Kamis, 24 Maret 2016
Pemberdayaan Umat dalam Membangun Kehidupan Beragama Melalui Jaminan Halal
Oleh:Dr. KH. Maruf Amin
Isu halal pertama di Indonesia terjadi semenjak 30 tahun yang lalu yaitu ditemukannya stakeholder yang menggunakan lemak babi sebagai bahan komposisi makanan sehingga meresahkan masyarakat dan akibatnya produk tertentu diboikot. Hal ini juga menimbulkan keresahan pula pada pelaku bisnis yang turut terdampak secara tidak langsung dan dikhawatirkan akan berpengaruh pula pada kestabilan ekonomi dan bisnis. Oleh sebab itu dibentuklah sertifikasi halal oleh MUI tujuannya yaitu untuk melindungi umat (penduduk Indonesia) yang mayoritas beragama Islam, terutama karena Indonesia merupakan target utama pangsa pasar konsumsi global.
MUI dalam hal ini berperan sebagai pelopor standardisasi (tidak hanya makanan tapi juga produk lain) halal di Indonesia walaupun terdapat juga terdapat BPOM yang berkompeten untuk menentukan sehat tidaknya suatu makanan/minuman/obat. Dalam pelaksanaannya, sertifikasi halal MUI melibatkan dua komponen yaitu para ekspertis (umumnya ahli pangan terutama IPB) yang tergabung dalam lembaga audit LPOM MUI untuk mengaudit temuan di lapangan apakah produk yang bersangkutan sudah sesuai dengan standard halal yang telah dirumuskan) baik dari segi dzat dan proses pengolahannya dan lainnya. Kedua adalah Komisi Fatwa MUI yang berfungsi untuk memberikan keputusan dan penetapan apakah produk tersebut lolos uji kehalalan (mendapatkan sertifikat halal) atau tidak.
“Sistem yang digunakan MUI ini sudah diikuti (dijadikan acuan) oleh lembaga-lembaga sertifikat halal global hingga sejumlah lebih dari 50 badan mengajukan untuk mendapatkan pengakuan MUI dan akan diapproval manakala memenuhi dua persyaratan utama yaitu: Adanya lembaga audit yang berkompeten serta adanya lembaga fatwa yang diakui setempat,” tegas KH Maruf Amin. Sebagaimana pemaparan beliau, pemerintah China dan Korea dewasa ini telah mengupayakan sertifikasi halal terhadap seluruh produknya agar bisa masuk ke Indonesia dan diterima oleh pasar sehingga kedepannya, negara Indonesia diperkirakan akan kebanjiran produk halal dari luar negeri.”
Masyarakat juga diberdayakan untuk melindungi produk lokal agar UMKM dan pengusaha lokal tidak kalah bersaing dengan produk luar negeri, melalui pendampingan dan penggratisan sertifikasi halal untuk UMKM menengah kebawah serta dalam jangka waktu ke depan seluruh produk lokal diwajibkan sudah bersertifikasi halal (perlu dicatatat bahwa produk lokal yang sudah disertifikasi halal MUI hanya sekitar 15% dari total produk beredar berdasarkan survey lembaga tersebut). Sementara untuk produk jajaran rumahan buatan yang merakyat dan masih sulit tersentuh, akan segera dicarikan solusi bagaimana sistem sertifikasi yang lebih sederhana dan tidak menyulitkan bekerjasama dengan kementerian koperasi dan UMKM.
Secara umum, struktur MUI dibagi menjadi tiga yaitu: MUI kabupaten-kota yang diberi mandat dalam sertifikasi industri kecil lokal, MUI provinsi untuk industri menengah dan cukup besar yang memiliki cakupan proses produksi lebih besar, serta MUI pusat untuk industri nasional atau multinasional yang kompleks. Namun pelaksanaan dari sertifikasi ini tentu tidak boleh lepas dari adanya pengawasan dan penindakan (yang kewenangannya dipegang penuh oleh pemerintah). Pada kenyataannya sampai saat ini sistem pengawasan belum berjalan dengan ketat sehingga dalam beberapa kasus masih ditemukan pemalsuan logo halal MUI oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk kepentingan usahanya. Selain itu, dari segi penindakan bertujuan untuk memberikan efek jera terhadap oknum yang melakukan penyelewengan pasca penerbitan sertifikat, dalam bentuk pencabutan sertifikat yang sudah diberikan serta pengumuman di media massa seperti yang pernah terjadi di perusahaan vitsin “X”, sebagaimana yang telah dipaparkan Ketua Umum MUI pada hari Kamis (24/03/2016) di Auditorium Pasca Sarjana ITS. Agung/Danis
previous post