Oleh : Ust. ma’ruf Khozin
Tayamum merupakan tindakan bersuci dari hadas kecil atau hadas besar dengan pasir dan debu. Cara ini digunakan sebagai pengganti wudu atau mandi wajib. Untuk melakukannya, seorang muslim perlu mengetahui tata cara tayamum yang benar dan sesuai syariat.
1. Tidak ada air atau karena sakit
Kalau alasan tidak ada air sudah jelas tidak bisa berwudhu’. Namun boleh jadi masih ada air tetapi tidak bisa menggunakan air karena sakit dan atas petunjuk dokter tidak boleh menggunakan air. Dalam hal ini ternyata ilmu kesehatan menjadi keringanan bagi kita untuk turun setahap di bawahnya dalam melakukan ibadah, sebagaimana firman Allah:
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ [المائدة/6]
(Al-Maidah 6). “… dan jika kamu SAKIT atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka BERTAYAMUMLAH dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…”
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ [المائدة/6]
(Al-Maidah 6). “Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
2. Menghormati khilafiyah
Setelah Tayamum disyariatkan, ada kejadian 2 Sahabat yang berbeda dalam menyikapi kejadian, berikut riwayatnya:
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: – خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ, فَحَضَرَتْ اَلصَّلَاةَ -وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ- فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا, فَصَلَّيَا, ثُمَّ وَجَدَا اَلْمَاءَ فِي اَلْوَقْتِ.
Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu ‘anhu berkata: “Ada dua orang laki-laki keluar bepergian, lalu datanglah waktu shalat sedangkan mereka tidak mempunyai air, maka mereka bertayamum dengan tanah suci dan menunaikan shalat. Kemudian mereka menjumpai air pada waktu itu juga.”
فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا اَلصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ, وَلَمْ يُعِدِ اَلْآخَرُ, ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ, فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ: “أَصَبْتَ اَلسُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ” وَقَالَ لِلْآخَرِ: “لَكَ اَلْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ” – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, والنَّسَائِيّ ُ
Lalu salah seorang dari keduanya mengulangi shalat dan wudlu sedang yang lainnya tidak. Kemudian mereka menghadap Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan menceritakan hal itu kepadanya. Maka beliau bersabda kepada ORANG YANG TIDAK MENGULANG shalatnya: “Engkau telah melakukan sesuai sunnah dan shalatmu sudah sah bagimu.” Dan beliau bersabda kepada YANG LAINNYA: “Engkau mendapatkan pahala dua kali.” Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i.
Ternyata sikap Nabi kita kepada 2 Sahabat yang berbeda dalam mengamalkan Fikih adalah dengan menolerir, tidak menghujat, tidak mengklaim bidah, tidak marah “Mengapa kau melakukan sesuatu yang tidak aku perintahkan?!”, atau diksi tidak baik lainnya. Sebab Nabi kita adalah pembawa Rahmat.