Kajian rutin Islam Ahlussunnah wal Jammah (Aswaja) yang diselenggrakan Aswaja NU Center Jawa Timur minggu ini (28/12) mengupas pemikiran Al-Imam al-Junaidi al-Baghdadi. Tampil sebagai narasumber adalah Ustadz Ahmad Muntaha AM.
Dalam pandangannya, ada banyak sisi positif yang bisa dipetik dari pemikiran Al-Imam al-Junaidi al-Baghdadi. “Setidaknya beliau telah memberikan banyak pemikiran dan hingga kini menjadi pegangan bagi mayoritas organisasi keagamaan dunia termasuk Nahdlatul Ulama,” katanya.
Alumnus Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur ini mencatat bahwa seluruh ajaran thariqat harus sesuai dengan pesan yang ada di dalam al-Qur’an dan hadits. “Demikian juga aqidah yang bersih adalah tidak mengajarkan penyimpangan terhadap dua sumber rujukan umat Islam tersebut,” ungkapnya.
Sehingga dengan demikian kepada semua kalangan yang hendak memilih thariqat untuk memperhatikan secara detail dan benar apakah mengajarkan dan menuntun jamaahnya untuk terus lurus menjaga aqidah.
“Yang pasti Al-Imam al-Junaidi al-Baghdadi mengajarkan kepada kita untuk memilih thariqat yang moderat, dalam artian tidak ekstrim,” ungkapnya. “Karena itu dalam perjalanannya, beliau tidak sependapat dengan pandangan al-Hallaj yang menyampaikan pandangan ‘ana al-haq,” lanjutnya.
Sedangkan nilai lebih yang diajarkan Al-Imam al-Junaidi al-Baghdadi adalah menyeimbangkan antara ibadah mahdlah dengan ibadah sosial.
Karena itu kalau kemudian Nahdlatul Ulama (NU) menjadikan pemikiran beliau sebagai rujukan di bidang tasawuf disamping pandangan Imam al-Ghazali, maka hal itu menjadi pilihan yang tepat. “Karenanya pada Munas Alim Ulama di Magelang tahun 1957, NU telah dengan tegas menggunakan pandangan Al-Imam al-Junaidi al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali sebagai rujukan dalam tasawuf dan aqidah,” terangnya.
Dan penegasan ini kian dikukuhkan pada Muktamar NU tahun 1979 dengan menyatakan bahwa standar dari thariqah mu’tabarah an-Nahdliyah adalah yang mereka yang merujuk kepada dua tokoh ini.
Bagaimana dengan pengikut thariqat di jaman mutaakhir? Ustadz Muntaha menyatakan bahwa standarnya adalah mereka yang khusyuk ibadah di malam hari akan tetapi giat melakukan pergerakan sosial saat siang hari.
“Karena itu pada jaman pra kemerdekaan, banyak tokoh sufi dan thariqat yang justru menjadi pioner bagi perlawanan terhadap penjajah,” tandasnya.
Diskusi yang dihadiri peserta dari sejumlah kampus di Surabaya seperti UIN Sunan Ampel, Universitas Airlangga, serta Universitas Negeri Surabaya ini merupakan kegiatan rutin untuk memperdalaman materi keaswajaan. Para narasumber adalah sejumlah ulama, kiai dan dosen serta santri dengan latarbelakang dan topik yang beragam.(s@if)