Dalam kitab Hilyah al-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Imam al-Hafidh Abu Na’im al-Ashfahani mencatat sebuah riwayat tentang Imam Ibrahim bin Adham saat diajak mencari lailatul qadar di Madinah. Berikut riwayatnya:
حدثنا عبد الله بن محمد ثنا عبد الله بن زكريا ثنا موسي بن عبد الله الطرسوسي قال: سمعت أبا يوسف الغسولي يعقوب بن المغيرة يقول: كنّا مع إبراهيم ابن أدهم في الحصاد في شهر رمضان فقيل له: يا أبا إسحاق لو دخلت بنا إلي المدينة فنصوم العشر الأواخر بالمدينة لعلنا ندرك ليلة القدر. فقال: أقيموا ههنا وأجيدوا العمل ولكم بكل ليلة ليلة القدر.
Abdullah bin Muhammad bercerita, Abdullah bin Zakariya bercerita, Musa bin Abdullah al-Thursusi bercerita, ia berkata: “Aku mendengar Abu Yusuf al-Ghasuli Ya’qub bin al-Mughirah berkata:
‘Kami bersama Ibrahim bin Adham saat panen di bulan Ramadhan.’ Dikatakan kepadanya: ‘Wahai Abu Ishaq, andaikan kau masuk bersama kami ke Madinah, kemudian (menghabiskan) sepuluh hari terakhir berpuasa di Madinah, boleh jadi kita akan mendapatkan lailatul qadar.’
Ibrahim bin Adham mengatakan: ‘Lakukanlah di sini (sekarang juga), dan kerjakan amal dengan baik. Bagi kalian, setiap malam adalah lailatul qadar.’” (Imam al-Hafidh Abu Na’im al-Ashfahani, Hilyah al-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988, juz 8, hlm. 378).
Lailatul qadar adalah malam yang kebaikannya melebihi seribu bulan (khairun min alfi syahrin). Kebaikannya tidak ada batasannya, lebih baik dari umur manusia, dan lebih baik dari usia zaman (khairun minad dahr). Begitulah yang dikemukakan Syekh Abdul Halim Mahmud dalam kitabnya, Syahr Ramadhan. (Syekh Abdul Halim Mahmud, Syahr Ramadhân, Kairo: Darul Ma’arif, tt, hlm 21). Dikarenakan tidak ada batasan pasti tentang seberapa “lebih” ke”lebih-baikan”nya itu.
Apa yang dikemukakan Imam Ibrahim bin Adham di atas adalah hal biasa di antara ulamâ’ul ‘ârifîn di masa lampau, yaitu orang-orang yang menghidupkan hari-harinya dengan lailatul qadar. Mereka menganggap setiap hari adalah lailatul qadar. Aktivitas dan rajinnya ibadah mereka tidak bersifat harian, mingguan atau bulanan. Setiap hari mereka beramal seperti orang yang beramal mengharapkan lailatul qadar (mitslul ‘âmil fî lailatil qadr). Sebagian ulama mengatakan:
كل ليلة للعارف بمنزلة ليلة القدر
Artinya: “Setiap malam bagi seorang ‘arif statusnya (sama dengan) lailatul qadar.” (Imam Abu Thalib al-Makki, Qût al-Qulûb fî Mu’âmalah al-Mahbûb wa Washf Tharîq al-Murîd ilâ Maqâm al-Tauhîd, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2016, juz I, hlm. 155)
“Sama” di sini tidak dalam kedudukan dan kemuliaan hakikinya, tapi dalam hal pengamalan ibadah. Sebab, banyak orang yang mulai giat beribadah saat sepuluh hari terakhir untuk mendapatkan lailatul qadar. Sedangkan bagi mereka, orang-orang arif, kegiatan ibadah tidak harus menunggu terjadinya lailatul qadar, tapi harus dilakukan setiap hari, setiap saat dan setiap waktu.
Tentunya hal ini tidak bermaksud menyalahkan orang yang mulai giat beribadah di sepuluh hari terakhir, karena itu adalah hal yang sangat baik untuk dilakukan. Kisah di atas sekadar menggambarkan cara pandang lain dari para ulama tentang pengamalan lailatul qadar dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti halnya pernyataan Sayyidina Ali yang mengatakan bahwa hari yang di dalamnya tidak melakukan maksiat kepada Allah, maka hari itu adalah hari raya (yaum ‘îd). Ia mengatakan:
كل يوم لا يعصي الله عز وجلّ فيه فهو لنا عيد
Artinya: “Setiap hari yang di dalamnya tidak bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla maka hari tersebut bagi kami adalah hari raya (‘îd).” (Al-Makki, 2016: I/155)
Tentu, hari “raya” yang dimaksud bukan hari raya yang dipahami secara umum, melainkan hari yang perlu dirayakan dengan kebahagiaan dan perasaan kembali fitri. Sebagaimana yang banyak orang tahu, hari raya sangat identik dengan kebahagiaan dan kesenangan. Oleh karena itu, Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu memandang perlu merayakan keberhasilan menjauhi maksiat dengan menganggap hari itu sebagai hari “raya”. Itulah sebenarnya yang harus dihayati dalam hari raya, tidak sekedar kebaruan dalam bagian luarnya saja seperti baju baru dan lain sebagainya.
Dengan demikian, ucapan Imam Ibrahim bin Adham, dari polanya, tidak berbeda dengan ucapan Sayyidina Ali tentang hari “raya”, bahwa beramal tidak perlu menunggu sepuluh hari terakhir atau mendatangi tempat tertentu terlebih dahulu. Selama masih ada kesempatan, di mana pun tempatnya dan kapan pun waktunya, manusia seharusnya menjalankan amalnya dan membaguskannya. Apalagi jika keseharian amalnya sudah seperti orang-orang yang mengharapkan lailatul qadar, kemudian diperlengkap dengan tempat yang sudah jelas kemuliannya, maka amalnya akan bertambah luar biasa.
Jadi, penekanan dari ucapan Imam Ibrahim bin Adham adalah, lakukan perbuatan baik atau ibadah sekarang juga. Jangan menunggu nanti di sepuluh hari terakhir atau di tempat tertentu untuk beramal secara serius. Anggaplah setiap malam laiknya malam lailatul qadar, yang mana keseriusan amal dan ibadah sering tertampak dari para pencarinya.
Mungkin kebiasan inilah yang membuat banyak ulama di masa lalu berhasil mendapatkan lailatul qadar di bulan Ramadhan. Karena di hari-hari biasa saja mereka sudah “sebiasa” itu beramal dan menganggap setiap hari adalah lailatul qadar, apalagi di bulan Ramadhan. Dengan kata lain, keistiqamahan amal telah melebarkan kemungkinkan mereka untuk menjumpai lailatul qadar.
Hal yang kurang lebih sama dikemukakan juga oleh Imam Abu al-Abbas al-Mursi, murid Sayyid Abu al-Hasan al-Syadzili. Katanya:
أوقتنا كلها ليلة القدر والحمد لله, فهذا هو البركة في العمر لا تطويله وزيادة مدته
Artinya: “Semua waktu kami adalah lailatul qadar, alhamdulillah. Ini adalah keberkahan dalam umur, bukan panjangnya dan (bukan pula) tambahan masa (hidupnya).” (Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan al-Hasani, Taqrîb al-Ushûl li Tashîl al-Wushûl li Ma’rifatillahi wa al-Rasûl, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2012, 219).
Jika mengacu pada ucapan di atas, keberkahan umur tidak terkait dengan panjang dan lamanya. Tapi terkait dengan kesadaran berbuat baik dan beramal setiap saat, laiknya setiap hari dan setiap waktu adalah lailatul qadar, sebagaimana pesan yang ingin disampaikan oleh Imam Ibrahim bin Adham kepada murid dan teman-temannya, agar mereka mendapatkan keberkahan umur dalam hidup.
Sebagai penutup, uraian keberkahan umur dari Imam Abu Thalib al-Makki penting untuk direnungkan bersama. Ia berujar:
فإن البركة في العمر أن تدرك في عمرك القصير بيقظتك ما فات غيرك من عمره الطويل بغفلته فيرتفع لك في سنة ما لا يرتفع له في عشرين سنة
Artinya: “Sesungguhnya keberkahan dalam umur adalah, kau menyadari dalam umurmu yang singkat karena keterjagaanmu, sesuatu yang orang lain lewatkan dalam umurnya yang panjang karena kelalaiannya. Maka, kau akan terangkat (derajatnya) dalam satu tahun, (sedangkan) ia tidak akan terangkat (meski) dalam dua puluh tahun.” (Al-Makki, 2016: I/155).
Wallahu a’lam bish-shawwab…
Ustadz Muhammad Afiq Zahara, alumnus Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen, Jawa Tengah.
Sumber: NU Online