atan pada mujtahid/ulama.
Proses beraswaja secara eksternal dengan basis kontekstual inilah yang turut serta mendorong lahirnya Islam damai. Bahwa pengikut aswaja sadar bahwa hanya golongan aswaja yang masuk surga. Tapi bukan berarti berharap muslim lainnya masuk neraka. Tugas pengikut aswaja adalah mengajak menyadarkan kebenaran beragama, bukan menjerumuskan kesalahan beragama.
Salah satu kesalahan beragama yang dibungkus kebenaran beragama adalah mengatakan kafir dan musyrik pada pengikut Islam. Dan disusul dengan penyalahgunaan ayat al-Qur’an untuk memerangi sesama muslim dan bertindak kekerasan. Semoga ada jalan yang lebih damai dalam menjalankan prinsip-prinsip beragama.(Rikza/Danis)