Pandangan Nahdlatul Ulama (NU) tentang penentuan awal bulan Hijriyah, khususnya terhadap awal bulan Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah, tercermin dalam Keputusan Muktamar NU XXVII di Situbondo tahun 1984, Munas Alim Ulama di Cilacap tahun 1987, Seminar Lajnah Falakiyah NU di Pelabuhan Ratu Sukabumi tahun 1992, Seminar Penyerasian Metode Hisab dan Rukyat di Jakarta tahun 1993, Rapat Pleno VI PBNU di Jakarta tahun 1993 yang akhirnya tertuang dalam Keputusan PBNU No. 311/A.II.04.d/1994 tertanggal 1 Sya’ban 1414 H atau bertepatan dengan 13 Januari 1994 M, dan Muktamar NU XXX di Lirboyo Kediri tahun 1999.[1] Namun jauh sebelum itu sebenarnya pada waktu Muktamar NU XX di Surabaya pada tanggal 10-15 Muharram 1374 H/8-13 September 1954 M sudah pernah dibahas. Hanya saja pembahasan saat itu berkisar seputar status hukum penentuan awal bulan dengan hisab.[2]
Dalam pandangan NU, penentuan awal bulan Hijriyah, khususnya pada tiga bulan ibadah di atas, didasarkan pada observasi rukyat. Hal ini bisa dilihat dari Keputusan Munas Alim Ulama NU tanggal 13-16 Rabiul Awal 1404 H atau bertepatan pada tanggal 18-21 Desember 1983 M di Situbondo yang telah mengambil Keputusan bahwa pada intinya NU menggunakan dasar ru’yat al-hilal atau istikmal dalam penetapan awal bulan. Keputusan ini kemudian dikukuhkan oleh Muktamar NU ke-27 tahun 1984.[3]
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah dasar-dasar penetapan awal bulan, khususnya bulan Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah yang berlaku di kalangan NU sebagaimana tercantum dalam Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tentang Pedoman Penyelenggaraan Ru’yat bil Fi’li Nomor : 311/A.II.04.d/I/1994 Pasal 1[4]
- Pada dasarnya Lajnah Falakiyah NU tetap berpegang pada putusan Muktamar NU ke-27 tahun 1405 H/Tahun 1984 di Situbondo dan Munas Alim Ulama NU di Cilacap tahun 1409 H/1987, bahwa penetapan Awal Ramadan, Awal Syawal dan Awal Dzulhijjah wajib didasarkan atas Rukyatul Hilal bil Fi’li atau Istikmal. Sedangkan kedudukan hisab hanyalah sebagai pembantu dalam melakukan Rukyat.
- Bahwa penetapan Awal Ramadan, Awal Syawal dan Awal Dzulhijjah yang berlaku umum bagi segenap lapisan kaum muslimin di Indonesia dilakukan oleh Pemerintah (Itsbatul Hakim). Oleh sebab itu agar diupayakan semaksimal mungkin adanya penyelenggaraan rukyat yang disaksikan oleh petugas pemerintah (Dep. Agama).
- Bila hal ini tidak dimungkinkan oleh karena satu dan lain hal, maka agar supaya Itsbatul Hakim dilakukan atas dasar Hasil Rukyat atau Istikmal, maka hasil Rukyat yang telah dilakukan di kalangan Nahdlatul Ulama supaya sesegera mungkin dilaporkan kepada Pemerintah c/q Departemen Agama RI untuk diitsbat. Pelaporannya bisa lewat PA (Pengadilan Agama) setempat atau langsung kepada departemen Agama Pusat (Badan Hisab dan Rukyat).
- Apabila Pemerintah c/q Departemen Agama menolak untuk melakukan itsbat atau istikmal, maka hasil rukyat yang telah dilakukan di kalangan Nahdlatul Ulama tersebut menjadi wewenang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama/Lajnah Falakiyah untuk menginformasikan/mengikhbarkan kepada segenap warganya di seluruh penjuru tanah air, melalui jaringan organisasi maupun saluran informasi yang ada.
- Dalam melaksanakan tugas penyebaran informasi hasil-hasil rukyat ke daerah-daerah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama/PWNU/PCNU/MWC-NU menekankan perlunya ditempuh cara-cara yang bijaksana, santun dan simpatik.
- Rukyat bil Fi’li dengan menggunakan alat (nazdarah) diperbolehkan baik dalam keadaan cuaca cerah maupun dalam keadaan ghaym, kecuali bila posisi hilal berada di bawah ufuq menurut kesepakatan (ittifaq) para ahli hisab.
Rukyat di kalangan NU diartikan dengan kegiatan melihat hilal bi al-fi’li, yaitu melihat hilal dengan mata, baik tanpa alat maupun dengan alat. Hal ini sebagaimana hadith-hadith perintah puasa dengan rukyat sebagaimana yang telah diterangkan pada bagian-bagian sebelumnya. Di samping itu, NU juga mengutip pendapat dari Imam Muhammad Bakhith al-Mut}i’i, seorang ulama bermazhab H}anafi yang mengatakan bahwa pengertian rukyat yang cepat dipahami adalah melihat bi al-fi’li artinya benar-benar dengan mata, hal ini karena rukyat mudah dilakukan sehingga bisa dilakukan oleh semua orang. Berbanding terbalik dengan hisab yang tidak dipahami oleh semua orang.[5]
Adapun rukyat dilakukan pada malam ke-30 (akhir tanggal 29), dengan didasarkan pada hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar,[6] dan dilakukan pada sore hari setelah terbenam Matahari, sebagaimana pendapat Imam al-Ramli dalam kitab Nihayat al-Muhtaj dan Imam Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfat al-Muhtaj.[7] Rukyat menggunakan alat diperbolehkan asalkan alat tersebut untuk memperjelas obyek yang dilihat (‘ain al-hilal) dan bukan pantulan.[8]
Rukyat bisa diterima bila dilaporkan dari perukyat yang adil, mengucapkan kalimat syahadat, dan dalam memberi syahadat itu harus didampingi oleh dua orang saksi yang adil pula. Ketentuan ini didasarkan pada kitab i’a>nat al-t}a>libi>n.[9]
Penggunaan hisab menurut NU hanyalah sebagai alat bantu bagi rukyat, agar rukyat yang dilakukan berkualitas dan bukan sebagai dasar penentuan awal bulan Hijriyah. Laporan hasil rukyat bisa ditolak jika menurut hisab saat itu hilal tidak mungkin dirukyat (ghair imkan al-ru’yah).[10]
Dalam kaitannya dengan garis batas pemberlakuan rukyat (matla’), prinsip pemikiran yang dipegangi NU adalah matla’ fi wilayat al-hukm. Prinsip ini secara tegas diputuskan NU dalam Keputusan Bahsul Masail Muktamar ke-30 di Lirboyo Kediri Jawa Timur tahun 1999, ketika menanggapi persoalan tentang Rukyat Internasional yang dipegangi oleh Hizbut Tahrir.[11] (AF)
Referensi:
[1] Ahmad Musonnif, “Epistemologi Hisab Rukyah”, Ahkam, No. 1, Vol. 14 (Juli, 2012), 6-7.
[2] Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2003), 94.
[3] Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PBNU, Ahkamul Fuqaha; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama, (Surabaya: Khalista, 2011), 416.
[4] Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Lajnah Falakiyah PBNU, 2006), 14-15.
[5] Ibid. 25.
[6] Redaksi lengkapnya adalah
وحَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Lihat Muslim bin al-Hajja>j Abu al-Hasan al-Qushairi al-Naisaburi, S}ahi>h Muslim, Juz 2, (Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>t al-‘Arabi, t.t), 759.
[7] Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyat…, 27.
[8] Ibid.
[9] Ibid. 28.
[10] Ahmad Musonnif, “Epistemologi Hisab Rukyah”, 8
[11] Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah di Indonesia, 98.
Originally posted on 15 July 2015 @ 10:42
1 comment
[…] Pandangan Nahdlatul Ulama (NU) tentang penentuan awal bulan Hijriyah, khususnya terhadap awal bulan Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah, tercermin dalam Keputusan Muktamar NU XXVII di Situbondo tahun 1984, Munas Alim Ulama di Cilacap tahun 1987, Seminar Lajnah Falakiyah NU di Pelabuhan Ratu Sukabumi tahun 1992, Seminar Penyerasian Metode Hisab dan Rukyat di Jakarta tahun 1993, Rapat Pleno VI PBNU di Jakarta tahun 1993 yang akhirnya tertuang dalam Keputusan PBNU No. 311/A.II.04.d/1994 tertanggal 1 Sya’ban 1414 H atau bertepatan dengan 13 Januari 1994 M, dan Muktamar NU XXX di Lirboyo Kediri tahun 1999.[1] Namun jauh sebelum itu sebenarnya pada waktu Muktamar NU XX di Surabaya pada tanggal 10-15 Muharram 1374 H/8-13 September 1954 M sudah pernah dibahas. Hanya saja pembahasan saat itu berkisar seputar status hukum penentuan awal bulan dengan hisab.[2] Dalam pandangan NU, penentuan awal bulan Hijriyah, khususnya pada tiga bulan ibadah di atas, didasarkan pada observasi rukyat. Hal ini bisa dilihat dari Keputusan Munas Alim Ulama NU tanggal 13-16 Rabiul Awal 1404 H atau bertepatan pada tanggal 18-21 Desember 1983 M di Situbondo yang telah mengambil Keputusan bahwa pada intinya NU menggunakan dasar ru’yat al-hilal atau istikmal dalam penetapan awal bulan. Keputusan ini kemudian dikukuhkan oleh Muktamar NU ke-27 tahun 1984.[3] Untuk lebih jelasnya, berikut adalah dasar-dasar penetapan awal bulan, khususnya bulan Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah yang berlaku di kalangan NU sebagaimana tercantum dalam Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tentang Pedoman Penyelenggaraan Ru’yat bil Fi’li Nomor : 311/A.II.04.d/I/1994 Pasal 1[4] Pada dasarnya Lajnah Falakiyah NU tetap berpegang pada putusan Muktamar NU ke-27 tahun 1405 H/Tahun 1984 di Situbondo dan Munas Alim Ulama NU di Cilacap tahun 1409 H/1987, bahwa penetapan Awal Ramadan, Awal Syawal dan Awal Dzulhijjah wajib didasarkan atas Rukyatul Hilal bil Fi’li atau Istikmal. Sedangkan kedudukan hisab hanyalah sebagai pembantu dalam melakukan Rukyat. Bahwa penetapan Awal Ramadan, Awal Syawal dan Awal Dzulhijjah yang berlaku umum bagi segenap lapisan kaum muslimin di Indonesia dilakukan oleh Pemerintah (Itsbatul Hakim). Oleh sebab itu agar diupayakan semaksimal mungkin adanya penyelenggaraan rukyat yang disaksikan oleh petugas pemerintah (Dep. Agama). Bila hal ini tidak dimungkinkan oleh karena satu dan lain hal, maka agar supaya Itsbatul Hakim dilakukan atas dasar Hasil Rukyat atau Istikmal, maka hasil Rukyat yang telah dilakukan di kalangan Nahdlatul Ulama supaya sesegera mungkin dilaporkan kepada Pemerintah c/q Departemen Agama RI untuk diitsbat. Pelaporannya bisa lewat PA (Pengadilan Agama) setempat atau langsung kepada departemen Agama Pusat (Badan Hisab dan Rukyat). Apabila Pemerintah c/q Departemen Agama menolak untuk melakukan itsbat atau istikmal, maka hasil rukyat yang telah dilakukan di kalangan Nahdlatul Ulama tersebut menjadi wewenang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama/Lajnah Falakiyah untuk menginformasikan/mengikhbarkan kepada segenap warganya di seluruh penjuru tanah air, melalui jaringan organisasi maupun saluran informasi yang ada. Dalam melaksanakan tugas penyebaran informasi hasil-hasil rukyat ke daerah-daerah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama/PWNU/PCNU/MWC-NU menekankan perlunya ditempuh cara-cara yang bijaksana, santun dan simpatik. Rukyat bil Fi’li dengan menggunakan alat (nazdarah) diperbolehkan baik dalam keadaan cuaca cerah maupun dalam keadaan ghaym, kecuali bila posisi hilal berada di bawah ufuq menurut kesepakatan (ittifaq) para ahli hisab. Rukyat di kalangan NU diartikan dengan kegiatan melihat hilal bi al-fi’li, yaitu melihat hilal dengan mata, baik tanpa alat maupun dengan alat. Hal ini sebagaimana hadith-hadith perintah puasa dengan rukyat sebagaimana yang telah diterangkan pada bagian-bagian sebelumnya. Di samping itu, NU juga mengutip pendapat dari Imam Muhammad Bakhith al-Mut}i’i, seorang ulama bermazhab H}anafi yang mengatakan bahwa pengertian rukyat yang cepat dipahami adalah melihat bi al-fi’li artinya benar-benar dengan mata, hal ini karena rukyat mudah dilakukan sehingga bisa dilakukan oleh semua orang. Berbanding terbalik dengan hisab yang tidak dipahami oleh semua orang.[5] Adapun rukyat dilakukan pada malam ke-30 (akhir tanggal 29), dengan didasarkan pada hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar,[6] dan dilakukan pada sore hari setelah terbenam Matahari, sebagaimana pendapat Imam al-Ramli dalam kitab Nihayat al-Muhtaj dan Imam Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfat al-Muhtaj.[7] Rukyat menggunakan alat diperbolehkan asalkan alat tersebut untuk memperjelas obyek yang dilihat (‘ain al-hilal) dan bukan pantulan.[8] Rukyat bisa diterima bila dilaporkan dari perukyat yang adil, mengucapkan kalimat syahadat, dan dalam memberi syahadat itu harus didampingi oleh dua orang saksi yang adil pula. Ketentuan ini didasarkan pada kitab i’a>nat al-t}a>libi>n.[9] Penggunaan hisab menurut NU hanyalah sebagai alat bantu bagi rukyat, agar rukyat yang dilakukan berkualitas dan bukan sebagai dasar penentuan awal bulan Hijriyah. Laporan hasil rukyat bisa ditolak jika menurut hisab saat itu hilal tidak mungkin dirukyat (ghair imkan al-ru’yah).[10] Dalam kaitannya dengan garis batas pemberlakuan rukyat (matla’), prinsip pemikiran yang dipegangi NU adalah matla’ fi wilayat al-hukm. Prinsip ini secara tegas diputuskan NU dalam Keputusan Bahsul Masail Muktamar ke-30 di Lirboyo Kediri Jawa Timur tahun 1999, ketika menanggapi persoalan tentang Rukyat Internasional yang dipegangi oleh Hizbut Tahrir.[11] (AF) (Sumber :http://aswajanucenterjatim.or.id/hujjah-aswaja/metode-penentuan-awal-bulan-menurut-nahdlatul-ulama/) […]