Penulis: Tim Admin
Penjelasan mengenai hukum seputar kurban di bawah ini adalah hasil dari Bahtsul Masail Syuriyah yang diselenggarakan oleh MWC NU Salaman, kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Forum ini diselenggarakan di Ponpes Az-Zarqony Kalongan Sidomulyo Salaman Magelang, 19 Zulqadah 1444 H./07 Juni 2023 M.
Ada 10 permasalahan yang berhasil diputuskan hukumnya di dalam forum ini:
- Standar Poel (Tanggal Gigi Depan) Hewan Kurban
- Penggunaan Halaman Masjid untuk Penyembelihan dan Pengelolaan Hewan Kurban
- Pemberian Daging Kurban untuk Tokoh Agama
- Ketentuan Kurban Sunah dan Wajib, Pembagian Daging Kurban untuk Panitia, Kaum dan Hukum Menjual Kulitnya
- Batasan Mampu dalam Berkurban
- Kurban untuk Orang yang Sudah Meninggal
- Status Kurban Orang Awam
- Menjual Kepala dan Kulit Hewan Kurban
- Pelaksanaan Kurban di Luar Daerah
- Iuran Kurban di Sekolah
Pertanyaan:
Bagaimana hukum berkurban dengan hewan sudah memenuhi syarat sah dari sisi umur, tapi belum tanggal gigi depannya (Jawa: poel)? Misalnya, sapi yang sudah mencapai umur dua tahun atau lebih, tapi belum tanggal gigi depannya.
Jawaban:
Perlu diketahui, standar poel yang dikenal di masyarakat secara fikih hanya digunakan untuk kambing dha’ni (domba) dan tidak menjadi syarat sah untuk hewan kurban lainnya, termasuk kambing ma’zi (Jawa).
Jika orang berkurban menggunakan kambing jenis domba, maka boleh memilih menggunakan standar umur; atau menggunakan standar poel. Sedangkan untuk selain domba, maka standarnya hanya memakai umur.
Adapun syarat sah hewan kurban menurut mazhab Syafi’i adalah sebagaimana dalam tabel berikut.
Hewan Kurban | Syarat Sah |
Zha’ni (kambing jenis domba, berbulu tebal) | Umur 1 tahun lebih; atau 6 bulan lebih dan gigi depannya sudah tanggal dengan sendirinya (poel: Jawa) |
Ma’zi (kambing jenis Jawa, berbulu tipis) | Umur 2 tahun lebih |
Sapi (termasuk kerbau piaraan) | Umur 2 tahun lebih |
Onta | Umur 5 tahun lebih |
Perbedaan yang mencolok antara kambing jenis zha’ni dan ma’zi adalah zha’ni berbulu lebat dan bergelombang, berekor lebih panjang, dan daging lebih enak. Sedangkan jenis ma’zi sebaliknya. Perbedaan yang lebih detail bisa dibaca di Perbedaan Domba dan Kambing dalam Kurban
Penggunaan Halaman Masjid untuk Penyembelihan dan Pengelolaan Hewan Kurban
Fungsi masjid di suatu daerah tidak hanya sebagai tempat shalat. Lebih dari itu, masjid juga menjadi pusat kegiatan keagamaan masyarakat. Salah satunya adalah pelaksanaan kurban. Panitia kurban biasanya melaksanakan penyembelihan dan pengelolaan hewan kurban di halaman masjid.
Pertanyaan:
Bolehkah halaman masjid dijadikan tempat untuk penyembelihan dan pengelolaan hewan kurban?
Jawaban:
Hukumnya diperbolehkan. Selama hal tersebut sudah sesuai dengan pemanfaatan halaman dan fasilitas masjid yang telah dimaklumi menurut keumuman masyarakat tanpa ada yang mengingkarinya. Namun, ada tiga syarat yang harus dipenuhi:
- Tidak menghalangi (mencegah) pelaksanaan ibadah shalat di dalam masjid.
- Tidak mengganggu orang yang sedang shalat di dalam masjid.
- Tidak merugikan masjid.
Jika tidak memenuhi tiga syarat di atas, maka tidak diperbolehkan. Panitia wajib mencari tempat lain.
Dalam proses penyembelihan dan pengelolaan hewan kurban di halaman masjid, secara teknis panitia hendaknya memperhatikan hal-hal berikut:
- Memilih tempat penyembelihan yang mudah dibersihkan.
- Memberi alas plastik atau sejenisnya.
- Khusus bagian jeroan hewan kurban agar dibersihkan di tempat lain.
Pemberian Daging Kurban untuk Tokoh Agama
Pertanyaan:
Apakah dibenarkan pembagian daging kurban dengan ketentuan setiap penyembelihan satu sampai empat ekor hewan kurban, maka sampil (bagian kaki sampai paha) khusus untuk pak kiai, dan kepala khusus pak kaum (modin)?
Jawaban:
Dalam hal ini dibedakan antara kurban sunah dan wajib.
- Dalam kurban sunah, pada dasarnya pemberian daging kurban menjadi hak mutlak bagi mudhahi (orang yang berkurban). Ia berhak memberikan daging kurbannya kepada fakir miskin yang dikehendaki. Adapun pemberian sampil kambing sebagai bentuk ikram (memuliakan) pak kiai, pak kaum (modin) atau tokoh agama seperti dalam pertanyaan di atas, hukumnya boleh bila ada izin dari mudhahi, baik izin secara lisan; atau secara ‘urf (adat kebiasaan atau tidak ada larangan secara nyata darinya).
- Dalam kurban wajib seperti kurban nazar, pak kiai atau pak kaum boleh diberi daging kurban jika memang mereka termasuk golongan fakir atau miskin menurut syara’. Karena daging kurban wajib hanya boleh diberikan kepada orang fakir miskin.
Dalam pembagian daging kurban, panitia harus memperhatikan dan membedakan antara kurban wajib dan kurban sunah. Alangkah baiknya panitia juga memperhatikan rasa keadilan di tengah masyarakat, agar mencegah timbulnya fitnah.
Ketentuan Kurban Sunah dan Wajib, Pembagian Daging Kurban untuk Panitia, Kaum (Modin) dan Hukum Menjual Kulitnya
Di sebuah dusun, ada rombongan kurban sapi yang terdiri dari tujuh orang. Mereka mengumpulkan dana patungan untuk membeli satu ekor sapi sebelum bulan Zulhijah. Setelah dana terkumpul, mereka langsung membeli sapi dan menitipkannya kepada peternak sampai hari Iduladha.
Pertanyaan:
- Hukum kurban sapi tersebut termasuk kurban sunah ataukah wajib?
- Bagaimana cara pembagian daging kurban masing-masing anggota? Karena, ada anggota yang berpendapat bahwa orang yang berkurban wajib mendapatkan bagian 1/3 dari hewan kurbannya. Apakah ada qaul/mazhab seperti itu?
- Bagaimana hukum memberikan sebagian daging kurban sebagai ucapan terima kasih kepada warga yang membantu mengelolanya? Kenyataannya panitia mendapat bagian lebih banyak. Contoh, setiap panitia mendapatkan dua bagian: satu bagian sebagai warga dan satu bagian sebagai panitia.
- Bolehkah memberikan sebagian daging kurban kepada pak kaum yang kebetulan beda dusun?
- Bagaimana hukum menjual kulit dan kepala hewan kurban, kemudian uangnya dimasukkan ke masjid atau kepentingan umum lainnya?
Jawaban:
- Membeli hewan untuk dijadikan kurban, tidak lantas membuat kurbannya menjadi wajib. Hukum kurban menjadi kurban wajib apabila terdapat pernyataan yang mengandung unsur memunculkan kesanggupan diri (insya’ iltizam)untuk berkurban, baik dengan sighat nazar atau bil ja’li seperti ucapan, “Hewan ini adalah hewan kurban”, atau “Hewan ini aku jadikan sebagai hewan kurban”. Catatan: Perlu diketahui, pahala kurban wajib lebih besar dari pada kurban sunah. Namun dalam kurban wajib, mudhahi tidak boleh memakan sebagian daging kurbannya. Mudhahi wajib menyedekahkan semua daging kurbannya kepada fakir miskin.
- Dalam soal sub b di atas, daging kurban dapat dibagi menjadi tujuh bagian dan masing-masing dari anggota rombongan kurban berhak membagikan daging hewan kurbannya sendiri. Adapun anggapan bahwa orang yang berkurban harus mendapatkan 1/3 dari bagiannya, maka hal itu tidak benar. Tidak ada qaul ataupun mazhab yang mewajibkannya. Yang benar menurut mazhab Syafi’i adalah, orang yang berkurban sunah, boleh memakan sebagian daging kurbannya, dan sebaiknya hanya beberapa suap saja untuk bertabaruk. Catatan: Dalam kasus ini sebaiknya panitia memberikan penjelasan kepada mudhahi tentang perbedaan kurban wajib dan sunah beserta konsekuensi hukum keduanya.
- Tidak boleh jika pemberian tambahan bagian diberikan atas nama upah dalam mengelola kurban. Namun jika pemberian tersebut karena kefakirannya atau diberikan sebagai hadiah, maka hukumnya diperinci: (1) apabila kurban sunah hukumnya boleh; dan apabila (2) kurban wajib, maka panitia yang termasuk kategori kaya tidak boleh mendapat pemberian tambahan daging kurban. Catatan: Dalam proses taukil (mewakilkan penyembelihan kurban), sebaiknya panitia memberikan penjelasan kepada mudhahi bahwa biaya atau upah penyembelihan dan pengelolaan kurban tidak boleh diambilkan dari daging kurban, serta meminta izin kepadanya agar menyedekahkan sebagian daging kurbannya kepada orang-orang yang telah ditentukan oleh panitia.
- Hukum membagikan daging kurban keluar daerah atau dusun (balad) diperselisihkan. Ada yang membolehkan dan ada yang mengharamkan sebagaimana zakat. Maksud daging kurban yang haram dibagikan keluar daerah menurut sebagian ulama haram tersebut hukumnya diperinci: (1) jika kurban sunah, maka maksudnya adalah sebagian daging mentah dan segar yang menjadi hak fakir miskin daerah tersebut; dan (2) jika kurban wajib, maka maksudnya adalah seluruh daging dan kulit hewan kurban. Adapun batasan mudhahi dianggap memindah daging kurban (naqlul udlhiyah) apabila ia memindahkan daging kurbannya ke tempat dimana seorang musafir sudah diperbolehkan shalat qashar di tempat tersebut, yaitu di luar batas desa (surul balad).
- Tidak boleh. Karena ada larangan bagi orang yang berkurban untuk menjual daging atau kulit hewan yang dikurbankan, baik kurban wajib ataupun sunnah. Solusinya, kulit atau kepala hewan kurban diberikan kepada seorang fakir miskin, sehingga menjadi hak miliknya, kemudian ia boleh menjualnya.
Batasan Mampu dalam Berkurban
Di dalam hadis Rasulullah saw. disebutkan
من وجد سعة فلم يضخى فلا يقربن مصلانا (رواه أحمد)
“Barangsiapa menemukan kelonggaran (harta pada hari Idul Adha dan hari tasyrik) dan tidak menyembelih korban, maka janganlah mendekat ke tempat shalatku.” (HR Ahmad).
Pertanyaan:
- Sebatas manakah orang dianggap mampu berkurban?
- Apakah peternak kambing dan orang yang punya tabungan yang cukup untuk berkurban sudah dianggap mampu?
Jawaban:
- Orang dianggap mampu sehingga disunahkan untuk berkurban adalah apabila ia memiliki kelebihan harta untuk kebutuhan diri sendiri dan orang yang wajib dinafkahinya pada hari Idul Adha dan hari Tasyrik yang cukup untuk membeli hewan kurban.
- Sudah dianggap mampu, sesuai jawaban soal sub a, yaitu telah memiliki kelebihan harta untuk kebutuhan diri sendiri dan orang yang ditanggungnya pada hari Iduladha dan hari Tasyrik yang cukup untuk membeli hewan kurban.
Kurban untuk Orang yang Sudah Meninggal
Pak Rohmat adalah orang kaya yang setiap tahun melaksanakan kurban secara berurutan untuk keluarganya (almarhum bapak, ibu, Pak Rohmat sendiri, istri, dan anak-anaknya).
Pertanyaan:
- Apa hukum berkurban untuk orang yang sudah meninggal?
- Apa hukum berkurban untuk orang lain walaupun masih satu keluarga?
Jawaban:
- Hukum kurban atas nama mayit terdapat dua pendapat: Pertama, pendapat mayoritas ulama yang menganggap tidak sah berkurban atas nama mayit, kecuali: (1) jika sebelum meninggal ia berwasiat agar kurban untuk dirinya, atau (2) jika hewan kurban merupakan hewan yang dinazari secara tertentu (ta’yin) oleh seseorang sebelum meninggal. Kedua, pendapat yang membolehkan berkurban atas nama mayit secara mutlak, baik berwasiat atau pun tidak berwasiat. Hal ini karena kurban termasuk bagian dari sedekah dan sedekah hukumnya sah dilakukan atas nama mayit tanpa izin darinya, sebagaimana pahalanya pun bisa sampai kepada mayit. Namun dalam hal ini daging kurban wajib disedekahkan semua kepada fakir miskin. Artinya orang yang berkurban beserta orang-orang yang wajib ditanggung nafkahnya dan orang kaya tidak boleh memakan daging kurban tersebut karena tidak adanya izin dari mayit.
- Berkurban atas nama orang lain yang bukan anggota keluarganya hukumnya tidak sah kecuali telah mendapatkan izin dari orang yang bersangkutan. Jika dilakukan tanpa izin, maka hewan kurban tersebut tidak sah atas nama dirinya dan juga tidak atas nama orang lain tersebut, tetapi menjadi hewan penyembelihan biasa dan pembagian dagingnya adalah sedekah biasa. Sedangkan berkurban atas nama anggota keluarga yang wajib dinafkahi maka hukumnya sah, meskipun tidak meminta izin terlebih dahulu kepada yang bersangkutan.
Status Kurban Orang Awam
Pada saat membawa kambing, Mbah Zaini (orang awam) ditanya oleh temannya, “Untuk apa bawa kambing?” Lalu dijawab, “Mau buat kurban.” Begitu juga ketika sowan kepada kiai. Mbah Zaini berkata, “Ini kambing kurban saya, saya serahkan kepada panjenengan, nyumanggaaken.”
Pertanyaan:
- Apa status kurban orang awam yang mengatakan, “Ini kurban saya”?
- Apa status kiai yang menerima hewan kurban dalam deskripsi di atas? Juga para pembantunya atau panitia.
- Siapakah yang harus bertanggung jawab atas biaya operasional kurban: upah tukang jagal, plastik, rokok, transport pembagian daging kurban, dan lain sebagainya?
- Bolehkah pak kiai atau panitia mengambil bagian daging yang lebih banyak dibandingkan daging yang dibagi-bagikan secara umum? Contoh: kepala, kulit, kaki, diambil oleh panitia.
Jawaban:
- Status kurbannya adalah kurban sunah, karena keumuman (‘urf) yang berlaku di masyarakat ialah kurban sunnah, dan karena orang awam tidak tahu-menahu ucapan tersebut berkonsekuensi mengubah status kurban menjadi kurban wajib. Kecuali jika memang ia meniatkan kurbannya sebagai kurban wajib.
- Statusnya menjadi wakil dalam akad wakalah muthlaqah dari mudhahhi. Sehingga kiai dan panitia berhak melaksanakan penyembelihan dan pembagian daging kurban sesuai kebiasaan umum (‘urf) yang diizinkan oleh orang yang berkurban atau muwakkilnya.
- Semua biaya penyembelihan menjadi tanggung jawab orang yang berkurban (mudhahi). Artinya orang yang berkurban tidak boleh memberikan daging kurban sebagai upah penyembelihan hewan kurban dan pengelolaannya.
- Hukumnya boleh, asalkan kiai atau panitia tersebut mengambil bagian daging kurban yang telah diizinkan oleh mudhahi atau secara kebiasaan umum (‘urf) dibolehkan oleh mudhahi.
Menjual Kepala dan Kulit Hewan Kurban
Karena alasan tidak ada yang mau menerima, maka panitia menjual kepala, kulit dan kaki hewan kurban lalu dibelikan daging dan dibagikan bersama daging kurban yang ada.
Pertanyaan:
- Sudah benarkah langkah panitia kurban tersebut?
- Kalau tidak benar, apa konsekuensinya?
Jawaban:
- Tidak dibenarkan. Karena ada larangan bagi orang yang berkurban untuk menjual daging atau kulit hewan yang dikurbankan, baik kurban wajib ataupun sunah.
- Menjual bagian dari hewan kurban bisa menjadikan kurbannya tidak sah. Artinya tidak akan mendapatkan pahala yang dijanjikan dalam ibadah kurban. Jika daging kurban terlanjur dijual, maka panitia sebagai wakil dari mudhahi harus bertanggung jawab mengembalikan uang yang dibayarkan oleh pembeli, dan memberikan daging kurbannya kepada yang berhak, karena jual beli bagian dari hewan kurban hukumnya haram dan tidak sah.
Pelaksanaan Kurban di Luar Daerah
Bos Edy tinggal di Jakarta dan setiap Idul Adha melaksanakan kurban di Salaman, tanah kelahiran.
Pertanyaan:
Bolehkah memindah pelaksanaan kurban ke luar daerah sebagaimana yang dilakukan oleh bos Edy?
Jawaban:
Jika yang dimaksud dalam soal di atas bos Edy mengirimkan uang untuk dibelikan kambing dan dibuat kurban di Salaman, maka hukumnya diperbolehkan.
Iuran Kurban di Sekolah
Pertanyaan:
Bagaimanakah tanggapan LBM MWCNU Salaman terhadap iuran kurban di sekolah?
Jawaban:
Menurut LBM MWCNU Salaman, kegiatan tersebut termasuk kegiatan positif untuk membangun kesadaran berkurban sejak dini bagi peserta didik. Namun pelaksanaan kurban seperti itu tidak sah sebagai kurban secara syar’i, dan hanya menjadi sedekah biasa. Pihak sekolah bertanggungjawab menjelaskan ketentuan-ketentuan berkurban yang sah secara syar’i kepada para peserta didiknya.
Jawaban lengkap beserta ta’bir dan referensinya bisa diunduh di sini.
Penulis: Tim Admin
Sumber: https://aswajamuda.com/hukum-kurban-hasil-bahtsul-masail-10-permasalahan-kurban/