Surabaya — Sejumlah alim ulama se-Surabaya mengadakan halaqoh membangun gerakan pesantren anti korupsi, Ahad (30/8).Kegiatan dipungkasi dengan deklarasi sebagai komitmen mereka mengawal perbaikan di negeri ini.
Dalam pandangan Wuryono Prakoso, Indonesia memiliki kekayaan alam dan sumber daya manusia yang sangat luar biasa. Bahkan dalam pandangan devisi pendidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini, banyak hal yang membuat Indonesia sebenarnya bisa lebih unggul dari negara manapun di dunia. “Tapi mengapa kita tertinggal? Tidak lain karena korupsi telah menggerogoti negeri ini,” katanya.
Namun demikian, ada potensi besar yang dapat dioptimalkan untuk meminimalisir atau bahkan meniadakan sama sekali korupsi di negeri ini yakni dengan tersebarnya ribuan pesantren. “Ada sekitar 27 ribu pesantren di Indonesia,” katanya. Kalau setiap pesantren memiliki 300 santri saja, maka akan tersedia 8 juta lebih elemen yang bisa digerakkan untuk tujuan pemberantasan korupsi tersebut, lanjutnya.
Pandangan lain disampaikan Laode M Syarif dari Partnership. “Tahun 1961, Mohammad Hatta telah mengingatkan korupsi jangan sampai dibiarkan menjadi budaya di Indonesia,” katanya. Karena itu sejumlah ikhtiar harus dilakukan agar kejahatan ini tidak merusak pembangunan dan capaian yang harus diraih bangsa.
“Kita masih memiliki harapan karena dalam pandangan masyarakat, ada beberapa elemen yang dipercaya masih bersih dari tidakan korupsi,” kata salah seorang kandidat komisioner KPK ini. Secara rinci, ia menyebutkan masjid, gereja, pura, kantor pos, media dan lembaga swadaya masyarakat sebagai pihak yang bersih.
Kondisi ini sangat berbalik dengan keberadaan kepolisian, kejaksaan, pengadilan, kantor imigrasi, kantor pajak, dan partai politik yang sudah dianggap sebagai sarang tindakan korupsi.
Baginya, keberadaan pesantren masih dipercaya masyarakat untuk bisa melakukan perbaikan di negeri ini dari tindakan korupsi. “Karena itu, pesantren harus berani mempertanyakan sejumlah bantuan yang akan diterima dari berbagai kalangan,” terangnya.
Narasumber lain yakni Kiai Ma’ruf Khozin mengemukakan hasil keputusan pertemuan sejumlah kiai dan ulama di Jogjakarta serta Muktamar ke-33 NU yang memberikan perhatian kepada tindakan korupsi. “Bahkan NU telah menyepakati, dalam kondisi negeri yang sedang genting, maka para koruptor dan pelaku pencucian uang layak mendapat hukuman mati,” kata aktifis bahtsul masail ini.
Teguh Rahmanto juga menyampaikan sejumlah fakta bagaimana beberapa lembaga pendidikan termasuk pesantren harus berhadapan dengan praktik koruptif. Misalnya dengan pelaporan hasil bantuan yang sulit, juga ancaman tidak akan mendapat bantuan kembali kalau tidak menyetor uang pelican dan sebagainya.
Di akhir acara, dilakukan penandatanganan kesepakatan bersama gerakan pesantren anti korupsi. Tampak bergabung Ahmad Suaedy dari Gusdurian, sejumlah pengasuh pesantren serta alim ulama dari Sidoarjo dan Surabaya.