Oleh: KH. Munawwir Abdul Fatah
Sudah sering menjadi persoalan “Shalat sunnah sesudah shalat witir” ini diangkat sebagai bahan perbincangan di tengah kalangan masyarakat. Sebagian ada yang bersikeras bahwa shalat sunnah sesudah shalat witir tidak diperkenankan, tentu saja mereka mengedepankan alasan bahwa shalat witir adalah shalat sunnah yang paling akhir. Akan tetapi orang-orang NU memilih pendapat bahwa shalat sunnah yang dikerjakan sesudah shalat witir tetap diperbolehkan. Jadi meski sehabis shalat isya’ seseorang sudah shalat witir, begitu tengah malam bangun dan mengerjakan shalat Tahajjud, ia boleh menambahnya dengan shalat witir. Yang penting, shalat witir berjumlah ganjil dan tidak melebihi 11 rakaat dalam semalam.
Sebagai ilustrasi, orang-orang kaum muslimin Makkah kelihatannya setuju dengan tidak ada shalat sunnah sesudah witir. Hal ini dapat dilihat pada saat Ramadlan, pada tanggal 1 – 20 Ramadhan shalat witir disertakan dalam shalat Tarawih. Lantas mulai malam 21 Ramadhan, mereka tidak menjalankan shalat witir setelah menjalankan shalat Tarawih karena pada jam-jam tengah malam di masjid al-Haram diselenggarakan shalat Lail (shalat malam) yang memakan waktu hampir sama dengan shalat Tarawih.
Hanya saja, sekiranya shalat witir sudah dikerjakan setelah shalat Isya’ atau Tarawih, tentu saja tanggal 1 – 20 Ramadhan tidak menjalankan shalat Tahajud. Padahal shalat Tahajud pahalanya jauh lebih agung dibandingkan shalat sunnah apapun.
Dengan demikian, ulama NU kelihatan lebih luwes dalam memahami hadits-hadits nabi yang nampak kontradiktif. Ulama NU mengedapankan beberapa dalil:
Pertama,
عِنْدَ مُسْلِمٍ مِنْ طَرِيقِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْوِتْرِ وَهُوَ جَالِسٌ وَقَدْ ذَهَبَ إِلَيْهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ وَجَعَلُوا الْأَمْرَ فِي قَوْلِهِ: اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ مِنَ اللَّيْلِ وِتْرًا مُخْتَصًّا بِمَنْ أَوْتَرَ آخِرَ اللَّيْلِ وَأَجَابَ مَنْ لَمْ يَقُلْ بِذَلِكَ بِأَنَّ الرَّكْعَتَيْنِ الْمَذْكُورَتَيْنِ هُمَا رَكْعَتَا الْفَجْرِ وَحَمَلَهُ النَّوَوِيُّ عَلَى أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَهُ لِبَيَانِ جَوَازِ التَّنَفُّلِ بَعْدَ الْوِتْرِ وَجَوَازِ التَّنَفُّلِ جَالِسًا
Hadits Imam Malik dari Abi Salamah, dari Aisyah: Rasulullah pernah shalat 2 rakaat sesudah shalat witir, dia mengerjakannya sambil duduk. Sebagian pakar ada yang berpendapat, dan mereka menjadikan persoalan ini dalam kaitannya hadits: Tutuplah akhir shalat sunnahmu di malam hari dengan shalat witir, terutama bagi anda yang suka witir di akhir malam. Imam an-Nawawi memberi komentar bahwa nabi telah mengerjakannya, dan itu tentu saja menunjukkan diperbolehkannya shalat sunnah sesudah witir sekaligus memperkenankan menjalankan shalat sunnah sambil duduk. (Lihat Fath. Al-Bari Syarh al-Bukhari, Juz III, hal. 33)
Kedua,
Dalam kitab Nail al-Authar, Juz III, hal. 54 diterangkan:
“Mengenai hadits riwayat Abu Bakar dan Umar hadir dari ragam jalur, sampai keterangan: Bila tambahan ini dipandang shahih, yakni tentang apa yang dipaparkan Khaththaby, maka patut juga dijadikan alasan terhadap pendapat diperbolehkannya shalat sunnah sesudah witir.”
Ketiga,
Dalam kitab Nihayat al-Zain, hal. 102 diterangkan:
“Disunnahkan bagi seorang yang mengerjakan shalat malam/Tahajjud, hendaknya shalat witir dijalankan yang paling akhir. Hal ini bila memang yang bersangkuta yakin bisa bangun tengah malam. Dan jika tidak yakin, sebaiknya menyegerakannya, artinya shalat witir dijalankan sesudah shalat fardlu (Isya’). Apabila orang itu telah mengerjakan shalat witir di awal malam (setelah isya’), lalu ia bangun di akhir malam, baginya tidak perlu menjalankan shalat witir karena ada hadits: Tidak ada dua witir dalam satu malam.”
Originally posted on 28 June 2015 @ 15:02
1 comment
Alhamdulillah nambah ilmu